11. Anak Magang

30 6 0
                                    

....

Aroma stroopwafel yang baru dipanggang menggelitik hidung Alesha saat ia melangkah keluar dari Stasiun Utrecht Centraal. Udara pagi yang segar bercampur dengan aroma manis khas Belanda itu memberinya semangat baru. Hari ini adalah hari pertama Alesha magang di kantor media ternama di Utrecht. Jantungnya berdebar kencang, campuran antara gugup dan antusias. Ia merapikan blazer birunya, menarik napas dalam-dalam, lalu melangkahkan kaki menyusuri jalanan kota yang ramai.

Gedung kantor media itu menjulang tinggi,  mewah dan modern. Alesha terkesima sejenak, membayangkan dirinya bekerja di sana, mewawancarai orang-orang penting,  menulis artikel yang menginspirasi, dan meliput dengan foto di berbagai peristiwa menarik. Ia segera masuk ke dalam gedung, menemui resepsionis,  dan diarahkan ke ruang redaksi di lantai lima.

Ruang redaksi itu hiruk pikuk, penuh dengan jurnalis yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Alesha diperkenalkan kepada mentornya, seorang jurnalis senior bernama  Mevrouw  Elsbeth.  Mevrouw Elsbeth menyambut Alesha dengan ramah,  memberikan penjelasan singkat tentang tugas-tugasnya selama magang,  dan memperkenalkannya kepada anggota tim lainnya.

Hari-hari pertama Alesha dipenuhi dengan tugas-tugas sederhana, seperti merangkum berita, mengolah foto dan membantu jurnalis senior dalam riset.  Meski terlihat sepele, Alesha mengerjakannya dengan penuh semangat dan ketelitian. Ia ingin  membuktikan bahwa ia  mampu  dan  layak untuk  menjadi  bagian dari  tim  tersebut. Ia  aktif  bertanya, mencatat  setiap instruksi  dengan  seksama,  dan  selalu  menyerahkan  tugasnya  tepat  waktu.

Mevrouw Elsbeth memperhatikan  kesungguhan Alesha. Ia terkesan dengan  etos kerja dan antusiasme gadis  muda  itu.

“You're a fast learner, Alesha, ”  pujinya  suatu  hari.  “Keep up your spirit.”

Pujian itu  membuat  Alesha  semakin  bersemangat. Ia bertekad untuk  memberikan yang erbaik selama magang. Ia ingin memanfaatkan  kesempatan ini sebaik-baiknya,  menyerap ilmu  dan pengalaman  sebanyak mungkin, dan membuktikan  bahwa ia bisa menjadi  jurnalis  yang  handal.

Sepulang  magang, Alesha berjalan gontai.  Tubuhnya pegal setelah seharian  beraktivitas. Namun, rasa lelah itu  terbayar dengan pengalaman berharga  yang ia dapatkan. Alesha memang tak pulang bersama Arsen karena kakanya itu sedang ada kegiatan liputan di luar kota. Saat memasuki pekarangan rumahnya, ia  melihat  sosok  yang tak asing  berjalan  tertatih-tatih di halaman. Marvin,  tetangganya yang  suka jahil.
 
Alesha berjalan pelan, "Hey, snail! Are you racing with a turtle? " teriak  Marvin dengan cengiran khasnya.

Alesha memutar bola matanya. "Your leg hasn't healed yet, why are you saying that? You're so naughty. "  sahutnya, namun  sudut  bibirnya  tersenyum.  Ia  sudah  terbiasa  dengan  tingkah  Marvin  yang  suka  menggodanya.

Marvin  menyeringai. "I heard that you're interning at that media office, right? I heard from Ryan. " ucapnya, menyebut  nama  saudara Alesha  yang  juga teman  bermain Marvin saat bosan di rumah  karena cedera.

Alesha  mengangguk. " Yes, in the Utrecht office. Just started, but today is really exciting! "  ujarnya antusias, lupa sejenak  dengan rasa lelahnya.

" Wow, cool! When you become a famous journalist or photographer, don't forget to interview me! Exclusive! " canda Marvin, membuat Alesha tertawa.

"Yes, yes. Later I will interview you about your life story, Marvin the Dutch football star who was full of drama because he often fell off his bike as a child. " balas  Alesha, tak mau kalah bercanda.

"Damn, you remember it?" Tanya Marvin tak percaya. Alesha hanya mengangguk singkat dengan tawa yang lebar.

Mereka pun berbincang asyik di  halaman  rumah. Alesha menceritakan  pengalamannya di hari pertama  magang, sementara Marvin dengan  seksama mendengarkan, sesekali  melontarkan komentar jahil  yang  membuat Alesha gemas.

"You were quick to get back to Utrecht after the match a few days ago. " Ucap Alesha.

Marvin mengangguk, " Yes, I really have to stay in my stadium for a long time with my right foot not being able to kick the ball?"

" I will be back soon to play in the stadium. By then, I'm sure you'll be an employee at the news agency. So interview me, if you want a photo and autograph I'll give you special access. " Tambahnya. Sungguh, Marvin ini cerewet.

"Dih, PD banget gila. Who else wants to ask for your photo and autograph. Come on bro... I want to go home. "

****

Hari-hari berlalu dengan cepat. Alesha  semakin menikmati  magangnya. Ia  mendapatkan banyak tugas menarik,   mulai dari meliput acara lokal hingga  mengelola dokumentasi media. Mevrouw Elsbeth semakin yakin  dengan potensi  Alesha. Gadis itu  cerdas, ulet, dan  memiliki rasa ingin tahu yang  tinggi.

“Alesha, how about you try writing an article about the flower festival that will be held next week? ” tawar Mevrouw  Elsbeth suatu hari.

Mata  Alesha  berbinar. “ Wow, that's fine, Mevrouw! I will try my best! ” jawabnya  bersemangat.

Alesha pun mempersiapkan diri untuk  tugas  pertamanya meliput acara besar. Ia  melakukan riset, menyusun pertanyaan  wawancara, dan  mempersiapkan  peralatan  liputannya. Ia  bertekad  untuk  membuat  artikel  yang  menarik  dan  informatif.

Hari festival  bunga  pun  tiba. Alesha  berada di  tengah keramaian, mencatat  detail-detail  acara, memotret  bunga-bunga yang  bermekaran, dan  mewawancarai  beberapa  pengunjung.   Ia merasakan adrenalin  yang  menggebu-gebu, semangat  jurnalistiknya  terbakar.

Setelah acara  selesai, Alesha  langsung  kembali  ke  kantor dan menulis artikelnya dengan penuh konsentrasi. Ia  menuangkan semua pengalaman dan  informasi yang ia kumpulkan ke dalam  tulisan yang  menarik dan mudah  dipahami.

Keesokan harinya, artikel Alesha  dipublikasikan di website kantor media.   Artikelnya mendapatkan respon positif  dari  pembaca. Mevrouw Elsbeth  sangat  bangga dengan  Alesha.

“You have a natural talent for writing, Alesha. Keep honing your skills” pujinya.

Alesha tersenyum bahagia. Ia merasa jerih  payahnya terbayar. Ia semakin  yakin dengan pilihan karirnya sebagai  jurnalis.

“Hey, I read your article about the flower festival. It's so cool! You're really talented! ”

Pujian dari Marvin, meski dikemas  dengan nada jahil, membuat Alesha  merasa  senang. Ia tersenyum lebar.  
"Thank you, Marvin. Please pray that I can be accepted to work here, okay!"

"Of course! I'll be your first fan! " jawab  Marvin dengan wink.

Alesha tertawa. Ia merasa beruntung  memiliki tetangga yang suportif seperti  Marvin, meski kadang jahilnya minta  ampun. Ia berharap, mimpi-mimpinya  menjadi jurnalis handal bisa terwujud. Ia  ingin membuat keluarganya bangga,  termasuk Arsen, kakaknya, yang  selalu  mendukungnya dan membantunya.

Malam itu, Alesha membaringkan  tubuhnya di tempat tidur. Rasa lelah  kembali menyerang, namun kali ini  bercampur dengan rasa bahagia dan  harapan. Ia membayangkan masa  depannya yang cerah, masa depan di  mana ia bisa berkontribusi bagi dunia  melalui  tulisan-tulisannya dan lefat bidikan gambar yang ia ambil. Ia tersenyum,  lalu perlahan tertidur, diiringi  mimpi-mimpi indah tentang karirnya  sebagai jurnalis.

____________________________________________

BERSAMBUNG....

Offside Cinta di Negeri Kincir AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang