04. "Caca" & Chilhood Friend

28 8 0
                                    

~

Nampaknya ini sebuah keberuntungan untuk Alesha. Para orang tua menyuruh Alesha dan Max menuju kamar Marvin terlebih dahulu. Sedangkan para orang tua masih asyik berbincang di ruang tamu. Saat berjalan menuju kamar yang ditempati Marvin. Alesha selalu melihat ke dinding rumah ini. Banyak foto foto keluarga hingga foto Marvin sendiri dengan jersey bola sedari kecil hingga sekarang. Cukup takjub, Marvin adalah salah satu orang yang konsisten terhadap cita-citanya. Tidak seperti Alesha yang saat SD ingin menjadi dokter kemudian SMP ingin menjadi tentara dan SMA ingin menjadi model dan sekarang ia malah berkecimpung di dunia fotografi dan jurnalistik. Alesha menghela nafas, ia ingat saat ini statusnya menjadi pengangguran. Ia masih belum mencari pekerjaan di sekitar tempat tinggalnya.

Max, kakak Marvin adalah seorang pengacara. Max orang yang menyenangkan dan hangat, ia mampu membawa suasana canggung menjadi menyenangkan dengan topik yang ia bawa. Usia Max sama dengan Gio. Bersama Alesha, Max menceritakan hal lucu pertemuan antara Max, Marvin, Gio, Arsen dan Alesha saat kecil, ingatan Max sangat baik.

Sesampainya di kamar Marvin, tangan berotot Max membuka pintu putih itu. Nampaklah kamar khas pemain sepak bola, tembok polos berwarna putih gading tetapi ada beberapa pernak pernik sepak bola disekitarnya. Marvin Frans Eijden, seorang pemain sepak bola muda berusia 23 tahun yang terkenal karena ketampananya dan skillnya saat berada di lapangan sepak bola. Memiliki tinggi sekitar 189 cm dengan kulit tan, mata berwarna coklat terang yang tajam serta potongan rambut yang rapi membuat Marvin memiliki daya tarik tersendiri dan tentunya memiliki banyak fans wanita. Marvin juga termasuk dalam tim nasional Belanda dan masuk di klub sepak bola terkenal di Amsterdam. Karena cidera, ia harus melakukan pemulihan di rumahnya selama jangka waktu yang telah ditentukan.

"Marvin, kijk eens wie ik heb meegenomen." kata Max dengan menarik pelan tangan Alesha. (Marvin, lihat siapa yang ku bawa.)

Marvin menoleh dengan wajah malas, "Hoeveel vrouwen neem je mee Max?" (Wanita keberapa yang kau bawa Max.) Ujar Marvin, pasalnya Max beberapa waktu lalu diputuskan oleh pacarnya. Membuat Max kerap uring uringan dan ingin membuat mantan pacarnya cemburu dengan membawa wanita yang berbeda.

"Wat zeg je, je weet niet meer wie zij is?" (Apa yang kau katakan, kau tidak ingat dia siapa?) Ujar Max tak terima.

Max menunduk untuk melihat wajah Alesha. Alesha pun dibuat terkejut dengan perbuatan Max, pipinya jadi berwarna merah karena salah tingkah.

"Don't you remember that little girl with red cheeks and two dimples, Marvin?" Tanya Max kepada Marvin, tapi tatapanya berada pada wajah Alesha.

Alesha berdehem canggung. "Hello, Marvin, I'm Alesha Bianca."

Marvin terdiam sejenak, ia nampak sedang berfikir. "Alesha?!" Ucap Marvin dengan nada yang tiba tiba naik. Membuat Alesha tidak enak dan bingung, apakah ia pernah melakukan kesalahan di masa lalu kepada Marvin?

"It looks like you two need to talk. Bye Alesha. " Max pergi meninggalkan Alesha dan Marvin.

"Why are you looking at me like that? Did I do something wrong to you?" Tanya Alesha kesal. Karena tatapan Marvin tidak menyenangkan kepadanya.

Marvin tertawa singkat, bukan karena sesuatu yang lucu lebih kepada tertawa sarkas. Ia memiliki ingatan yang bagus mengenai tingkah Alesha di masa kecil.

"Caca, why do you always bite my hand when we play together and pull my hair when I touch your toys?" Marvin bersuara layaknya anak kecil. Suara bass nya terlihat dipaksakan menjadi imut.

Seketika mata Alesha membulat. Ingatan masa kecilnya tiba-tiba muncul dan datang begitu saja dikepalanya. Ia mengingat laki-laki kecil yang sering ia gigit karena suka mengganggunya saat bermain.

"What?! Well... because you bothered me first. So I got back at you." Ucap Alesha yang menjadi kesal. Baik, Alesha mengingat betapa jahilnya seorang Marvin Frans Eijden saat kecil. Ia sering dibuat menangis karena ulah jahil Marvin.

Marvin kemudian tertawa lepas tetapi berujung meringis karena tak sengaja menggerakkan kaki kananya yang cedera.

"Long time no see Caca. Finally I can see you in the Netherlands again. How are you? You are still the little Caca." Ucap Marvin dengan ejekan di akhir. Alesha tau, Marvin mengejek tinggi badanya yang memang tidak seperti wanita Eropa kebanyakan dengan tinggi semampai. Tapi menurut Alesha, dia sudah cukup tinggi kok.

Caca, panggilan dari Marvin ketika masih kecil. Ia kesulitan menyebut Alesha/Bianca sehingga ia memanggil Alesha menjadi Caca.

"I'm fine, it seems like you're the one who's not feeling well." Ucap Alesha melirik kaki kanan Marvin yang terbalut gips.

"This is the process of a football player Ca." Jawabnya enteng.

"Don't call me Caca. That time is over. Call me Alesha." Jengkel Alesha.

"No, it's hard. It's easier Caca. Isn't it adorable?" Ucap Marvin masih saja menggoda Alesha.

Alesha yang kesal langsung saja mengacungkan jari tengahnya dan keluar dari kamar Marvin. Terdengar teriakan Marvin memanggilnya 'CACA' beberapa kali hingga ia sampai di ruang tamu, duduk di samping Ayahnya. Ia mulai mengubah ekspresinya agar terlihat lebih tenang dihadapan keluarganya dan keluarga Marvin. Melihat itu orang tua Marvin dan Alesha tertawa.

"Sudah lama tidak mendengar teriakan itu sejak beberapa tahun yang lalu." Ucap Mr. Eijden yang bisa berbahasa Indonesia meskipun terdengar masih kaku.

"Did Marvin upset you again Alesha?" Tanya Max.

"Yes, he did it again well."

Max tertawa mendengar jawaban Alesha. Sungguh melihat Max tertawa membuat level ketertarikan Alesha meningkat. Padahal ini adalah pertemuan pertamanya sejak kecil. Setelah beberapa saat keluarga Hoesen pamit untuk kembali ke rumah. Lagi-lagi Alesha tak melupakan budaya salim kepada pasangan Eijden itu.

"Kamu tidak pamit dengan Marvin?" Tanya Mr. Eijden.

"Ah iya Alesha, pamit sana. Kalian kan meskipun sering bertengkar saat kecil selalu mencari satu sama lain." Ucap Ayah Stevan membuat Alesha malu.

Max mendorong pundak Alesha dengan pelan mereka berjalan menuju kamar Marvin. Jujur, lebih baik ia berbincang bersama Mrs. Eijden menggunakan bahasa Belanda daripada harus kembali ke kamar si tengil Marvin.

"Marvin, Alesha keert terug naar Indonesië." Ucap Max. Alesha mengernyitkan dahi. Ia memang tak begitu paham dengan ucapan Max yang terkesan berbicara dengan cepat. Tapi ia tahu yang diucapkan Max, itu tidak benar. (Marvin, Alesha akan kembali ke Indonesia.)

"That fast? Have you been in Utrecht for days?" Tanya Marvin terkejut.

Max mengedipkan sebelah matanya memberi kode. Saat ini Alesha mengerti. Ia akan bekerja sama menjahili balik si Marvin.

"Yeah, I can't stay for a long time. I have to go back." Ucap Alesha dengan wajah yang dibuat serius.

"It turns out you really are Caca. Even before, you couldn't stay here for a long time." Jawabnya dengan muka yang dibuat biasa saja. Padahal Alesha tau, Marvin menyimpan banyak tanya di kepalanya.

"Okay, get well soon Marvin. Max thanks I have to go back."

"Sure, Bye Alesha."

Tubuh mungil Alesha menghilang dari balik pintu. Max tak lagi bisa membendung tawanya. Ini benar benar lucu. Biasanya Marvin yang selalu jahil. Kini ia dan Alesha membayarkan dendamnya dengan menjahili Marvin. Max tahu, jika Marvin sepertinya memiliki rasa dengan Alesha atau perasaan nyaman sebagai teman saja.

"Waarom lach je? " (Kenapa kamu tertawa?) Marvin memandang aneh kakaknya. Max terlihat sangat puas dengan tawanya yang menggelegar.

"Het is oké, ik herinnerde me net iets grappigs. " (Tidak apa apa, aku hanya mengingat hal yang lucu.)

"Jij bent gek." (Dasar Gila.) Kata Marvin dengan jengkel kepada kakaknya, Max. Max pun hanya mengacuhkan dan keluar dari kamar Marvin.

____________________________________________

HAI teman teman!

Jangan lupa tekan bintangnya untuk chapter ini yaa🤗

Terima kasih, sampai jumpa di chapter selanjutnya👋🏻

Offside Cinta di Negeri Kincir AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang