35. Schipol Airport

112 11 1
                                    


....

"Ibu, Ales pamit ya. Nanti kalau ada waktu lagi Ales pulang terus masak-masak lagi ya." Kata Alesha dengan senyum cerianya.

Gadis itu telah siap menggendong tas ranselnya yang berat berisi beberapa pakaianya yang ia bawa selama berada di Utrecht. Siang ini ia akan kembali ke Amsterdam bersama dengan keluarga Marvin.

Di depan rumah Hoesen terlihat Marvin memakai hoodie hitam dibalut jaket lagi, celana panjang hitam dan sepatu sneakers berwarna putih. Rambut lurusnya terlihat sedikit acak-acak. Pemuda tinggi itu tengah memindahkan kopernya ke dalam mobil. Bersiap menuju bandara Schipol untuk pergi ke London karena sekarang ia akan meniti karir sepak bola barunya disana bersama klub barunya, Rovers FC.

"Hati-hati ya nak. Perhatikan jadwal makan! Jaga kesehatan. Kalau ada apa apa jangan lupa untuk selalu kabari kami ya!" Ucap Anya menasihati Alesha.

"Iya, ibu."

Anya memang bukan ibu kandungnya, tapi ia tidak merasa kurang kasih sayang jika verada didekatnya. Anya dan Alesha berjalan menuju mobil milik ayah Marvin. Disana sudah ada David, Emma yang duduk di depan dan Marvin yang duduk di belakang dan akan duduk bersama Alesha.

"Sorry dat ik jullie stoor. Bedankt en wees voorzichtig onderweg." (Maaf merepotkan kalian ya. Terimakasih dan hati hati dijalan.) Ucap Anya setelah Alesha masuk.

"Zeg dat niet, Alesha is als mijn eigen dochter. Laten we gaan, Anya." (Jangan berkata begitu, Alesha sudah seperti putri ku sendiri. Kami berangkat ya, Anya.) Ucap Emma dengan senyuman tulusnya.

Mobil itu berjalan dengan tenang dan hati-hati disupiri oleh David, ayah Marvin. Alesha dan Marvin duduk diam tanpa mengeluarkan suara apapun. Marvin nampak memandangi jalan dan telinganya tersumpal earphone. Nampak tidak peduli dengan sekitar.

Emma melirik ke kursi penumpang dibelakangnya. Heran, kenapa lagi kedua pemuda-pemudi dibelakangnya itu. Padahal semalam mereka masih berbincang dengan normal, sekarang kenapa jadi saling mendiami?

Tiba-tiba Marvin terbatuk kecil, lalu menoleh ke arah Alesha. "Ca?" Panggilnya.

Alesha menoleh, "Hm?"

"Emm.." gumam Marvin tampak ragu akan berucap.

"What?" Alesha bertanya lagi.

"Ah, never mind." Ucap Marvin lalu kembali menoleh ke jalanan.

"Gak jelas banget." Gumam Alesha.

Sebenarnya, dibalik keterdiaman Marvin di mobil ini karena perasaanya yang entah bagaimana ia mendeskripsikan. Rasa sedih tapi ia juga merasa exited atas kepindahanya di klub bola yang baru.

Setelah hampir satu jam perjalanan, mereka telah tiba di bandara Schipol. Marvin dan David mengeluarkan koper-koper milik Marvin yang berisi kebutuhanya selama nanti ia akan tinggal di London. Alesha berdiri di samping Emma, setelah mengantar Marvin nanti ia akan pulang ke apartemennya.

Di bandara, suasana berubah sedikit haru.  Setelah menyelesaikan proses check-in, mereka bertiga – Emma, David, dan Alesha – mengantar Marvin ke ruang tunggu keberangkatan. Pelukan hangat tercipta di antara mereka, suasana penuh kasih sayang dan sedikit kesedihan karena perpisahan yang singkat.

Emma dan David saling memberikan nasihat kepada putra bungsu mereka, Marvin, bahkan Emma sudah berderai air mata saat memeluk Marvin. Sebagai seorang ibu, ia sejatinya sangat sedih saat Marvin harus ke London dan dengan jangka waktu yang lama pastinya.

Setelah berpelukan dengan orang tuanya, Marvin melangkah mendekat ke Alesha. Gadis itu sedari tadi memperhatikan interaksi keluarga Eijden yang hangat dan penuh kasih sayang. Ia juga turut merasakan kesedihan di dalam hatinya.

Offside Cinta di Negeri Kincir AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang