17. Mistake [same eyes]

106 12 0
                                    


Disebuah kamar dengan jendela yang langsung dapat pemandangan laut. Terdapat sosok wanita termenung menatap kosong hamparan laut berombak di sana.

Kotak hadiah berisi barang mewah yang ada dibelakang menumpuk hampir satu meter tingginya. Tak membuat nya gembira ataupun tergerak untuk membuka isi kotak.

Ia telah berada di sana hampir tiga tahun lamanya. Dengan keadaan yang berbeda dari dia pertama kali datang, kini matanya bisa melihat cahaya kembali. Namun sayangnya hal itu tak membuatnya bahagia. Bagaimana bisa bahagia jika, rantai kekang menghias kakinya.

Ia hanya bisa berada di kamar yang tak pernah tersentuh dunia luar. Kaca pembatas yang tak bisa rusak bahkan jika dirusak dengan benda apapun takkan dapat pecah. Hidupnya tak jauh berbeda dengan burung dalam sangkar.

"Apa ini hari itu, ya?"

Mata hijaunya melihat langit, berusaha mengingat hari dimana dirinya meninggalkan hadiah yang tuhan berikan, kepada seseorang yang lebih layak mendapatkan nya.

"... apa, aku pantas..."

Tubuhnya yang kurus dibalut dress putih panjang menjulur hingga mata kaki. Tangannya berusaha menggapai kursi guna menumpu nya untuk berdiri.

Tiba-tiba ada tangan lain yang membantunya bangun.

Sakura, yang tahu itu tangan siapa berbalik tersenyum kepadanya. "Terimakasih, nak."

Seorang anak perempuan berambut merah menyerupai milik sang ayah tergerai indah. Warna mata yang senada dengan milik Sakura itu menatapnya lekat.

"Apa Anda baik-baik saja? Perlukah saya panggilkan, Kabuto?"

Sakura menggeleng pelan, senyum tak pernah pudar dari wajahnya setiap kedatangannya. "Apa kamu mau menemani ku disini sebentar?"

Anggukkan kepala dari Hazel membuat Sakura tertawa kecil.

"Apakah ada yang lucu?"

Sakura menghela nafas. "Aku tidak mengira, dia memiliki putri selembut dirimu. Hanya tidak menyangka saja, Hazel."

Kepala Sakura kini berada di pangkuan Hazel sesekali tangan nya mengelus rambut merah mudanya yang sudah panjang menjuntai kelantai.

"Apakah itu sangat indah, hm?"

Hazel tertawa canggung. "Berapa kali pun melihat rambut Anda. Saya takjub, ada rambut dengan warna seindah ini yang tak pernah dimiliki oleh kebanyakan orang."

Tangan Sakura terulur membelai rambut merah milik Hazel. "Milikmu juga sangat cantik, Hazel." Rambut bergelombang yang diturunkan dari mendiang sang ibu menjadi ciri khas tersendiri. "Apa kamu merindukan ibu mu?"

Hazel menggeleng. "Dia ada disini." Matanya menatap tepat pada mata hijau Sakura. "Dia selalu mengawasi ku dengan cara lain."

Sakura terhenyak. "Maaf.." dirinya berusaha bangkit. "Jika bukan karena aku—"

"Apa Anda tidak tahu?" Hazel berbicara dengan senyuman yang tak pernah luntur setiap menceritakan kisah nya bersama ibunya. "Ibu sudah bahagia dengan bebas, tanpa ada rasa sakit lagi yang menggerogoti tubuhnya setiap hari."

Sakura terdiam mendengar nya. Karena ia kurang mengetahui bagaimana ibunya Hazel dan seperti apa ibunya itu.

"Aku menunggu hari itu tiba padaku."

Ah..

Sakura memeluknya erat. "Jangan berucap begitu. Hidupmu masihlah panjang untuk mengatakan hal itu."

Hazel berkedip beberapa kali. "Bukankah itu yang selalu dinginkan orang-orang yang ada disini?"

Entah hal apa yang telah dilalui Hazel sampai berpikir seperti itu di usianya yang masih sepuluh tahun. Dimana anak seusianya bermain tanpa memikirkan apa-apa.

.
.

Sarada kini tak lagi bersekolah di sekolah umum melainkan homeschooling. Selama dia dirumahnya, ia akan aman. Tapi, hingga sekarang kabar Shotaro tak ada perubahan.

Anak menyebalkan yang biasanya usil dengan menyembunyikan susu stroberi nya itu tidak ada. Dan susu stroberi nya didalam kulkas kini masih utuh begitu juga jus tomat yang dikhususkan untuk Shotaro masih tak tersentuh.

"Apa kau baik-baik saja, Sarada?" Mitsuki tampak khawatir dengan Sarada yang tak menghabiskan susu stroberi kesayangannya.

Mata Sarada berkaca. "Apa dia akan baik-baik saja? Ini sudah hampir seminggu.."

Mitsuki ingin memeluknya namun sadar dengan posisinya hanya dapat tersenyum, berusaha mengucapkan kata-kata menenangkan. "Tikaman nya tidak mengenai jantung dan itu tak terlalu dalam. Kalau kau mau, aku bisa membawamu kepadanya."

Sarada menoleh ke arah Mitsuki dengan mata merahnya bekas menangis. "Apa bisa?"

"Kenapa kau tak bilang kalau dia juga ikut?" tunjuk Sarada pada Boruto, notabenenya adalah tunangan nya sendiri.

Boruto yang merasa tidak diinginkan tak perduli dengan ucapan Sarada. "Kencangkan sabuk pengaman mu, kalau kau kenapa-kenapa, bukan hanya kepala saja yang akan hilang. Tapi keluargaku juga akan rugi, kau tahu?"

Ucapan menyebalkan dari Boruto berhasil membuat Sarada naik darah. "Mitsuki, pindah tempat."

Kini posisi Sarada berada di bagian belakang dan Mitsuki di kursi penumpang bagian depan sebelah kemudi.

Hanya suara lagu yang diputar tanpa ada satu orangpun ingin mencairkan suasana sesak didalam sana.

.
.

"Aku akan menjagamu dari luar ya, Sarada?"

Angguk Sarada kepada Mitsuki yang berbaris bersama penjaga lainnya. Sarada masuk dan mencium aroma khas rumah sakit yang begitu kuat. Di sana ada Shotaro yang belum juga terbangun semenjak insiden penyerangan.

"Kapan kau bangun?"

"..."

"Ayolah, tidak seru tomat di rumah utuh. Padahal biasanya belum seminggu habis.." Sarada menunduk melihat sepatu yang dihadiahkan Shotaro di ulangtahun nya kemarin. "Jangan bilang ini hadiah perpisahan. Aku tahu kau menyebalkan, ya, terkadang... tapi kalau kau tak ada, rasanya seperti dulu. Sebelum ada kau, rasanya aku tak punya teman." Sarada beranjak dari sana kemudian duduk di kursi di samping ranjang sana.

"Kau tidak tahu saja. Mitsuki itu tidak bisa di ajak menjadi teman. Makanya, saat aku pertama kali melihatmu, aku tertarik untuk menjadikan mu kakak ku.

Ya, rasanya benar-benar luar biasa saat kita bertiga pergi bersama. Ah, benar soal Boruto! Dia sudah menggantikan posisimu menjadi orang menyebalkan nomer satu. Jadi, cepatlah sadar, Shotaro. Jangan diam saja seperti patung. Kau mau mencari ibumu kan? Aku tahu itu. Makanya aku datang kemari ingin mengatakan sesuatu."

Sarada mulai meneteskan airmata nya. "Ah, gara-gara kau.. aku jadi cengeng kan. Pokoknya setelah kau sadar, aku akan memberikan informasi tentang ibumu. Aku akan kembali lagi dalam waktu dekat, kuharap saat itu kau siuman, oke?"

Sarada keluar. "Ayo Mitsuki."

Keduanya meninggal rumah sakit menuju mobil yang terparkir tak jauh dari sana.

Orang yang menjaga diluar masuk mengecek keadaan Shotaro, seperti yang diperintahkan oleh atasannya untuk memeriksa Shotaro di beberapa waktu yang telah ditentukan.

Tubuhnya kaku saat membuka pintu mendapati Shotaro telah siuman, haruskah memanggil nona mudanya untuk kembali? Ia bergerak cepat saat Shotaro ingin mendudukkan diri. "Anda sudah sadar?"

Shotaro menghela nafas, memijat pelipisnya. "Gimana nggak sadar kalau dia mengoceh panjang lebar begitu." Shotaro menyapu ruangan yang ditinggalinya untuk beberapa hari ini. "Sudah berapa lama.. aku disini?"

"Seminggu, ah— mungkin hampir sepuluh hari."

Shotaro kembali berbaring. "Rahasiakan kalau aku sudah sadar."

"Tapi—"

Mata hitamnya mengintimidasi. "Katakan langsung pada pria bertato ular saja. Kalau aku ingin menemui nya, pokoknya bawa dia kemari."

"Baik." Penjaga itu kaget, dengan sifat Sasuke yang sangat menakutkan bagi bawahan sepertinya. Shotaro menyebut enteng julukan, dengan memanggil ayah angkatnya sebagai pria tato ular, rasanya agak... yah masa bodoh, itu bukan urusannya yang hanya bawahan. Yang terpenting nyawanya masih aman.

TBC

MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang