Senyap di antara Kita

265 20 0
                                    



Malam itu, Gracia duduk di ruang makan yang megah, sendirian. Terdengar hanya suara lembut angin yang menampar jendela dan gemerincing gelas anggur yang ia pegang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan Sean belum juga pulang. Ia memandangi piring makan yang sudah kosong, sementara piring di depannya—piring Sean—tetap utuh, belum tersentuh.

Sejak beberapa bulan terakhir, momen seperti ini semakin sering terjadi. Sean selalu pulang larut, dengan alasan pekerjaan. Gracia tahu pekerjaan Sean sebagai CEO membuatnya sibuk, tapi semakin hari, ada jarak yang tumbuh di antara mereka. Sebuah kesunyian yang tak terucapkan.

Pintu depan akhirnya terbuka, suara langkah Sean terdengar menggema di seluruh rumah. Dia muncul di ambang pintu ruang makan, jas hitamnya tergantung di satu bahu, dasi longgar di lehernya, dan wajahnya tampak lelah.

"Kamu belum tidur?" tanya Sean sambil meletakkan tas kerjanya di kursi.

Gracia menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski hati kecilnya terasa sepi. "Aku tunggu kamu makan malam."

Sean menatap meja makan yang sudah tersusun rapi. "Kamu gak perlu nunggu, Sayang. Aku bisa makan sendiri nanti."

"Sudah terlalu sering aku makan sendiri," gumam Gracia pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Sean berhenti sejenak, menyadari ada sesuatu yang tak biasa. Tapi seperti biasa, dia memilih untuk tidak menanggapi lebih lanjut. "Maaf, hari ini benar-benar sibuk," jawabnya singkat sebelum melangkah ke kamar.

Gracia menghela napas panjang, memandangi punggung suaminya yang menghilang di balik pintu kamar mereka. Sudah tujuh tahun mereka menikah, tapi akhir-akhir ini, keintiman di antara mereka perlahan memudar, digantikan oleh rutinitas yang membosankan dan percakapan singkat yang hampa. Masalah terbesar yang selalu membayangi mereka adalah satu hal yang sama: anak.

***

Esok harinya, Gracia bangun lebih dulu. Ia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang tampak sedikit lebih tirus dari sebelumnya. Usaha mereka untuk memiliki anak sudah berlangsung selama bertahun-tahun, tapi hasilnya selalu sama—kosong. Berbagai cara sudah dicoba: mulai dari dokter, terapi, hingga ramuan-ramuan herbal yang direkomendasikan teman. Namun, tak ada yang berhasil.

Gracia sadar bahwa usia mereka terus bertambah. Ia sudah menginjak kepala tiga, sementara Sean semakin tenggelam dalam kesibukan kariernya. Seringkali, ia merasa ada yang hilang dalam hidup mereka, meskipun secara materi semuanya sempurna. Rumah besar, mobil mewah, liburan ke luar negeri, tak ada yang kurang. Namun, hati Gracia tak bisa bohong. Yang mereka miliki hanya harta, tanpa ada suara tawa kecil di rumah ini. Tanpa ada kehidupan yang baru.

Saat Sean turun ke ruang makan, sarapan sudah tersaji di meja. Gracia duduk di depannya, mencoba memulai percakapan yang lebih hangat. "Hari ini ada rencana apa?"

Sean meminum kopi hitamnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Ada rapat besar di kantor, mungkin pulangnya agak larut lagi."

Gracia mengangguk, sudah terbiasa dengan jawaban itu. "Aku mau ke rumah sakit siang ini, untuk check-up."

Sean akhirnya menurunkan ponselnya dan menatap Gracia. "Masih tentang itu?"

"Ya... aku pikir, kita harus tetap coba. Siapa tahu kali ini berbeda," jawab Gracia pelan, ada harapan tipis di balik suaranya.

Sean hanya mendesah pelan. "Gracia, kita udah coba semua. Kamu gak capek?"

"Tentu aku capek, Sean," Gracia mengakui, matanya berkaca-kaca. "Tapi aku gak bisa berhenti berharap."

Sean tak menjawab, memilih kembali fokus ke ponselnya. Gracia menghela napas panjang. Sepertinya, obrolan mereka pagi ini akan berakhir di sini, seperti biasa.

***

Gracia tiba di rumah sakit siang itu, berharap setidaknya ada kabar baik. Namun, hasil check-up kali ini pun sama seperti sebelumnya. Tak ada perubahan. Dokter dengan suara lembut mengatakan bahwa mereka mungkin harus mempertimbangkan opsi lain, seperti bayi tabung atau bahkan adopsi. Tapi Gracia tahu, Sean tidak pernah setuju dengan hal-hal seperti itu. Baginya, memiliki anak secara alami adalah satu-satunya pilihan.

Saat Gracia keluar dari rumah sakit, pikirannya melayang-layang. Adopsi. Kata itu selalu terlintas di benaknya setiap kali ia bertemu dengan kenyataan pahit ini. Tapi bagaimana cara meyakinkan Sean?

Sore harinya, ketika Sean pulang, Gracia menunggu di ruang tamu. Kali ini, ia tahu percakapan ini tak bisa lagi ditunda.

"Sean, kita perlu bicara," kata Gracia ketika Sean baru saja menggantungkan jasnya.

"Ada apa?" Sean bertanya tanpa terlalu banyak memperhatikan nada serius di suara istrinya.

Gracia memandangnya dalam-dalam. "Aku mau kita pertimbangkan untuk adopsi."

Sean menatap Gracia sejenak, terkejut. "Adopsi? Kamu serius?"

Gracia mengangguk. "Ya, aku serius. Kita sudah coba semua cara, Sean. Mungkin... mungkin ini jalannya."

Sean berdiri tegak, menghela napas. "Aku gak bisa, Gracia. Anak itu penting, tapi... aku gak mau anak yang bukan darah dagingku sendiri."

"Kamu pikir aku gak mau punya anak biologis kita? Aku lebih dari siapa pun ingin itu terjadi," Gracia berusaha menahan air matanya. "Tapi kita harus realistis. Sampai kapan kita mau nunggu?"

Sean menggeleng. "Kita gak harus punya anak untuk bahagia. Kita punya satu sama lain. Itu cukup."

"Cukup buat kamu, mungkin. Tapi buat aku... rasanya ada yang hilang, Sean. Aku mau jadi ibu. Aku mau merasakan punya anak. Dan kalau itu gak bisa terjadi dengan cara biasa, apa salahnya kita buka hati untuk opsi lain?"

Sean hanya berdiri diam, tak mampu menjawab. Gracia tahu pembicaraan ini belum selesai, tapi setidaknya, ia sudah membuka pintu. Pertanyaannya sekarang, apakah Sean akan bersedia melangkah melewati pintu itu?

---

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang