Keputusan Yang Tak Terhindarkan

88 11 0
                                    



Hari-hari berlalu dengan keheningan yang tak wajar di rumah mereka. Gracia dan Sean saling berbicara, tapi hanya tentang hal-hal kecil dan sepele, tanpa benar-benar menyentuh masalah besar yang terus mengintai di antara mereka. Meskipun Sean berjanji untuk memikirkan solusi, Gracia merasakan ketidakpastian yang semakin membebaninya.

Gracia mulai merasa bahwa dia butuh ruang untuk dirinya sendiri. Sean tidak kunjung memberikan keputusan tegas, dan setiap kali ia mencoba membuka kembali pembicaraan tentang anak atau adopsi, Sean selalu menghindar atau mengatakan bahwa dia masih butuh waktu. Rasanya seperti berjalan di atas pasir hisap yang terus menenggelamkannya semakin dalam.

Pada suatu sore yang sepi, Gracia duduk di ruang tamu, memandang ke arah jendela. Hujan turun dengan lembut, membuat suasana semakin melankolis. Ponselnya berbunyi, dan nama Anin muncul di layar.

"Gracia, kamu ada waktu nggak hari ini? Aku mau ngobrol," suara Anin terdengar lembut di seberang telepon.

Gracia tersenyum kecil. "Tentu saja, Nin. Kamu mau ke sini atau aku yang ke tempat kamu?"

"Aku bisa ke rumahmu sekarang. Lima belas menit lagi ya?"

Setelah percakapan singkat itu, Gracia merasa sedikit lebih tenang. Anin selalu menjadi sahabat yang bisa dia andalkan, walaupun Gracia belum pernah terbuka sepenuhnya soal masalah rumah tangganya. Ia tidak ingin membebani Anin dengan persoalan pribadinya, apalagi Anin juga memiliki kehidupannya sendiri yang cukup sibuk.

Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi. Gracia membuka pintu dan melihat Anin berdiri dengan payungnya, tersenyum cerah meskipun hujan terus mengguyur.

"Aku nggak mengganggu kan?" tanya Anin sambil melepaskan jaket hujannya.

"Enggak, sama sekali. Aku malah senang kamu datang," jawab Gracia sambil mempersilakan Anin masuk.

Mereka duduk di ruang tamu sambil menikmati teh hangat yang Gracia buatkan. Anin menatap Gracia sejenak, seolah menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganjal.

"Kamu kelihatan lebih lelah dari biasanya, Gracia. Apa kamu baik-baik aja?" tanya Anin dengan nada khawatir.

Gracia menghela napas panjang. Rasanya sulit untuk menyembunyikan semuanya dari Anin, tapi ia juga belum siap menceritakan keseluruhan masalahnya.

"Aku baik-baik aja kok, Nin. Cuma... ada beberapa hal yang lagi aku pikirkan," jawab Gracia setengah hati.

"Beberapa hal?" Anin memiringkan kepalanya, memandang Gracia dengan tatapan yang mendalam. "Aku tahu ada yang lebih dari sekadar 'beberapa hal'. Aku sahabatmu, Gracia. Kamu bisa cerita kalau ada apa-apa."

Gracia terdiam sejenak, merenung. Mungkin memang sudah waktunya ia membuka diri, setidaknya kepada Anin. Dengan menarik napas panjang, ia mulai berbicara pelan.

"Aku... nggak tahu harus mulai dari mana, Nin. Semua ini terasa rumit."

Anin mendekat, meraih tangan Gracia, mencoba memberikan dukungan. "Kamu nggak sendiri, Gracia. Apa pun itu, aku akan mendengarkan."

"Aku dan Sean... Kami sudah menikah selama tujuh tahun, tapi sampai sekarang kami belum juga punya anak," kata Gracia, memulai ceritanya. "Dan belakangan ini, ibunya Sean terus mendesak agar kami punya cucu. Dia bahkan menyuruh Sean untuk menikah lagi."

Mata Anin melebar, terkejut mendengar pengakuan itu. "Menikah lagi? Sean? Kamu serius?"

Gracia mengangguk pelan. "Ya, aku juga nggak menyangka. Tapi ibunya sangat keras kepala. Dia bilang, kalau kami nggak bisa punya anak sendiri, Sean harus menikah lagi dan mencari istri baru yang bisa memberinya keturunan."

Anin terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar. "Dan Sean... bagaimana pendapat dia soal itu?"

"Dia bilang nggak mau menceraikan aku, tapi dia juga nggak pernah benar-benar menolak usulan ibunya. Dia bilang dia butuh waktu untuk berpikir, tapi aku merasa dia terjebak di antara aku dan ibunya," jelas Gracia dengan nada pahit.

Anin menggenggam tangan Gracia lebih erat. "Aku nggak bisa bayangin gimana perasaanmu, Gracia. Tapi Sean seharusnya nggak boleh mengorbankan pernikahan kalian cuma karena tekanan dari ibunya."

"Itu yang aku rasakan, Nin. Aku sudah mencoba untuk tetap sabar, tapi rasanya semakin sulit setiap harinya. Aku bahkan menyarankan untuk mengadopsi anak, tapi Sean selalu menolak. Menurutnya, anak bukan sesuatu yang penting. Yang penting adalah aku tetap bersamanya. Tapi aku tahu, ini bukan hanya soal kita berdua lagi. Ada banyak hal yang berubah setelah semua tekanan ini."

Anin menarik napas panjang. "Kamu sudah bicara serius dengan Sean soal ini? Maksudku, kamu benar-benar bilang padanya betapa beratnya perasaanmu?"

Gracia mengangguk. "Sudah. Kami sudah bicara berkali-kali, tapi selalu berakhir dengan janji bahwa dia akan 'memikirkan' semuanya. Tapi sampai kapan aku harus menunggu? Aku nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketidakpastian."

Anin memeluk Gracia erat, memberikan dukungan dalam diam. Setelah beberapa saat, ia berkata pelan, "Aku harap kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku selalu ada buat kamu. Kamu nggak sendirian."

Gracia tersenyum kecil di balik pelukan Anin. "Terima kasih, Nin. Aku beneran nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu."

Mereka berdua terdiam, menikmati keheningan yang ada. Bagi Gracia, perasaan ringan itu sementara, tapi ia bersyukur bisa berbicara dengan seseorang yang benar-benar peduli padanya. Namun, di dalam hati, ia tahu bahwa ini hanya permulaan dari masalah yang lebih besar.

Sementara itu, di kantor, Sean sedang duduk di ruangannya, merenungi percakapan yang terjadi semalam. Ia menyadari bahwa keputusan yang harus diambil bukanlah sesuatu yang bisa terus ditunda. Gracia sudah memberikan ultimatum, dan jika ia tidak segera bertindak, pernikahan mereka bisa benar-benar runtuh.

Namun, bayang-bayang ibunya selalu mengganggu pikirannya. Bagi Sean, ibunya adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Ia selalu ingin memenuhi harapan ibunya, tapi ia juga tidak ingin menghancurkan hidup Gracia. Dua sosok penting dalam hidupnya, dan ia berada di tengah-tengah dilema yang sulit dipecahkan.

Pikirannya semakin kacau ketika ia menerima telepon dari ibunya. Nada suara ibunya, seperti biasa, penuh tekanan dan tuntutan.

"Sean, kamu sudah memikirkan apa yang kita bicarakan kemarin?" tanya ibunya tanpa basa-basi.

Sean menghela napas, mencoba tetap tenang. "Ibu, aku masih memikirkannya. Tapi aku sudah bilang, aku tidak akan menceraikan Gracia."

"Tapi kamu juga tidak bisa terus membiarkan waktu berlalu begitu saja, Sean! Kamu butuh keturunan. Kalau Gracia tidak bisa memberimu anak, maka kamu harus mencari jalan lain."

"Aku tahu, Bu. Tapi ini bukan keputusan yang bisa aku buat dengan mudah," jawab Sean tegas. "Aku mencintai Gracia, dan aku tidak ingin melukainya lebih jauh."

Ibunya terdiam sejenak sebelum berkata dengan suara lebih rendah, "Sean, kamu adalah pewaris keluarga kita. Keturunan itu penting. Kamu tidak boleh mengabaikan tanggung jawab ini."

Sean mengangguk, meskipun ibunya tidak bisa melihat. "Aku akan pikirkan lagi, Bu. Aku janji."

Setelah menutup telepon, Sean merasa tekanan itu semakin berat di pundaknya. Keputusan yang harus diambil semakin mendekat, dan ia tahu bahwa apa pun yang ia pilih, akan ada hati yang terluka.

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang