Jalan Pulang

64 9 0
                                    



Setelah kejadian di klub malam itu, Sean membawa Gracia pulang tanpa banyak bicara. Keduanya duduk di dalam mobil, dalam keheningan yang hanya diselingi suara mesin. Gracia duduk memandangi jendela, sementara Sean berusaha menahan amarahnya. Dia tahu bahwa jika dia meledak, semuanya bisa semakin buruk.

Setibanya di rumah, Gracia langsung menuju kamar tanpa menoleh ke arah Sean. Dia membanting pintu, meninggalkan Sean yang berdiri mematung di ruang tamu. Sean ingin mengejarnya, tapi ia tahu Gracia sedang tak ingin diganggu. Dia menghela napas panjang dan duduk di sofa, merasa begitu lelah dengan situasi ini.

Beberapa saat kemudian, Anin yang baru pulang dari pemeriksaan kandungan mendapati Sean sendirian di ruang tamu. Wajahnya terlihat kusut dan penuh dengan beban.

"Sean, kamu baik-baik aja?" tanya Anin dengan hati-hati, meskipun dalam hatinya dia tahu jawabannya.

Sean mengangguk pelan tanpa berkata-kata. Anin bisa merasakan ada sesuatu yang salah, sesuatu yang mungkin tak bisa diatasi dengan mudah.

"Aku tadi lihat Gracia masuk kamar. Apa kalian bertengkar lagi?" lanjut Anin, meskipun suaranya sedikit bergetar. Dia merasa dirinya selalu berada di antara dua orang yang paling ia sayangi, tapi juga menjadi penyebab masalah mereka.

Sean akhirnya menatap Anin, matanya penuh dengan kelelahan. "Aku nggak tahu harus gimana lagi, Anin. Semuanya semakin rumit. Gracia... dia berubah. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki ini."

Anin duduk di samping Sean, berusaha memberikan dukungan, meskipun ia sendiri merasa tersudut. "Kamu dan Gracia masih saling mencintai, Sean. Aku yakin itu. Tapi kalian butuh waktu untuk bicara dan menyelesaikan semuanya. Mungkin kamu bisa kasih dia ruang."

"Ruang? Kita udah seperti dua orang asing di rumah ini, Anin. Dia selalu menghindar, dan ketika kita bicara, semuanya berubah jadi pertengkaran. Aku takut kehilangan dia," kata Sean lirih, suaranya terdengar getir.

Anin meremas tangannya sendiri, menahan perasaan bersalah yang semakin membesar. "Aku juga nggak mau jadi alasan keretakan kalian, Sean. Aku selalu merasa bersalah setiap kali aku melihat Gracia terluka karena situasi ini."

Sean menunduk, merasakan perasaan yang sama. Dia tak pernah menyangka hidupnya akan menjadi serumit ini—menikahi dua perempuan yang ia sayangi, namun pada akhirnya, ia malah menghancurkan keduanya.

Malam itu, Gracia tak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan kecamuk, memikirkan pertengkarannya dengan Sean, rasa cemburu yang tak bisa dia hilangkan, serta perasaan terjebak dalam situasi yang terus menghantui hidupnya.

"Apa yang sebenarnya aku lakukan?" gumamnya pada dirinya sendiri. Dia merasa lelah dengan semua ini, tapi di satu sisi, ia tak ingin menyerah. Namun, ada perasaan yang sulit ia jelaskan—kehilangan dan kebingungan.

Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya. Gracia terdiam, dan beberapa detik kemudian, pintu terbuka sedikit, menampakkan wajah Sean yang tampak ragu.

"Gracia, boleh aku masuk?" tanyanya lembut, berbeda dari nada marah yang biasa terdengar ketika mereka bertengkar.

Gracia menghela napas panjang, kemudian mengangguk. "Masuklah."

Sean melangkah masuk dengan hati-hati, menutup pintu di belakangnya. Ia duduk di pinggir tempat tidur, sementara Gracia tetap berbaring, menatap langit-langit. Tak ada yang bicara selama beberapa menit. Hening itu terasa menekan, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—seolah mereka sedang menunggu siapa yang akan memulai.

"Aku minta maaf, Gre," Sean akhirnya membuka suara, suaranya terdengar tulus dan tenang. "Aku tahu aku salah. Aku tahu aku nggak selalu ada untuk kamu seperti yang seharusnya. Tapi aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu."

Gracia menoleh, menatap Sean yang terlihat begitu lelah. Ada sesuatu dalam tatapan Sean yang membuat hatinya sedikit melunak, meskipun ia masih merasa sakit.

"Kamu tahu, Sean... kadang aku merasa kamu nggak benar-benar mengerti bagaimana perasaanku," balas Gracia, suaranya rendah tapi sarat dengan emosi. "Kamu nggak tahu seberapa besar rasa sakit yang aku rasakan setiap kali melihat kamu bersama Anin."

Sean mengangguk pelan. "Aku tahu, Gre. Aku tahu ini semua sulit buat kamu, dan aku minta maaf. Aku hanya... aku nggak mau kehilangan kamu. Tapi di saat yang sama, aku nggak bisa meninggalkan Anin. Aku bingung."

Gracia menutup matanya sejenak, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Aku juga bingung, Sean. Setiap hari, aku bertanya-tanya apakah aku masih penting buat kamu, ataukah kamu sudah lebih mencintai Anin."

Sean mendekat, mencoba meraih tangan Gracia, dan kali ini Gracia membiarkannya. "Kamu tetap yang terpenting, Gracia. Aku janji. Tapi situasi ini... kita harus bisa hadapi bersama."

Gracia menarik napas dalam-dalam, merasa ada sedikit kelegaan dalam hatinya meskipun rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang. "Aku nggak tahu apakah aku bisa terus bertahan seperti ini, Sean. Rasanya setiap hari aku semakin menjauh dari kamu."

Sean memandang Gracia dengan tatapan penuh harap. "Kita masih bisa memperbaikinya, Gre. Aku yakin kita bisa. Asal kamu masih mau berjuang untuk kita."

Gracia terdiam, merenungi kata-kata Sean. Apakah dia masih sanggup bertahan? Ataukah semua ini sudah terlalu berat untuk diteruskan?

Malam itu, meskipun tak ada kepastian dari percakapan mereka, ada sedikit kehangatan yang kembali muncul di antara mereka. Mungkin ini bukan akhir dari segalanya. Mungkin masih ada jalan pulang.

Namun, jalan itu masih panjang dan penuh dengan ketidakpastian.

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang