Tersimpan Dalam Diam

68 8 0
                                    


Hari-hari setelah makan malam itu terasa seperti awal yang baru bagi Gracia dan Sean. Mereka berusaha keras untuk menjaga hubungan mereka tetap harmonis, meskipun situasinya jauh dari sempurna. Gracia merasa lebih tenang dengan kehadiran Anin, meski masih ada kecemburuan yang tak bisa sepenuhnya dia hilangkan. Namun, dia tahu, untuk Sean, dia harus mencoba.

Pagi itu, Gracia duduk di teras rumah, menikmati secangkir teh sambil memandang ke taman kecil di depan rumah mereka. Pikiran tentang masa depan selalu menghantui benaknya. Bagaimana kehidupannya nanti ketika Anin melahirkan? Akankah rasa cemburu ini menghilang, atau justru semakin kuat?

Sean keluar dari dalam rumah, membawa segelas kopi. Dia duduk di sebelah Gracia, memandangnya dengan senyuman lembut.

"Kamu sudah bangun lebih pagi dari biasanya," ujar Sean sambil menyeruput kopinya.

"Ya, aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri. Banyak yang kupikirkan," jawab Gracia, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Sean meletakkan gelasnya dan menggenggam tangan Gracia. "Kamu masih cemburu, ya?"

Gracia mengangguk perlahan. "Aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Tapi setiap kali aku melihatmu bersama Anin, aku tidak bisa menahan perasaan ini."

Sean menghela napas panjang, menatap Gracia dalam-dalam. "Aku tahu ini sulit buat kamu, dan aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak membuatmu merasa terpinggirkan. Aku tidak pernah ingin kamu merasa seperti itu."

"Aku tahu kamu berusaha, Sean. Tapi kenyataannya, perasaan ini sulit dikendalikan. Anin sedang mengandung anakmu, dan aku tidak bisa mengabaikan itu begitu saja," ujar Gracia, suaranya mulai bergetar.

Sean memeluk Gracia erat, mencoba menenangkan istrinya. "Kamu tetap yang paling penting dalam hidupku. Kita sudah melalui banyak hal bersama, Gre. Jangan biarkan semua ini menghancurkan kita."

Gracia merasakan kehangatan pelukan Sean, tapi di dalam hatinya, masih ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Dia menginginkan keluarga, anak yang bisa dia sayangi bersama Sean, tapi kenyataan tidak berpihak padanya.

"Bagaimana kalau kita pergi liburan sejenak?" usul Sean tiba-tiba.

Gracia menatap Sean dengan bingung. "Liburan? Di tengah semua ini?"

"Ya, mungkin kita butuh waktu untuk benar-benar berdua. Kita bisa menghabiskan waktu tanpa memikirkan masalah-masalah ini, setidaknya untuk sementara," jelas Sean.

Gracia tersenyum tipis. "Mungkin itu ide yang bagus. Kita butuh waktu untuk beristirahat."

Sementara itu, di tempat lain, Anin juga menghadapi kegelisahannya sendiri. Meskipun dia telah setuju untuk menikah dengan Sean dan menjadi istri kedua, dia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi serumit ini. Kehamilannya membuat segalanya terasa lebih nyata, dan terkadang, dia merasa bersalah pada Gracia. Dia tahu betapa besar cinta Gracia pada Sean, dan menjadi penyebab terbelahnya perhatian Sean membuat Anin merasa terbebani.






Anin sedang sendiri berada di apartemen nya. tidak di rumah gracia dan sean, duduk di kamarnya, memandangi perutnya yang semakin membesar. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, dia merasa bahagia karena akan menjadi seorang ibu, tapi di sisi lain, dia tahu bahwa Gracia mungkin merasa tersakiti dengan semua ini.

Saat sedang melamun, Anin mendengar suara ponselnya berbunyi. Itu pesan dari Gracia.

"Bisa kita bertemu besok? Aku ingin kita bicara."

Anin tertegun sejenak sebelum membalas pesan itu. "Tentu, kapan pun kamu mau."

Esok harinya, Gracia dan Anin bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi. Keduanya duduk di meja yang terletak di sudut, jauh dari keramaian.

"Terima kasih sudah mau datang, Nin," sapa Gracia dengan senyuman tipis.

"Tentu, Gre. Aku juga sebenarnya ingin bicara denganmu," balas Anin, tampak sedikit canggung.

Gracia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memulai pembicaraan. "Aku ingin kita jujur satu sama lain, Nin. Aku tahu kita sekarang berada dalam situasi yang rumit, tapi aku ingin hubungan kita tetap baik."

Anin mengangguk. "Aku juga, Gre. Aku merasa bersalah karena terlibat dalam semua ini. Aku tidak pernah bermaksud untuk merebut tempatmu di hati Sean."

"Aku tahu, Nin. Dan aku juga tidak menyalahkanmu sepenuhnya. Ini adalah keputusan yang kita ambil bersama, meskipun sulit," ujar Gracia dengan suara lirih.

"Sean mencintaimu, Gracia. Aku bisa melihat itu. Aku... hanya berada di sini untuk memberikan apa yang dia butuhkan, tapi itu tidak mengubah perasaannya padamu," kata Anin, mencoba meyakinkan Gracia.

"Tapi bagaimana dengan aku? Bagaimana aku bisa menerima bahwa suamiku memiliki anak dengan wanita lain, bahkan jika itu kamu, sahabatku sendiri?" tanya Gracia, air mata mulai mengalir di pipinya.

Anin meraih tangan Gracia, berusaha memberikan dukungan. "Aku tidak punya jawaban pasti untuk itu, Gre. Tapi aku tahu, kita semua sedang berusaha sebaik mungkin. Kamu adalah bagian penting dari hidup Sean, dan aku tidak akan pernah mencoba menggantikan posisimu."

Gracia tersenyum samar, meskipun matanya masih basah oleh air mata. "Aku berharap kita bisa melewati semua ini, Nin. Aku tidak ingin kehilangan Sean, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku."

"Kita akan melaluinya bersama, Gre. Kita harus kuat," balas Anin dengan lembut.

Percakapan mereka berakhir dengan keheningan yang penuh pemahaman. Meskipun situasinya tidak mudah, mereka tahu bahwa mereka harus bekerja sama untuk menjaga keutuhan hubungan ini. Pertemuan itu meninggalkan harapan baru bagi Gracia dan Anin. Mereka saling menguatkan, meskipun dalam hati masing-masing masih ada kekhawatiran yang tersimpan rapi.

Namun, saat malam tiba, Gracia tetap merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Perasaannya bercampur aduk—antara cemburu, cinta, dan ketakutan. Dia bertanya-tanya apakah dia benar-benar bisa menerima semua ini, atau jika pada akhirnya, dia akan terjebak dalam perasaan yang tidak bisa diungkapkan.

Tapi untuk saat ini, dia memilih untuk bertahan.

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang