Menghadapi kenyataan

68 11 0
                                    


Hari-hari berlalu, dan meskipun Gracia merasa sedikit lebih nyaman dengan keputusan yang telah diambil, bayangan keraguan masih membayangi pikirannya. Dia tidak bisa mengabaikan perasaannya ketika melihat Sean bersama Anin. Momen-momen kecil, seperti saat Sean tertawa mendengar lelucon Anin atau saat mereka berdiskusi di dapur, selalu menyisakan rasa cemburu di hati Gracia.





Suatu sore, saat Gracia sedang menyiram tanaman di teras, dia melihat Sean dan Anin sedang berbincang di dalam rumah. Mereka tampak akrab, dan saat Sean tersenyum, Gracia merasakan sebuah tusukan rasa sakit di dadanya. Dia berpikir tentang betapa mudahnya Anin bisa masuk ke dalam kehidupan mereka, sementara dia berjuang untuk menjaga hatinya tetap utuh.

Ketika Anin pergi, Gracia memutuskan untuk membicarakan perasaannya dengan Sean. Mereka perlu menjelaskan batasan yang telah mereka buat dan bagaimana setiap orang merasakannya dalam praktiknya.

"Sean," panggil Gracia saat Sean masuk ke ruang tamu.

Sean menoleh, terkejut melihat Gracia yang terlihat cemas. "Ada apa, Ge?"

"Aku ingin kita bicara. Tentang... tentang perasaan kita," kata Gracia, dengan suara bergetar.

Sean mendekat, duduk di sampingnya. "Oke, apa yang ingin kamu bicarakan?"

Gracia menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan kegelisahan yang ada di dalam dirinya. "Aku merasa... cemburu. Setiap kali aku melihatmu bersama Anin, aku merasa seolah kamu mulai menjauh dariku. Mungkin ini hanya perasaanku, tapi aku tidak bisa menahannya."

Sean menatapnya, matanya penuh perhatian. "Gracia, aku tidak ingin kamu merasa seperti itu. Aku di sini untukmu. Anin memang ada dalam hidup kita, tapi itu tidak mengubah perasaanku padamu."

"Tapi kamu menghabiskan waktu bersamanya, sementara aku merasa kesepian. Aku takut kamu akan lebih memilihnya daripada aku," keluh Gracia, suaranya mulai bergetar.

"Kamu tidak perlu khawatir, Ge. Anin tahu tempatnya. Dia tidak akan pernah menggantikanmu. Kamu adalah istri dan cinta sejatiku," ujar Sean, mengusap punggung tangan Gracia dengan lembut.

"Tapi bagaimana kita bisa membuatnya terasa adil? Aku tidak ingin merasa seperti ini terus-menerus," Gracia menjawab, air mata mulai mengalir di pipinya.

Sean menghela napas, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Mungkin kita bisa mencari waktu khusus untuk kita berdua. Saat kita hanya berdua, tanpa Anin. Kita bisa berbicara dan menghabiskan waktu seperti dulu."

Mendengar itu, Gracia merasa sedikit lega. "Itu ide yang bagus. Kita perlu mengingatkan diri kita tentang apa yang membuat hubungan kita kuat."

"Dan kita juga harus berbicara dengan Anin tentang perasaan kita," tambah Sean. "Aku ingin dia tahu bahwa kita akan selalu menjadi prioritas satu sama lain."

Gracia mengangguk, merasa lebih baik setelah membicarakan perasaannya. "Terima kasih, Sean. Aku sangat menghargai itu."

Setelah berbincang-bincang, mereka memutuskan untuk mengatur waktu berkualitas untuk diri mereka sendiri. Malam itu, Sean merencanakan makan malam romantis di rumah, dengan semua makanan kesukaan Gracia. Dia ingin mengingatkan Gracia betapa berartinya dia dalam hidupnya.

Ketika Anin tiba keesokan harinya, mereka berdua duduk di meja makan, dengan suasana yang lebih hangat daripada sebelumnya. Gracia berusaha untuk bersikap ramah, meskipun hatinya sedikit bergetar. Dia tahu bahwa hubungan ini memerlukan usaha dari semua pihak.

"Nin, terima kasih sudah datang," sapa Gracia, dengan senyuman yang tulus.

"Terima kasih sudah mengundangku. Makanan ini terlihat enak!" balas Anin, dengan antusias.

Saat mereka mulai makan, Gracia dan Sean bertukar pandang. Ada kehangatan di mata mereka yang membuat Gracia merasa tenang. Dia berusaha untuk tidak membiarkan kecemburuan merusak suasana, dan Sean juga tampak berusaha keras untuk membuat semuanya nyaman.

Setelah makan, mereka menghabiskan waktu berbincang tentang hal-hal sepele. Gracia merasa lebih lega saat melihat Anin dan Sean berbincang. Dia tahu bahwa mereka bisa menciptakan suasana ini bersama-sama.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar proyek barumu, Nin?" tanya Sean.

Anin tersenyum. "Baik, aku baru saja mendapatkan klien baru. Senang sekali rasanya bisa berkontribusi di tempat kerja."

"Bagus, selamat ya! Kamu memang luar biasa," puji Gracia.

Percakapan berlanjut dengan tawa dan cerita-cerita lucu. Gracia berusaha menikmati momen ini, meskipun di dalam hatinya, dia tahu bahwa tantangan masih ada di depan.

Namun, malam itu, setelah Anin pulang, Sean dan Gracia duduk bersama di sofa. Ada keheningan yang nyaman di antara mereka.

"Terima kasih untuk malam yang indah ini," ujar Gracia, menyandarkan kepalanya di bahu Sean.

Sean tersenyum, merangkul Gracia. "Aku ingin kita terus meluangkan waktu seperti ini. Kita butuh ini, Gre. Kita harus menjaga cinta kita tetap hidup."

Dengan perasaan yang lebih tenang, Gracia mulai merasa harapan baru dalam hubungannya dengan Sean. Mereka telah mengambil langkah pertama untuk membangun kembali kepercayaan dan menciptakan keseimbangan dalam kehidupan baru mereka bertiga. Meskipun perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan, Gracia tahu bahwa mereka akan melaluinya bersama.

Malam itu, Gracia tidur dengan pikiran yang lebih ringan. Dia tahu bahwa mereka akan menghadapi banyak hal, tetapi untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, dia merasa optimis tentang masa depan. Cinta mereka, meskipun diuji, tetap kuat, dan dengan itu, mereka akan menemukan cara untuk menjalani kehidupan baru mereka dengan bahagia.

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang