Batas Kesabaran

104 13 0
                                    



Sudah beberapa hari sejak percakapan yang menyakitkan antara Gracia dan ibu mertuanya. Gracia terus mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa, tetapi kata-kata Ny. Natio tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Setiap kali ia terbangun di pagi hari, wajah ibu mertuanya selalu menghantui, seolah-olah mengingatkan betapa pentingnya seorang cucu bagi keluarga Natio.

Sean tetap seperti biasanya—sibuk dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai CEO. Meski ia selalu berusaha menenangkan Gracia, perasaan resah itu tidak bisa benar-benar hilang. Setiap kali mereka makan malam bersama, Gracia hanya bisa merasakan jarak di antara mereka yang semakin lebar. Bukan karena cinta mereka berkurang, tapi karena perbedaan pandangan soal anak yang semakin terasa menyakitkan.

Suatu malam, setelah Sean pulang terlambat dari kantor, mereka duduk di meja makan, menyantap hidangan tanpa banyak bicara. Gracia memandang suaminya dengan penuh pertanyaan di dalam hati, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkit sesuatu yang sudah lama mengganggu pikirannya.

"Aku ingin bicara soal sesuatu," Gracia akhirnya membuka suara setelah beberapa menit keheningan.

Sean, yang tampak lelah, hanya menatapnya dengan anggukan kecil. "Apa?"

Gracia meletakkan garpu dan pisau di atas piring, menatap suaminya dengan mata yang penuh kebimbangan. "Sean, aku pikir... kita harus benar-benar mempertimbangkan untuk mengadopsi anak."

Sean berhenti mengunyah, menatap Gracia sejenak sebelum menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya topik ini muncul, tapi Gracia bisa merasakan bahwa kali ini pembicaraan ini lebih serius.

"Gracia, kamu tahu perasaanku soal itu," kata Sean perlahan.

"Ya, aku tahu," balas Gracia, suaranya mulai bergetar. "Tapi Sean, kita sudah mencoba segalanya. Sudah tujuh tahun kita menikah, dan aku tidak tahu seberapa lama lagi aku bisa menahan semua tekanan ini. Ibumu sudah mulai bicara soal kamu menikah lagi. Kamu tidak bisa terus-menerus mengabaikan fakta bahwa keluarga kita... tidak lengkap."

Sean mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Keluarga kita sudah lengkap, Gracia. Kita tidak perlu anak untuk membuatnya sempurna. Aku menikahimu karena aku mencintaimu, bukan karena ingin anak."

Gracia menggelengkan kepala. "Ini bukan hanya soal kita, Sean. Ibumu... keluargamu... mereka terus menekan kita. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan dengan ini."

"Lupakan mereka! Mereka tidak punya hak untuk menentukan bagaimana kita hidup," tegas Sean. Suaranya terdengar tegas, tapi ada kelelahan di dalamnya.

"Sean, aku juga ingin punya anak," suara Gracia mulai pecah. "Aku ingin menjadi seorang ibu, dan aku tahu kamu mungkin tidak menganggap itu penting, tapi bagiku ini berarti segalanya. Aku tidak bisa terus menjalani hidup tanpa merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu."

Sean terdiam. Ia tahu bahwa perdebatan ini akan muncul, tapi mendengarnya langsung dari Gracia membuatnya merasa bersalah. Ia mencintai istrinya, tapi pandangannya soal anak selalu berbeda. Bagi Sean, pernikahan mereka sudah sempurna tanpa anak. Baginya, yang penting adalah hubungan mereka, bukan soal meneruskan garis keturunan atau memenuhi harapan orang lain.

"Aku tidak menentang ide untuk memiliki anak, Gracia," kata Sean akhirnya, suaranya melembut. "Aku hanya... aku hanya tidak yakin kalau mengadopsi adalah jawabannya. Anak itu bukan sesuatu yang bisa kamu ambil dari tempat lain begitu saja. Dia butuh cinta, perhatian, dan keluarga yang utuh. Dan aku takut kita tidak bisa memberikan itu."

Gracia menatap suaminya dengan mata yang basah. "Sean, aku tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi kalau kita terus seperti ini, aku takut... aku takut kita akan semakin jauh. Aku merasa kamu tidak mengerti apa yang aku rasakan. Setiap hari aku merasa kosong. Setiap kali melihat keluarga lain dengan anak-anak mereka, aku merasa iri. Aku merasa gagal."

Sean merasa hatinya teriris mendengar pengakuan jujur istrinya. Ia tahu Gracia selalu menginginkan anak, tapi ia tak pernah menyadari betapa dalam luka yang dirasakannya selama ini.

"Aku mencintaimu, Gracia," Sean berkata dengan suara rendah. "Aku tidak ingin kehilangan kamu."

"Aku juga mencintaimu, Sean," balas Gracia, air mata mulai mengalir di pipinya. "Tapi kalau kita terus begini, aku tidak tahu apakah cinta saja cukup untuk mempertahankan pernikahan kita. Kita butuh solusi."

Sean terdiam. Kata-kata Gracia menggema dalam benaknya, membawa beban yang semakin berat. Ia tahu bahwa mereka berada di titik krisis. Jika dia terus menolak ide mengadopsi, dia takut akan kehilangan Gracia. Namun, ia juga takut bahwa dengan mengadopsi, ia akan merusak perasaan asli dari keluarganya yang sudah ia bangun selama ini.

"Kita masih punya waktu," kata Sean akhirnya. "Mari kita tidak terburu-buru membuat keputusan."

Gracia menatap suaminya dengan kecewa. Setiap kali topik ini muncul, Sean selalu menghindar. Dan Gracia tahu, kali ini pun tidak akan berbeda.

"Baik, kalau itu yang kamu mau," katanya pelan, suaranya penuh kepasrahan. "Tapi ingatlah, Sean, aku tidak bisa menunggu selamanya."

Seminggu setelah percakapan itu, tekanan dari ibu Sean semakin meningkat. Ny. Natio datang lebih sering ke rumah mereka, membawa topik yang selalu sama—tentang anak dan masa depan keluarga Natio. Gracia semakin terjepit, merasa seolah tak ada jalan keluar dari semua ini. Setiap kali bertemu dengan ibu mertuanya, Gracia selalu merasa tak berdaya.

Suatu hari, ketika Sean sedang di kantor, Ny. Natio datang tanpa memberi tahu lebih dulu. Gracia yang sedang beristirahat di ruang tamu, terkejut melihat kedatangannya.

"Kamu di rumah sendiri?" tanya Ny. Natio sambil melirik sekeliling.

"Ya, Bu. Sean masih di kantor," jawab Gracia dengan sopan, meski dalam hatinya ia merasa lelah dengan semua ini.

Ny. Natio duduk di sofa dengan anggun, lalu tanpa basa-basi langsung memulai percakapan. "Gracia, aku sudah berbicara dengan Sean. Aku sudah bilang padanya bahwa keluarga ini butuh penerus. Kamu tahu itu, kan?"

Gracia mengangguk, tak sanggup menjawab.

"Aku sudah memberikan waktu yang cukup lama, Gracia. Tapi sekarang, waktu semakin menipis. Sean sudah berusia hampir empat puluh tahun, dan kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

Gracia menunduk, berusaha menahan air mata. "Aku tahu, Bu."

Ny. Natio mendekat, menatapnya dengan tatapan serius. "Jika kamu benar-benar mencintai Sean, maka kamu harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan dia terbebani oleh masalah ini. Keluarga kami membutuhkan penerus, dan jika kamu tidak bisa memberikan itu, maka kamu harus membiarkan Sean mengambil keputusan yang lebih bijak."

Gracia terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Semua kata-kata ibu mertuanya terdengar benar, tapi sangat menyakitkan. Ia merasa dirinya semakin tak berharga dalam pernikahan ini.

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang