Tekanan Dari Ibu

138 19 0
                                    


Hari itu, Gracia sedang duduk di beranda rumahnya yang luas, ditemani secangkir teh hangat. Meski langit biru dan udara sejuk, perasaannya tetap mendung. Pikirannya masih melayang pada percakapan tadi malam dengan Sean. Hatinya terasa berat, seolah tak ada jalan keluar dari masalah ini. Setiap kali ia mencoba membicarakan soal anak, Sean selalu menutup diri, menghindari pembahasan lebih lanjut.

Tiba-tiba, suara mobil terdengar dari gerbang depan. Gracia menoleh, melihat mobil hitam mengkilap masuk ke pekarangan. Itu adalah mobil ibu mertuanya, Ny. Natio. Perasaan cemas mulai menjalar di tubuh Gracia. Kedatangan ibu mertuanya seringkali membawa tekanan tambahan. Bukan karena mereka tidak akrab, tapi lebih karena ibu Sean selalu menyinggung soal anak. Topik yang Gracia begitu hindari, apalagi setelah percakapannya dengan Sean semalam.

Ibu Sean turun dari mobil dengan penuh gaya. Meski usianya sudah hampir enam puluh tahun, Ny. Natio tetap tampil anggun dengan gaun elegan dan perhiasan yang berkilauan. Senyumnya tampak ramah, tapi Gracia tahu di balik itu tersimpan pertanyaan-pertanyaan tajam yang selalu membuatnya gelisah.

"Gracia, sayang! Bagaimana kabarmu?" sapanya hangat sambil memeluk menantunya.

"Baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana?" jawab Gracia dengan senyum yang dipaksakan.

"Seperti biasa, sibuk mengurus acara sosial," balas Ny. Natio sambil melepas kacamatanya dan duduk di kursi depan Gracia. "Kamu sendiri kelihatan sedikit kurusan. Apa kamu baik-baik saja? Sudah ke dokter?"

Pertanyaan itu lagi. Gracia menghela napas pelan. Dia mencoba tetap tenang. "Aku baik-baik saja, Bu. Minggu lalu aku baru check-up. Tidak ada masalah serius."

Ny. Natio menatapnya, seolah mengukur kebenaran dari kata-kata menantunya. "Hmm... Baguslah kalau begitu. Tapi kamu tahu, kan? Kita sudah menunggu cukup lama, Gracia. Ini sudah tujuh tahun kalian menikah, dan belum ada tanda-tanda. Aku tidak ingin memaksa, tapi kamu tahu, aku sangat berharap memiliki cucu."

Gracia hanya menunduk, tak tahu harus menjawab apa. Setiap kali pembicaraan ini muncul, Gracia merasa semakin terpojok.

"Aku mengerti, Bu..." jawab Gracia dengan suara hampir berbisik.

"Kamu tahu, ini bukan hanya tentang aku. Ini juga tentang Sean. Kalian sudah melakukan semua yang bisa dilakukan, kan?" tanya Ny. Natio, suaranya terdengar lebih serius sekarang.

Gracia menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Ya, Bu. Kami sudah coba semua cara."

"Tapi hasilnya tetap sama." Ny. Natio menghela napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih lembut, tapi tetap menusuk. "Kamu tahu, Gracia, Sean adalah satu-satunya penerus keluarga Natio. Aku hanya ingin memastikan bahwa garis keturunan keluarga kami tetap berlanjut. Ini bukan hanya soal keinginan pribadi, tapi juga tanggung jawab besar untuk keluarga."

Kata-kata itu menembus hati Gracia seperti pisau. Ia selalu merasa gagal, seolah-olah ketidakmampuannya memiliki anak membuatnya tidak layak berada di dalam keluarga ini. Namun, ia tetap berusaha tenang.

"Aku dan Sean masih berharap, Bu. Kami... kami belum menyerah," kata Gracia dengan suara yang bergetar.

Ny. Natio terdiam sejenak, memandangi menantunya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu tahu, Gracia, aku mencintaimu seperti anakku sendiri. Tapi jika sampai akhir tahun ini tidak ada perkembangan, mungkin kita harus mulai memikirkan alternatif lain."

Gracia menatap ibu mertuanya dengan penuh kebingungan. "Alternatif lain?"

Ny. Natio tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak menenangkan Gracia. "Mungkin Sean perlu memikirkan untuk menikah lagi. Bukan karena aku tidak menghargai pernikahan kalian, tapi demi masa depan keluarga. Tentu, ini hanya jika kalian berdua setuju."

Kata-kata itu membuat hati Gracia seakan hancur berantakan. Ibu mertuanya benar-benar mengatakan hal itu. Menyuruh Sean untuk menikah lagi? Rasanya seolah-olah dunia di sekelilingnya runtuh.

"Bu... aku..." Gracia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Air matanya hampir jatuh, tapi ia mencoba menahannya.

"Gracia, sayang, ini bukan soal perasaan. Ini tentang keluarga. Dan aku tahu kamu orang yang bijak. Kamu pasti bisa memahami ini." Ny. Natio berkata lembut, seolah membujuk, tapi rasanya lebih seperti tekanan yang tak terelakkan.

Gracia hanya mengangguk lemah, meskipun dalam hatinya dia tak sanggup menerima kenyataan ini.

***

Malamnya, Gracia duduk di sisi tempat tidur, menatap cermin di depannya. Wajahnya yang dulu ceria kini tampak lelah. Sean belum pulang. Pikirannya dipenuhi oleh kata-kata ibu mertuanya. Ia tahu, Sean tidak pernah menyetujui ide untuk menikah lagi. Tapi seberapa lama ia bisa mempertahankan semuanya? Seberapa lama ia bisa menahan tekanan ini?

Suara pintu kamar terbuka, dan Sean masuk dengan wajah kelelahan seperti biasa. Dia tidak langsung menyadari perubahan di wajah Gracia.

"Kamu sudah makan?" tanya Sean sambil melepas dasinya.

Gracia menggeleng pelan, tak sanggup menjawab. Sean berhenti, memperhatikan istrinya lebih teliti. "Kamu kenapa? Ada yang terjadi hari ini?"

Gracia menoleh, menatap suaminya dengan mata yang memerah. "Ibumu datang."

Sean mengernyitkan dahi. "Dan?"

Gracia terdiam sejenak, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya berkata, "Dia menyuruhmu untuk menikah lagi."

Kata-kata itu menggantung di udara. Sean terpaku, terkejut, lalu perlahan duduk di tepi tempat tidur. "Apa?"

"Dia bilang... jika sampai akhir tahun kita belum punya anak, mungkin kamu harus mulai mempertimbangkan menikah lagi. Untuk meneruskan garis keturunan keluarga Natio."

Sean mengusap wajahnya, tampak frustrasi. "Aku sudah bilang ke ibu, aku tidak akan menikah lagi. Kita ini sudah cukup, Gracia. Kamu dan aku. Itu yang penting."

"Tapi... kamu tahu, Sean, tekanan ini semakin besar. Aku merasakannya setiap hari. Dan sekarang, ibumu sudah mulai bicara terang-terangan soal itu," suara Gracia bergetar, matanya kembali berkaca-kaca. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."

Sean mendekat, memegang tangan Gracia erat-erat. "Dengar aku, Gre. Aku tidak akan menikah lagi. Kita bisa melewati ini bersama. Jangan biarkan orang lain mempengaruhi kita."

Gracia mengangguk pelan, tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu masalah ini tidak akan selesai begitu saja.

---

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang