Jalan Yang sulit

78 11 0
                                    


Pagi itu, Gracia terbangun dengan perasaan gelisah. Sean sudah pergi ke kantor, seperti biasanya, meninggalkannya di rumah besar yang terasa semakin kosong. Gracia berdiri di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang tampak lelah. Garis-garis halus mulai terlihat di sekitar matanya, dan ia tahu bahwa bukan hanya usia yang mempengaruhi, tapi juga tekanan emosional yang terus menghantamnya belakangan ini.

Ia berjalan ke dapur dan membuat secangkir kopi, berusaha menenangkan pikirannya. Hari-hari terasa begitu panjang dan membosankan tanpa percakapan yang hangat dengan Sean. Bahkan, percakapan sederhana antara mereka kini berubah menjadi diskusi dingin yang kaku, seperti dua orang asing yang terpaksa tinggal di bawah satu atap.

Gracia duduk di meja makan, menatap kopi di tangannya. Ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan Sean, tapi setiap kali mereka mulai berbicara, percakapan itu selalu berakhir dengan perdebatan. Ia merasa terjebak dalam pernikahan yang tak lagi memiliki tujuan yang jelas.

Tiba-tiba, suara ponselnya memecah keheningan. Itu Anin.

"Gracia, apa kamu di rumah? Aku ingin mampir sebentar," suara Anin terdengar ceria seperti biasa.

Gracia tersenyum tipis, merasa sedikit lega mendengar suara sahabatnya. "Iya, aku di rumah. Kamu bisa datang sekarang."

Tak lama kemudian, Anin tiba dengan membawa sebungkus roti dan sekotak jus. "Aku bawa sarapan, barangkali kamu belum makan," katanya sambil menaruh bawaannya di meja.

Gracia tertawa kecil, menyambut kehadiran Anin dengan perasaan hangat. "Terima kasih, tapi aku sudah buat kopi. Rasanya tidak enak kalau sarapan pakai kopi saja."

Anin duduk di hadapan Gracia, menatapnya dengan penuh perhatian. "Gimana? Ada kabar terbaru dari Sean atau keluarganya?"

Gracia menghela napas panjang. "Tidak ada yang berubah, Anin. Masih sama. Ibu mertuaku tetap ingin Sean menikah lagi, dan Sean tetap menolak. Tapi, aku tidak tahu sampai kapan dia bisa bertahan. Aku juga tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan."

"Kamu pasti bisa bertahan. Aku yakin kamu jauh lebih kuat dari yang kamu pikirkan," jawab Anin dengan nada tegas.

"Aku tahu kamu mencoba menguatkanku, tapi kenyataannya... rasanya sulit sekali, Anin. Rasanya seperti... aku sudah tidak tahu siapa aku lagi dalam pernikahan ini. Aku kehilangan diriku sendiri."

Anin mendengarkan dengan penuh perhatian, tak ingin memotong. Ia tahu bahwa sahabatnya sedang melalui masa yang sangat berat. "Gracia, apa kamu pernah berpikir untuk... mencari jalan lain? Maksudku, bukan berarti kamu harus menyerah pada pernikahan ini, tapi kadang-kadang kita butuh waktu untuk diri sendiri, untuk menemukan apa yang sebenarnya kita inginkan."

Gracia memandangi Anin, terdiam sejenak. "Aku tidak tahu apakah aku punya kekuatan untuk itu. Aku mencintai Sean, tapi aku juga merasa semakin jauh darinya."

Sebelum Anin bisa menjawab, pintu depan terbuka. Sean pulang lebih awal dari biasanya, dan kehadirannya membuat suasana di ruang makan menjadi tegang. Ia menatap Anin sebentar sebelum beralih pada Gracia.

"Kamu di sini, Anin?" Sean mencoba tersenyum, meskipun wajahnya tampak lelah. "Ada sesuatu yang perlu aku bicarakan dengan Gracia. Bisa kita bicara nanti?"

Anin mengangguk, mengerti bahwa waktunya tidak tepat untuk berada di sana. "Baiklah, aku akan pergi dulu. Kalau butuh apa-apa, Gracia, hubungi aku, ya."

Gracia hanya tersenyum tipis, lalu melihat Anin pergi. Setelah pintu tertutup, ia berbalik menatap Sean dengan tatapan waspada.

"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Gracia sambil melipat tangannya di dada.

Sean berjalan ke arahnya dan duduk di kursi Anin tadi, tampak ragu untuk memulai. "Aku... Aku bicara dengan ibu tadi pagi."

Gracia mendesah dalam hati. Sudah bisa ditebak. "Lalu? Apa yang dia katakan kali ini?"

Sean menatap Gracia dengan serius. "Dia tetap mendesakku untuk menikah lagi, Gracia. Tapi aku sudah bilang padanya, aku tidak akan menceraikanmu. Tidak peduli apa yang dia katakan."

Meskipun ada sedikit rasa lega mendengar itu, Gracia tetap merasa perih di hatinya. "Tapi menikah lagi, Sean? Apa itu yang kamu inginkan?"

Sean menggeleng. "Bukan itu yang aku inginkan. Tapi... aku juga tidak tahu harus bagaimana lagi. Ibu tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan cucu. Dan kita... kita sudah mencoba segalanya, tapi tetap saja... anak itu tidak datang."

"Apa kamu pikir aku tidak tahu itu?" Gracia berseru, suaranya mulai naik. "Aku yang harus menanggung semua beban ini, Sean! Setiap kali ibumu datang, setiap kali dia bicara tentang cucu, aku yang merasa gagal. Aku yang merasa hancur!"

Sean terdiam, menatap istrinya dengan penuh rasa bersalah. "Aku tahu, Gracia. Aku tahu kamu sudah berkorban banyak. Tapi aku juga merasa tersudutkan."

Gracia terdiam sesaat, matanya mulai basah oleh air mata yang sejak tadi ia tahan. "Aku sudah bilang, kita bisa mengadopsi. Tapi kamu selalu menolak. Apa sebenarnya yang kamu takutkan?"

Sean menghela napas panjang, berusaha merangkai kata-kata yang tepat. "Bukan soal takut, Gracia. Aku hanya... merasa itu bukan solusi yang tepat untuk kita."

"Kamu bilang bukan solusi yang tepat, tapi kamu juga tidak mau melakukan apa pun untuk menyelesaikan masalah ini!" Gracia berdiri, frustrasi. "Sementara itu, ibumu terus mendesak kita. Aku merasa seperti kita hidup di bawah bayang-bayangnya."

Sean berdiri juga, mencoba mendekati Gracia. "Aku tidak mau kita hancur hanya karena masalah ini. Kita bisa melewati ini, aku yakin."

Tapi Gracia mundur selangkah, menolak sentuhannya. "Aku tidak tahu, Sean. Aku mulai merasa kalau kita sudah terlalu jauh terpisah. Dan aku takut, suatu hari nanti, kamu akan menyerah."

Sean terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Kata-kata Gracia benar-benar menghantamnya, karena jauh di dalam hati, ia pun merasakan ketakutan yang sama.

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang