Batas Kesabaran

115 21 4
                                    


Hari demi hari berlalu, dan perasaan Gracia semakin tidak menentu. Meskipun dia dan Anin sudah mencoba saling memahami, kecemburuan itu seperti duri yang terus menusuk. Setiap kali Gracia melihat perut Anin yang semakin membesar, hatinya seakan tertusuk ribuan jarum.

Sore itu, Gracia sedang duduk di ruang tamu ketika Sean pulang dari kantor. Sejak percakapan terakhir mereka, Sean terlihat lebih perhatian, berusaha menunjukkan bahwa cintanya kepada Gracia tidak berubah. Namun, bagi Gracia, perhatian Sean terasa seperti upaya untuk menutupi sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang dia takuti akan menghancurkan segalanya.

"Kamu sudah pulang?" tanya Gracia tanpa menoleh dari majalah yang dibacanya.

Sean menghampirinya dan duduk di sebelahnya. "Iya, agak lebih awal hari ini. Aku pikir kita bisa makan malam di luar. Bagaimana menurutmu?"

Gracia mengangguk tanpa semangat. "Boleh saja, di mana kamu mau makan?"

Sean memerhatikan raut wajah Gracia yang murung. "Kamu kelihatan tidak bersemangat, ada apa, sayang?"

Gracia menutup majalahnya dan meletakkannya di meja. "Aku baik-baik saja, Sean. Hanya lelah."

Sean menatapnya penuh rasa bersalah. "Aku tahu ini semua sulit buat kamu. Kalau aku bisa memperbaiki semuanya, aku akan melakukannya."

"Kalau kamu bisa memperbaiki semuanya, kamu tidak akan menikahi Anin," balas Gracia dengan nada dingin.

Sean terdiam sejenak, merasa terpojok. "Aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak ingin ini terjadi. Tapi keadaan memaksa kita semua."

"Keadaan, Sean? Atau itu hanya alasanmu?" Gracia menatapnya dengan tatapan tajam, akhirnya meluapkan semua yang dia pendam selama ini. "Aku sudah cukup sabar. Aku mencoba memahami situasimu, tapi kamu tidak pernah benar-benar mengerti apa yang aku rasakan. Kamu tidak bisa begitu saja meminta aku menerima semuanya."

"Gracia, tolong—" Sean berusaha memotong.

"Tidak, biarkan aku bicara, Sean!" Gracia membentak, suaranya bergetar penuh emosi. "Setiap hari aku melihat kamu dengan Anin, setiap kali aku mendengar dia bicara tentang bayi yang dia kandung, aku merasa hancur. Dan kamu tidak melakukan apa-apa untuk membuatku merasa lebih baik!"

Sean menghela napas panjang, menundukkan kepalanya. "Aku mencintaimu, Gracia. Aku tidak pernah ingin membuatmu merasa seperti ini."

Gracia menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tahu kamu mencintaiku, Sean. Tapi cinta saja tidak cukup untuk menghilangkan rasa sakit ini. Aku merasa kehilanganmu, sedikit demi sedikit."

Sean menatap Gracia, merasa sangat bersalah. Dia tahu bahwa situasi ini sangat menyakitkan bagi istrinya, tapi dia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Dalam hatinya, dia juga bingung. Di satu sisi, dia tidak ingin melukai Gracia lebih jauh, namun di sisi lain, Anin sedang mengandung anaknya, dan itu membuat semuanya lebih rumit.

"Apa yang harus aku lakukan, Gre?" tanya Sean putus asa. "Apa yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki ini?"

Gracia menatapnya dengan tatapan kosong. "Aku tidak tahu, Sean. Mungkin tidak ada yang bisa kamu lakukan lagi."

Setelah percakapan yang penuh emosi itu, mereka berdua terdiam. Sean memandang Gracia dengan penuh penyesalan, sementara Gracia merasakan kelelahan emosional yang begitu dalam. Dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan dalam situasi ini.

Malam itu, Gracia merasa cemas. Hatinya terasa berat dan pikirannya dipenuhi dengan berbagai kekhawatiran. Dia ingin sekali membicarakan perasaannya lebih lanjut dengan Sean, tetapi dia tahu bahwa itu hanya akan berakhir dengan lebih banyak pertengkaran. Kegelisahannya memuncak, dan dia merasa perlu melarikan diri, meski hanya untuk sementara.

Gracia mengambil jaketnya dan keluar dari rumah tanpa memberitahu Sean. Dia butuh waktu untuk dirinya sendiri, tanpa tekanan dan beban dari situasi yang sedang dia hadapi. Setelah mengendarai mobil tanpa tujuan, Gracia akhirnya berhenti di sebuah klub malam yang dulu sering dia kunjungi bersama teman-temannya.

Begitu masuk ke dalam klub, suara musik yang keras dan lampu yang berkedip-kedip menyambutnya. Gracia merasa sedikit lega. Di sini, dia bisa melupakan sejenak semua masalah yang membelenggu pikirannya.

"Apa kabar, Gracia? Sudah lama nggak kelihatan di sini!" sapa salah satu pelayan yang mengenalnya.

Gracia tersenyum tipis. "Iya, sudah lama sekali."

Dia memesan minuman dan duduk di bar, memandang sekeliling. Di klub itu, orang-orang terlihat begitu bebas dan tanpa beban. Gracia ingin merasakan hal yang sama—melupakan semua kekacauan dalam hidupnya, meski hanya untuk satu malam.

Setelah beberapa gelas, Gracia mulai merasa lebih tenang. Namun, saat dia hendak memesan minuman lagi, ponselnya bergetar. Itu pesan dari Sean.

"Di mana kamu?"

Gracia mengabaikan pesan itu. Dia tidak ingin kembali ke rumah sekarang. Tidak siap menghadapi Sean dan semua perasaan yang terus menumpuk di dalam dirinya.

Tapi Sean tidak menyerah. Dia terus mengirim pesan, bertanya-tanya di mana Gracia berada. Pada akhirnya, Gracia memutuskan untuk membalas singkat.

"Aku butuh waktu sendiri."

Sean membalas dengan cepat. "Kamu di mana? Aku khawatir."

Gracia menghela napas panjang dan mematikan ponselnya. Dia tidak ingin diganggu, tidak malam ini.

Di rumah, Sean merasa cemas. Dia tahu sesuatu sedang terjadi dengan Gracia, dan kepergiannya tanpa kabar membuatnya semakin gelisah. Dia memandangi ponselnya yang tidak lagi menunjukkan balasan dari Gracia.

Sementara itu, Anin yang sedang berada di kamar mendengar suara Sean yang gelisah. Dia keluar dan melihat Sean berdiri di ruang tamu dengan wajah cemas.

"Ada apa, Sean?" tanya Anin dengan suara lembut.

Sean menoleh padanya, mencoba tersenyum, tapi kegelisahan di matanya jelas terlihat. "Gracia pergi, dan aku tidak tahu di mana dia. Dia bilang dia butuh waktu sendiri, tapi aku khawatir."

Anin merasakan simpati mendalam untuk Sean. Dia tahu betapa rumitnya situasi ini bagi semua orang. "Mungkin kamu harus memberinya waktu, Sean. Dia butuh ruang untuk berpikir dan meredakan emosinya."

Sean mengangguk, meskipun hatinya tidak tenang. "Aku tahu, tapi aku tidak bisa diam saja. Aku merasa harus melakukan sesuatu."

Anin menatap Sean dengan penuh pengertian. "Terkadang, yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah menunggu."

Sean terdiam, merenungi kata-kata Anin. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti: dia tidak ingin kehilangan Gracia.




















up 5 bab cukup kan? 😉
kalau mau lanjut..... 15 vote ya buat bab ini


sambil nunggu, boleh baca cerita aku yang lain. ada chikara, zeesha, delshel, lurah, ondah.


makasih, mohon dukungan nya

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang