Pilihan Yang Berbatas Waktu

150 19 2
                                    


Sudah dua minggu berlalu sejak perdebatan terakhir antara Sean dan Gracia, namun suasana di rumah mereka masih dipenuhi ketegangan. Gracia tidak lagi membahas tentang anak, sementara Sean terus menunda keputusan. Mereka berusaha menjalani rutinitas seperti biasa, tetapi semua terasa kosong, seperti mereka berjalan di atas sisa-sisa pernikahan yang rapuh.

Suatu malam, Gracia duduk sendirian di teras belakang rumahnya, memandangi langit yang berawan. Pikirannya melayang pada percakapan terakhirnya dengan Anin. Sahabatnya itu telah memberikan dukungan yang tak tergantikan, tetapi Gracia tahu, hanya dia yang bisa menentukan apa yang harus dilakukan.

Tanpa disadari, air matanya mulai menetes. Ia sudah berusaha kuat, tapi ada batasnya. Gracia merasa kehilangan arah, seperti ada kekosongan besar yang tidak bisa ia isi.

Saat itu, Sean muncul di belakangnya, membawa dua cangkir teh. "Aku buatkan teh kesukaanmu," katanya sambil menyodorkan satu cangkir pada Gracia.

Gracia hanya mengangguk tanpa banyak bicara, menerima cangkir itu dengan tangan gemetar. Mereka duduk berdua di bangku teras, diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sean menatap Gracia, mencoba membaca ekspresi wajahnya yang suram.

"Kita nggak bisa terus begini, Gracia," kata Sean akhirnya, memecah keheningan. "Aku tahu ini sudah terlalu lama, dan kamu pasti sangat kecewa padaku."

Gracia menghela napas panjang sebelum menatap Sean dengan mata yang berkaca-kaca. "Bukan soal kecewa atau nggak, Sean. Aku hanya... lelah. Kita sudah mencoba berbicara, berdebat, bahkan diam-diaman. Tapi semua tetap terasa sama."

Sean menatap teh di tangannya, kemudian meletakkannya di atas meja. "Aku memang salah karena terus menunda. Aku tahu kamu sudah berkorban banyak dalam hubungan kita, dan aku sangat menghargai itu."

"Tapi?" Gracia menunggu kelanjutannya.

"Tapi aku benar-benar nggak mau kehilangan kamu," jawab Sean pelan. "Aku nggak peduli soal anak, Gracia. Aku hanya butuh kamu di sisiku."

Gracia menunduk, meremas-remas tangannya. "Aku tahu kamu nggak peduli soal anak, Sean. Tapi aku sudah bilang, ini bukan hanya soal kita berdua lagi. Ada harapan dari keluargamu, dan aku tahu itu membuatmu tertekan."

"Gracia, aku—"

"Sean," potong Gracia lembut, "aku nggak ingin kita berakhir hanya karena kita nggak bisa punya anak. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup dengan ketidakpastian ini. Kamu tahu betul bahwa ibumu akan terus mendesak kita."

Sean terdiam, merenungkan setiap kata yang Gracia ucapkan. Ia tahu istrinya benar. Ibu mereka tidak akan pernah menyerah sampai Sean mengambil tindakan yang nyata. Sementara itu, Gracia merasakan kesedihan yang mendalam, seperti berada di tepi jurang yang gelap.

"Apa kamu benar-benar mau aku menikah lagi?" tanya Sean tiba-tiba.

Gracia terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak menyangka Sean akan bertanya langsung seperti itu. "Bukan itu maksudku, Sean. Aku hanya... Aku ingin kita bahagia, tapi aku tahu ini bukan situasi yang mudah."

Sean menggelengkan kepala. "Aku nggak mau menceraikan kamu, Gracia. Aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa kamu."

"Dan aku juga nggak ingin kehilangan kamu," sahut Gracia, air mata mulai mengalir di pipinya. "Tapi kita berdua tahu, ada satu jalan yang mungkin bisa menyelesaikan masalah ini."

Sean menatap Gracia dalam-dalam, mencoba memahami maksudnya. Setelah beberapa detik, ia menyadari ke mana arah pembicaraan ini. "Kamu bicara soal Anin, ya?"

Gracia mengangguk pelan. "Iya. Aku sudah berpikir keras soal ini. Anin adalah sahabatku, dan aku percaya dia akan mengerti situasi kita. Kalau memang kamu harus menikah lagi, aku ingin itu dengan seseorang yang aku percaya."

Sean menggeleng lagi, lebih keras kali ini. "Aku nggak mau menyakiti perasaanmu, Gracia. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana rasanya berbagi kehidupan dengan orang lain."

"Sean, dengarkan aku," Gracia menegaskan, suaranya sedikit bergetar. "Aku sudah memikirkan semua kemungkinan. Kalau kamu menikah lagi dengan Anin, setidaknya aku tahu kamu bersama seseorang yang nggak akan menghancurkan rumah tangga kita. Anin orang baik, dan aku percaya dia nggak akan memperkeruh keadaan."

Sean memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. "Kamu yakin ini keputusan yang kamu mau, Gracia? Ini bukan solusi yang mudah. Aku nggak mau membuat kamu merasa lebih terluka."

Gracia mengusap air matanya dan menatap suaminya dengan tegas. "Aku nggak tahu apakah ini keputusan yang tepat, tapi aku tahu satu hal. Kita nggak bisa terus-terusan dalam situasi seperti ini. Kalau kita tetap seperti sekarang, pernikahan kita yang justru akan hancur. Aku nggak ingin kehilangan kamu, Sean. Tapi aku juga ingin melihatmu bahagia, dan kalau ini adalah jalan yang harus diambil, aku akan menerimanya."

Sean terdiam lama, mencerna semua yang dikatakan Gracia. Di dalam hati, ia merasa hancur. Bagaimana mungkin ia harus memilih di antara dua orang yang begitu berarti dalam hidupnya? Istrinya, yang sudah bersamanya selama tujuh tahun, dan sahabatnya yang tak pernah terlibat dalam masalah ini. Namun, ia juga tahu, Gracia telah memberikan jalan keluar yang mungkin bisa menyelamatkan pernikahan mereka, meskipun harganya sangat tinggi.

"Kalau kamu benar-benar yakin, aku akan bicara dengan Anin," ucap Sean akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.

Gracia hanya mengangguk, hatinya campur aduk antara lega dan kesedihan. Ini bukan keputusan yang ia inginkan, tapi ia juga tahu, pernikahan mereka sudah terlalu lama digantung oleh ketidakpastian. Kalau ini adalah cara untuk memperbaikinya, maka ia akan menerima apa pun yang terjadi.

Malam itu, Sean dan Gracia tertidur dengan pikiran yang dipenuhi keraguan. Mereka tahu, keputusan besar sudah menanti di depan mereka, dan apa pun hasilnya, kehidupan mereka tidak akan pernah sama lagi.

Beberapa hari kemudian, Sean menemui Anin di sebuah kafe yang cukup tenang di pinggir kota. Anin terlihat ceria seperti biasa, meskipun ada sedikit kebingungan di wajahnya. Sean sudah memberitahunya bahwa ia ingin berbicara tentang sesuatu yang penting, dan Anin tentu saja penasaran apa yang sebenarnya terjadi.

"Sean, ada apa? Kenapa tiba-tiba ngajak ketemuan di sini?" tanya Anin dengan senyum lembut.

Sean menatap sahabat istrinya itu, merasakan beban yang berat di dadanya. "Aku mau bicara serius, Nin. Ada sesuatu yang penting yang perlu aku diskusikan sama kamu."

Anin duduk lebih tegak, merasakan nada serius dalam suara Sean. "Kamu bikin aku penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Sean menghela napas panjang sebelum mulai bicara. "Ini soal aku dan Gracia. Kamu tahu, kami sudah tujuh tahun menikah, tapi sampai sekarang belum punya anak. Dan... keluargaku, terutama ibuku, sangat mendesak agar aku segera punya keturunan."

Anin mendengarkan dengan seksama, tetapi belum sepenuhnya mengerti arah pembicaraan Sean. "Oke, lalu apa yang bisa aku bantu?"

Sean menunduk sebentar, merasa sulit untuk melanjutkan. Tapi akhirnya, ia memberanikan diri.







"Gracia... dia menyarankan sesuatu yang mungkin akan terdengar aneh buat kamu."













"Dia bilang, kalau aku memang harus menikah lagi untuk mendapatkan anak, dia ingin kamu yang jadi pilihan."








Anin terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.


























Halo semuanya 👋🏻👋🏻
Kalian bisa panggil aku ra/ara
Cerita Greshan ini ada 21 part yaa
kalau mau kelanjutan nya, 10 vote ya untuk bab ini 😉
Terimakasih. mohon dukungannya

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang