Luka yang Terbuka

60 9 0
                                    


Hari-hari setelah percakapan itu berlalu dalam keheningan yang rapuh. Meski mereka telah berbicara, rasa sakit dan cemburu masih berdiam di hati Gracia. Ada saat-saat di mana ia merasa tenang, namun sering kali perasaannya meletup-letup tanpa kendali. Sean pun demikian. Ia tahu hubungan mereka berada di ujung tanduk, tapi setiap kali ia berusaha memperbaiki keadaan, ada dinding yang sulit ia tembus di antara dirinya dan Gracia.

Anin, di sisi lain, merasakan beban yang makin berat. Kehamilannya yang semakin membesar membuat semua orang fokus padanya. Tapi di saat bersamaan, ia juga melihat bagaimana Gracia dan Sean semakin terjebak dalam ketidakpastian. Anin sering menghindari untuk terlibat terlalu jauh, meski hatinya merasakan betapa besar peran dirinya dalam retaknya hubungan kedua orang yang ia cintai itu.

Suatu sore, Gracia sedang duduk di taman belakang rumah mereka. Pandangannya kosong menatap pepohonan yang bergoyang ditiup angin. Ia mengingat semua yang terjadi—pernikahannya dengan Sean yang awalnya penuh kebahagiaan, lalu masalah demi masalah datang tanpa henti. Gracia tahu, keputusannya untuk menyetujui Sean menikah lagi adalah awal dari luka yang ia toreh sendiri. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Dia mencintai Sean, dan saat itu, dia merasa menyerah adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.

Anin keluar dari rumah, berjalan pelan menuju Gracia. Dari belakang, ia bisa melihat betapa rapuh sahabatnya itu. Meski perutnya sudah membesar, Anin tetap memaksakan diri untuk mendekati Gracia, mencoba mencari cara untuk menenangkan hatinya.

"Gracia..." panggil Anin lembut saat ia mendekat.

Gracia menoleh, sedikit terkejut mendengar suara Anin. Ia mencoba tersenyum, meski senyum itu tak mampu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

"Kamu nggak harus sering-sering duduk sendirian, Gre. Aku khawatir kalau kamu terus-terusan begini," lanjut Anin, duduk di samping Gracia.

Gracia menghela napas, pandangannya kembali lurus ke depan. "Aku cuma butuh waktu buat sendiri, Nin. Aku merasa... semua ini terlalu berat."

Anin tahu betul apa yang Gracia maksud. Dia ingin memberikan dukungan, tapi di saat yang sama, dia juga merasa bersalah. "Aku nggak pernah bermaksud untuk mengambil Sean dari kamu, Gre. Aku juga nggak tahu kalau keadaan akan jadi serumit ini."

Gracia terdiam, menatap wajah Anin yang terlihat lelah. Meski hatinya masih dipenuhi cemburu, dia juga merasa kasihan pada Anin. Kehamilan ini membawa kebahagiaan bagi banyak orang, tapi tidak bagi dirinya.

"Aku tahu, Nin," balas Gracia pelan. "Kamu nggak pernah berniat jahat. Aku yang salah karena nggak bisa mengatasi perasaan sendiri."

Anin terdiam sejenak, kemudian menunduk. "Kita berdua terjebak dalam situasi yang nggak kita harapkan. Aku hanya berharap kita bisa menemukan jalan keluar tanpa melukai satu sama lain."

Mendengar itu, air mata Gracia yang sudah lama ia tahan akhirnya jatuh juga. Anin, yang melihatnya, langsung meraih tangan Gracia, mencoba memberikan kekuatan.

"Aku cuma pengen semuanya kembali seperti dulu, Nin. Aku rindu Sean. Aku rindu perasaan bahagia tanpa beban seperti dulu," ucap Gracia sambil terisak. "Tapi sekarang... semuanya berubah."

Anin memeluk Gracia erat, mencoba memberikan ketenangan yang mungkin tak banyak membantu. Di dalam hatinya, Anin merasa semakin bersalah. Dia merasa dirinya adalah penyebab semua ini, meskipun tak pernah ia harapkan. Namun, kehadirannya di tengah pernikahan Gracia dan Sean membawa begitu banyak perubahan—perubahan yang tak mungkin dihindari.

Sean, yang baru pulang dari kantor, melihat pemandangan itu dari dalam rumah. Ia berdiri di jendela, memandangi Gracia yang menangis di pelukan Anin. Pemandangan itu membuat hatinya semakin perih. Gracia yang selama ini selalu terlihat kuat kini terlihat begitu rapuh, dan itu adalah sesuatu yang tak pernah ingin ia lihat.

Sean tahu, ia harus segera melakukan sesuatu. Jika ia terus diam, semua akan semakin hancur. Tapi di mana dia harus mulai? Setiap kali ia mencoba mendekati Gracia, wanita itu selalu menjauh, seolah-olah dinding di antara mereka semakin tebal.

Di malam harinya, saat Gracia sudah tertidur, Sean duduk di ruang kerja kecil mereka. Ia menatap meja yang penuh dengan kertas-kertas pekerjaan, tapi pikirannya tak ada di sana. Yang terbayang di kepalanya hanyalah Gracia dan kebahagiaan mereka yang perlahan memudar.

"Bagaimana caranya aku bisa memperbaiki ini?" gumam Sean pada dirinya sendiri. Ia merasakan perasaan putus asa yang semakin menekan dadanya. Gracia adalah segalanya baginya, tapi sekarang dia merasa kehilangan kendali atas apa yang terjadi.

Ia mengambil ponselnya dan membuka galeri, menatap foto-foto lama mereka. Foto Gracia yang tersenyum saat liburan pertama mereka ke Bali, foto mereka berdua di pantai dengan matahari terbenam sebagai latar belakang, serta foto pernikahan mereka yang begitu indah. Di foto itu, Gracia tampak sangat bahagia, dan Sean terlihat tak bisa menyembunyikan cintanya pada wanita itu.

Mata Sean sedikit berkaca-kaca saat melihat foto-foto itu. Ia sadar, betapa besar cintanya pada Gracia, dan betapa takutnya ia kehilangan wanita itu. Tapi, apakah cinta saja cukup untuk menyelamatkan semuanya?

Malam itu, Sean memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama lagi. Dia harus bicara dengan Gracia, harus menemukan cara untuk memperbaiki hubungan mereka, apapun yang terjadi.

Keesokan paginya, Sean bangun lebih awal dari biasanya. Ia sudah memikirkan semua yang ingin ia katakan pada Gracia. Pagi itu, ia bertekad untuk mengakhiri semua kebekuan di antara mereka.

Saat Gracia keluar dari kamar mandi, Sean sudah duduk di meja makan, menunggunya. Gracia terlihat terkejut melihat Sean sudah siap, seolah ada sesuatu yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.

"Gre, aku perlu bicara sama kamu," kata Sean dengan suara lembut tapi tegas.

Gracia berhenti sejenak, lalu mengangguk pelan. "Tentang apa?"

"Semua ini, Gre. Tentang kita. Aku nggak mau kita terus begini. Kita harus selesaikan ini, apapun caranya," ucap Sean sambil menatap mata Gracia dengan sungguh-sungguh.

Gracia terdiam, hatinya berdebar. Mungkin ini saatnya mereka benar-benar berbicara dari hati ke hati, tanpa menyisakan amarah dan kebencian.

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang