Di Ambang Pilihan

83 12 0
                                    


Malam itu, suasana rumah terasa begitu sunyi. Setelah pertengkaran mereka, Gracia memilih untuk masuk ke kamar tanpa melanjutkan pembicaraan dengan Sean. Sean sendiri masih duduk di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya kacau. Di satu sisi, ia ingin menjaga Gracia, tidak mau menyakiti perasaannya lebih jauh. Tapi di sisi lain, tekanan dari ibunya semakin sulit diabaikan.

Jam dinding berdetak pelan, menandakan waktu terus berjalan. Tetapi bagi Sean, rasanya seperti waktu berhenti, terperangkap dalam dilema yang tak kunjung usai. Ia tahu betapa pentingnya masalah ini bagi ibunya, namun ia juga tidak ingin mengorbankan Gracia. Saat ini, semuanya terasa begitu rumit.

Kepalanya terasa berat. Ia bangkit, memutuskan untuk naik ke kamar. Begitu membuka pintu kamar, ia melihat Gracia sudah tertidur, wajahnya tampak lelah, bekas air mata masih terlihat di pipinya. Sean menghela napas panjang, menyesali perdebatan mereka tadi. Dalam hatinya, ia berharap semua ini bisa diatasi tanpa harus ada yang terluka lebih dalam.

Sean merebahkan dirinya di samping Gracia, tetapi malam itu ia sama sekali tidak bisa tidur nyenyak.

Keesokan harinya, Gracia bangun lebih awal dari Sean. Ia turun ke dapur dan mulai membuat sarapan seperti biasa. Namun, pikirannya masih terjebak dalam kekacauan emosi yang tak kunjung reda. Pertengkaran mereka tadi malam membuatnya merasa semakin jauh dari Sean. Meskipun mereka masih tinggal di rumah yang sama, rasanya ada jurang besar di antara mereka.

Sambil memanaskan kopi, Gracia meraih ponselnya dan membuka pesan dari Anin. Sahabatnya itu selalu ada untuknya, meskipun Gracia tahu bahwa semakin lama Anin pun merasa terjebak di tengah masalah rumah tangganya. Gracia belum pernah mengungkapkan kepada Anin bahwa ibunya Sean menyarankan Sean untuk menikah lagi. Baginya, terlalu menyakitkan untuk mengungkapkan hal itu.

Tidak lama kemudian, suara langkah kaki Sean terdengar di belakangnya.

"Gracia," panggil Sean pelan.

Gracia menoleh, menatap suaminya dengan pandangan datar. "Ya?"

"Aku... mau kita bicara lagi. Tentang semuanya."

Gracia mengangguk, walau ia tak yakin apakah ia benar-benar siap untuk membicarakan hal ini lebih jauh. "Oke. Mau bicara di sini atau di ruang tamu?"

"Di sini saja. Aku tidak mau mengulur waktu lebih lama lagi."

Mereka duduk di meja makan, suasana terasa canggung dan kaku. Sean menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memulai.

"Aku tahu kemarin kita bertengkar, dan aku minta maaf karena membuatmu merasa tidak didengarkan," Sean memulai, nadanya serius. "Tapi aku ingin kamu tahu, Gracia, bahwa aku tidak ingin pernikahan kita hancur hanya karena tekanan dari luar."

Gracia menatap Sean, masih dengan ekspresi tenang meskipun hatinya bergolak. "Masalahnya bukan hanya tekanan dari luar, Sean. Ini tentang kita. Tentang bagaimana kita menghadapi semua ini bersama atau tidak."

"Aku tahu. Dan aku juga merasa bersalah karena tidak bisa memberikan jawaban yang kamu harapkan. Tapi aku butuh waktu untuk berpikir."

"Tujuh tahun, Sean. Tujuh tahun sudah berlalu, dan aku merasa kita hanya berputar-putar di tempat yang sama," Gracia menahan emosinya. "Aku tidak meminta yang berlebihan, aku hanya ingin kita menemukan solusi. Tapi setiap kali aku berbicara tentang adopsi, kamu menolaknya. Lalu sekarang ibumu menyuruhmu menikah lagi, dan kamu tidak tegas menolak."

"Aku sudah bilang ke ibu kalau aku tidak akan menceraikanmu, Gracia," Sean mencoba membela diri.

"Ya, tapi kamu juga tidak benar-benar menolak untuk menikah lagi, kan?" tanya Gracia, menantang. "Apa kamu serius mempertimbangkan itu?"

Sean terdiam sesaat. "Aku... Aku tidak tahu. Aku tidak pernah berpikir untuk menikah lagi, tapi ibuku terus mendesak. Dan setiap kali aku menolak, dia selalu bilang kalau ini semua untuk kebaikan kita."

Gracia merasakan hatinya semakin perih. "Kebaikan siapa, Sean? Kebaikan kita atau kebaikan ibumu?"

Sean menggenggam tangannya di meja, mencoba menahan perasaan bersalah yang semakin berat di dadanya. "Aku hanya tidak ingin mengecewakan ibuku. Tapi aku juga tidak ingin melukai kamu."

"Aku sudah terluka, Sean," Gracia berkata pelan namun tegas. "Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi semua ini sudah menyakitiku sejak lama."

Sean menunduk, tidak mampu membalas perkataan Gracia. Ia tahu istrinya benar, dan ia tahu bahwa Gracia sudah berusaha keras untuk mempertahankan hubungan mereka. Tapi di dalam hati, Sean pun merasa bingung dan terjebak di antara keinginan ibunya dan perasaan cinta yang masih ia miliki untuk Gracia.

Setelah beberapa saat terdiam, Sean berkata dengan suara rendah, "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Gracia? Aku ingin kita tetap bersama, tapi aku juga tidak ingin memaksakan kehendak."

Gracia menatap Sean dengan tatapan yang lembut, meskipun matanya menyiratkan kesedihan. "Aku juga ingin kita tetap bersama, Sean. Tapi pernikahan ini harus berarti sesuatu bagi kita berdua. Kita tidak bisa terus-terusan hidup dengan perasaan seperti ini. Harus ada jalan keluarnya."

"Dan kamu masih ingin mengadopsi anak?"

Gracia mengangguk pelan. "Aku yakin itu jalan terbaik untuk kita. Tapi kalau kamu tidak bisa menerima itu... aku tidak tahu apa yang bisa kita lakukan."

Sean menghela napas panjang, merasa seolah-olah berada di ambang keputusan yang besar. "Aku akan memikirkannya lagi, Gracia. Aku janji."

Gracia tidak membalas, hanya tersenyum tipis. Ia tahu bahwa janji Sean untuk 'memikirkan' sesuatu seringkali hanya berarti penundaan. Tapi kali ini, ia berharap ada perubahan.

Mereka berdua terdiam cukup lama, membiarkan keheningan melingkupi mereka. Di dalam hati, Gracia merasa bahwa apapun yang terjadi ke depannya, semuanya tidak akan pernah sama lagi. Dan mungkin, keputusan yang mereka buat nanti akan menentukan arah baru bagi hubungan mereka.

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang