Di Persimpangan

84 13 0
                                    

Bab 4: Di Persimpangan

Malam itu, setelah percakapan yang melelahkan dengan Ny. Natio, Gracia merasa seluruh dunia runtuh di pundaknya. Kata-kata ibu mertuanya terus bergema dalam pikirannya. Setiap malam ia terjaga, membayangkan bagaimana hidupnya jika Sean benar-benar menikah lagi—jika ia harus menyerahkan Sean kepada orang lain hanya demi memberikan apa yang diinginkan oleh keluarga Natio.

Sean masih belum pulang dari kantor. Gracia duduk di ruang tamu, memandangi foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Di foto itu, senyuman Sean begitu tulus dan penuh cinta, tapi sekarang senyum itu terasa jauh. Mereka masih saling mencintai, tapi cinta saja tak selalu cukup untuk mengatasi semua masalah yang datang.

Saat pintu rumah terbuka, Gracia tersentak dari lamunannya. Sean masuk dengan wajah lelah, menyapa Gracia singkat sebelum berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Gracia menatapnya sejenak, berusaha mengumpulkan keberanian untuk membicarakan apa yang terjadi.

"Kita perlu bicara," kata Gracia, suaranya terdengar pelan namun tegas.

Sean yang sedang meneguk air berhenti sejenak, lalu menaruh gelasnya di meja. "Tentang apa?"

"Masalah ini... masalah kita," jawab Gracia dengan hati-hati. "Aku sudah tidak tahan lagi. Setiap kali aku bertemu dengan ibumu, aku merasa seperti orang yang gagal. Aku merasa seperti... aku tidak pernah cukup baik untukmu."

Sean menghela napas panjang, menyadari ke mana arah percakapan ini. Ia berjalan menuju Gracia dan duduk di sebelahnya di sofa. "Gracia, kamu tahu aku tidak peduli dengan apa yang ibuku katakan."

"Tapi aku peduli, Sean!" potong Gracia dengan nada penuh emosi. "Aku yang harus mendengarkan semua kata-katanya, aku yang harus menanggung bebannya. Dan aku tidak bisa terus hidup seperti ini."

Sean menatapnya, merasa bersalah karena tidak pernah benar-benar memahami beban yang Gracia rasakan. "Aku minta maaf kalau kamu merasa seperti itu. Aku benar-benar tidak bermaksud membiarkan ini terjadi. Tapi, kita sudah membahas soal anak, Gracia. Aku tidak ingin mengadopsi karena aku takut itu hanya akan menambah masalah."

"Masalah apa, Sean? Apakah kamu takut kita tidak bisa mencintai anak itu seperti anak kita sendiri?" Gracia bertanya dengan suara yang semakin keras. "Kita bisa memberi anak itu cinta, Sean. Kita bisa membangun keluarga yang bahagia, walaupun dia bukan darah daging kita. Tapi kamu terus menolak."

"Aku takut anak itu akan tumbuh dan merasa seperti orang luar, merasa seperti dia tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari kita," jawab Sean, mencoba menjelaskan perasaannya. "Aku tidak ingin dia merasakan penolakan yang sama seperti yang kamu rasakan sekarang."

Gracia menatap suaminya dengan air mata di matanya. "Sean, aku lebih takut kehilangan kamu. Aku lebih takut kalau kita tidak pernah mencoba. Apa kamu tidak melihat betapa hancurnya aku sekarang? Aku ingin anak, Sean. Aku ingin kita menjadi keluarga yang utuh."

Sean terdiam, tak mampu menjawab. Perdebatan ini sudah terlalu sering terjadi, dan setiap kali mereka berhadapan, ia selalu merasa terpojok. Ia tahu Gracia ingin anak, tapi baginya, keputusan untuk mengadopsi selalu penuh dengan ketidakpastian.

"Apa yang kamu inginkan dari aku, Gracia?" Sean akhirnya bertanya dengan nada putus asa. "Apa kamu ingin aku menyerah? Ingin aku menikah lagi seperti yang ibuku inginkan?"

Gracia tersentak mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Sean. "Tidak, aku tidak ingin itu. Tapi aku juga tidak tahu apakah aku bisa terus hidup seperti ini. Setiap hari, aku merasa semakin jauh darimu, Sean. Dan itu menyakitkan."

"Kamu tahu aku mencintaimu," Sean menegaskan, meski nadanya terdengar rapuh.

"Tapi cinta saja tidak cukup," Gracia berbisik, suaranya penuh kesedihan. "Kita butuh lebih dari itu."

Hari-hari berikutnya berlalu dengan penuh ketegangan. Gracia dan Sean masih tinggal di rumah yang sama, tapi keheningan di antara mereka semakin dalam. Mereka berbicara hanya ketika benar-benar perlu, dan sering kali hanya dalam nada dingin dan formal.

Suatu sore, saat Gracia sedang duduk di balkon sambil memandang langit yang mulai memerah, Anin, sahabat dekatnya, datang berkunjung. Anin adalah seseorang yang selalu bisa membuat Gracia merasa nyaman, tapi hari ini, Gracia merasa ada beban yang terlalu berat untuk dibagikan.

"Gracia, kamu kelihatan lelah," kata Anin sambil duduk di sebelahnya.

Gracia menghela napas panjang. "Aku memang lelah, Anin. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."

"Ini soal Sean?" Anin bertanya dengan lembut.

Gracia mengangguk, lalu menatap sahabatnya dengan tatapan yang penuh kebingungan. "Aku tidak tahu apakah pernikahan kami akan bertahan. Aku mencintainya, Anin, tapi masalah ini semakin lama semakin sulit. Dia tidak mau mengadopsi anak, dan ibunya terus menekanku agar Sean menikah lagi."

Anin terkejut mendengar itu. "Menikah lagi? Sean setuju?"

"Tidak, dia tidak setuju. Tapi ibunya terus memaksanya. Aku takut Sean akan menyerah pada tekanan itu," Gracia mengaku dengan suara yang hampir putus.

Anin meraih tangan Gracia dan menggenggamnya erat. "Kamu harus kuat, Gracia. Pernikahan selalu punya ujian. Tapi aku yakin kamu dan Sean bisa melewati ini."

"Aku tidak yakin lagi, Anin," balas Gracia dengan mata berkaca-kaca. "Aku bahkan tidak tahu apakah Sean benar-benar ingin bersama denganku lagi."

"Kamu tidak boleh berpikir seperti itu," kata Anin dengan tegas. "Sean mencintaimu. Aku tahu dia selalu mencintaimu. Masalah ini pasti bisa diatasi."

"Bagaimana caranya?" Gracia bertanya dengan putus asa. "Setiap kali kami bicara soal anak, kami selalu berakhir bertengkar. Aku merasa sudah tidak ada jalan keluar lagi."

Anin terdiam sejenak, merenungkan situasi yang dihadapi sahabatnya. "Mungkin kamu harus memberikan Sean waktu. Biarkan dia merenungkan apa yang sebenarnya dia inginkan. Kadang, orang butuh ruang untuk berpikir."

Gracia tersenyum lemah. "Aku sudah memberikan banyak waktu, Anin. Aku hanya tidak tahu seberapa lama lagi aku bisa menunggu."

Anin menepuk punggung Gracia dengan penuh kasih sayang. "Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini untukmu."

Seminggu kemudian, Gracia mulai merasakan perasaan hampa yang terus menghantui. Ia tidak bisa lagi melihat masa depan yang jelas dengan Sean. Meskipun ia sangat mencintai suaminya, perasaan bahwa cinta mereka tak lagi cukup untuk menghadapi semua ini mulai tumbuh.

Suatu malam, saat Sean pulang terlambat, Gracia menatapnya dengan tatapan penuh luka. Mereka berdua tahu bahwa sesuatu harus berubah. Tapi pertanyaannya, apakah mereka sanggup melewati badai ini bersama, atau apakah mereka akan terpisah karena tekanan yang semakin besar?

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang