Keputusan Berat

68 11 0
                                    


Gracia menatap Sean dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada begitu banyak emosi yang melintasi wajahnya—rasa sakit, cemburu, harapan, tapi juga ketakutan akan kenyataan yang mereka hadapi.

"Kita harus ngomong sekarang, Sean. Kalau nggak, semuanya bisa semakin hancur," Gracia memulai percakapan dengan suara serak.

Sean mengangguk, merasakan hal yang sama. Ia tahu pembicaraan ini bisa menjadi titik balik, apakah hubungan mereka akan diperbaiki atau semakin rusak. "Iya, Gre. Aku juga nggak mau kita terus kayak gini."

Gracia menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. "Kamu tahu, kan, aku selalu mendukung kamu, apa pun keputusannya. Aku terima Anin dalam hidup kita bukan karena aku ingin, tapi karena aku pikir itu jalan terbaik buat kamu dan keluarga kamu."

Sean menundukkan kepala, merasa bersalah karena tak pernah sepenuhnya memahami betapa besar pengorbanan Gracia. "Aku tahu, Gracia. Aku minta maaf kalau aku nggak pernah benar-benar paham bagaimana perasaanmu."

Gracia tersenyum pahit, menatap cangkir kopi yang berada di depannya. "Setiap malam, aku selalu berpikir, kapan semua ini akan selesai? Kapan kita bisa kembali seperti dulu, sebelum semua masalah ini datang?"

Sean menggeser kursinya lebih dekat ke arah Gracia, ingin menggapai tangannya, tapi Gracia menepisnya dengan lembut. "Aku masih belum tahu, Sean. Aku nggak tahu gimana caranya kita bisa keluar dari situasi ini. Rasanya seperti terperangkap."

Sean menghela napas dalam, merasa tidak berdaya. "Aku juga merasa begitu, Gre. Tapi aku janji, aku akan mencoba lebih keras buat kita."

"Tapi apa gunanya, Sean?" Gracia memotong, suaranya bergetar. "Kamu udah punya Anin. Kalian punya anak yang sedang dikandungnya. Aku nggak bisa mengubah itu."

Sean terdiam. Ia tahu, ini bukan soal usaha lebih keras. Masalahnya lebih dalam dari itu, dan Gracia benar—Anin dan bayi yang dikandungnya akan selalu menjadi bagian dari hidup mereka. Tapi ia juga tahu, bahwa cintanya pada Gracia belum pudar sedikit pun.

"Aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Gracia. Kamu tetap istriku, dan aku tetap sayang sama kamu seperti dulu," Sean mencoba meyakinkan.

"Tapi kamu juga suami Anin sekarang. Dan kita semua tahu itu nggak semudah kelihatannya. Cinta kamu terbagi, Sean, dan aku nggak bisa berpura-pura nggak ada yang berubah," Gracia berkata dengan lirih.

Untuk sesaat, suasana di meja makan itu terasa sangat tegang. Gracia dan Sean hanya saling menatap tanpa kata, tapi di dalam hati masing-masing, badai perasaan bergejolak.

"Apa yang kamu mau aku lakukan, Gre?" Sean akhirnya bertanya, suaranya penuh ketulusan.

Gracia menatapnya lama sebelum menjawab. "Aku cuma mau kita jujur, Sean. Jujur tentang apa yang kita rasakan. Jangan lagi ada yang kita tutupi."

Sean mengangguk. "Aku setuju. Jadi, biar aku mulai. Aku cinta kamu, Gracia, lebih dari apa pun. Tapi aku juga nggak bisa mengabaikan perasaan bersalah yang selalu menghantui. Aku rasa... aku gagal menjaga kita berdua."

Gracia menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. "Bukan kamu aja yang gagal, Sean. Kita berdua salah. Aku tahu aku nggak cukup kuat untuk menahan semua ini, tapi aku juga nggak bisa hidup terus dengan rasa cemburu dan sakit hati."

"Jadi, apa yang kamu harapkan dari kita sekarang?" tanya Sean dengan hati-hati, takut akan jawabannya.

Gracia terdiam sejenak, berpikir keras. "Aku nggak tahu, Sean. Aku hanya tahu kalau pernikahan kita nggak bisa berjalan seperti ini terus. Mungkin... mungkin kita butuh waktu. Waktu untuk sendiri-sendiri, merenung, berpikir tentang apa yang kita inginkan."

Sean terkejut mendengar kata-kata itu. "Maksud kamu... kita pisah dulu?"

"Bukan pisah untuk selamanya. Aku cuma butuh ruang, Sean. Aku butuh waktu untuk menemukan diriku lagi tanpa perasaan terjebak dalam situasi ini. Dan aku tahu kamu juga butuh waktu untuk meresapi semuanya," Gracia menjelaskan dengan suara yang mulai tenang.

Sean terdiam, berusaha mencerna apa yang Gracia katakan. Di satu sisi, dia tidak ingin berpisah dari Gracia. Namun di sisi lain, mungkin ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan pernikahan mereka.

"Kalau itu yang kamu mau, aku akan dukung, Gracia," kata Sean akhirnya, meski hatinya terasa sangat berat. "Tapi aku harap kamu tahu, aku nggak akan pernah menyerah untuk memperbaiki semuanya."

Gracia tersenyum lemah, meski air matanya mulai mengalir. "Aku tahu, Sean. Dan aku nggak ingin kita menyerah. Aku cuma butuh waktu untuk menemukan kembali alasan kenapa aku jatuh cinta sama kamu dulu."

Sean meraih tangan Gracia, kali ini wanita itu tidak menolak. Mereka saling menggenggam, tapi genggaman itu terasa rapuh, seolah bisa terlepas kapan saja.

"Kita akan baik-baik saja, kan?" tanya Sean dengan nada ragu.

Gracia menatap Sean dalam-dalam. "Aku harap begitu."

Beberapa hari setelah percakapan itu, Gracia memutuskan untuk pergi sementara dari rumah. Bukan untuk lari, tapi untuk memberikan jarak yang ia dan Sean perlukan. Ia mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang penting, memutuskan untuk tinggal di rumah keluarganya untuk sementara waktu.

Sean, yang melihat Gracia bersiap pergi, merasakan perasaan kosong yang begitu dalam. Ia tidak pernah menyangka bahwa hubungan mereka akan sampai pada titik ini. Namun, dia juga sadar bahwa ini mungkin yang terbaik untuk sementara waktu.

"Jaga dirimu, Gracia," ucap Sean pelan saat Gracia bersiap meninggalkan rumah.

Gracia mengangguk. "Kamu juga, Sean."

Sebelum benar-benar pergi, Gracia menatap rumah yang telah mereka tinggali selama bertahun-tahun. Banyak kenangan yang tersimpan di sana—baik dan buruk. Tapi sekarang, semuanya terasa asing.

Tanpa banyak kata lagi, Gracia melangkah pergi, meninggalkan Sean berdiri sendirian di pintu depan rumah mereka. Sean hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, merasakan rasa kehilangan yang begitu besar.

Di dalam rumah, keheningan kembali mengambil alih. Anin, yang menyaksikan semuanya dari jauh, merasa semakin tertekan dengan situasi ini. Ia tahu, semua ini adalah hasil dari keputusan yang tak pernah diinginkannya. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan?

Sambil memegang perutnya yang semakin membesar, Anin berjalan menuju kamar. Ia tahu, dalam beberapa bulan ke depan, semua akan berubah lagi. Tapi ia tidak tahu, apakah perubahan itu akan membawa kebahagiaan atau justru semakin memperburuk keadaan.

Yang pasti, Anin hanya berharap satu hal—agar bayi yang dikandungnya bisa menjadi alasan bagi Sean dan Gracia untuk kembali bersama. Tapi apakah harapan itu terlalu tinggi?

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang