Perang Dingin

73 11 0
                                    

MAKASIHH SEMUAA NYAA





















Dua minggu berlalu sejak malam di mana Gracia pergi tanpa kabar. Meskipun akhirnya Gracia pulang ke rumah pada dini hari keesokan harinya, hubungannya dengan Sean semakin memburuk. Mereka jarang berbicara, dan ketika mereka berbicara, semuanya terasa dingin dan penuh ketegangan. Seolah-olah ada tembok tebal yang memisahkan mereka, membuat mereka tak mampu saling memahami lagi.

Sean terus mencoba mendekati Gracia, tetapi setiap kali dia membuka percakapan, Gracia hanya merespons dengan singkat dan hambar. Dia merasa frustasi, bingung, dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Baginya, Gracia seperti sosok yang tak lagi dikenalnya, seorang perempuan yang dulu selalu ceria kini berubah menjadi seseorang yang penuh dengan kepedihan dan kemarahan.

Suatu sore, ketika Sean baru saja pulang dari kantor, dia mendapati Gracia sedang duduk di ruang makan, memandangi cangkir kopinya yang sudah dingin. Tanpa banyak bicara, Sean duduk di depannya, mencoba membuka percakapan.

"Kamu tidak ke mana-mana hari ini?" tanya Sean pelan.

Gracia hanya menggeleng tanpa menatapnya. "Nggak. Nggak ada rencana ke mana-mana."

Sean menghela napas panjang, menahan diri agar tidak meluapkan rasa frustasinya. "Gre, kita nggak bisa terus seperti ini. Aku tahu semuanya sulit, tapi kita harus bicara. Kita harus menyelesaikan ini."

Gracia mendongak perlahan, matanya dingin dan lelah. "Bicara soal apa, Sean? Semua sudah jelas. Kamu sudah menikahi Anin, dia hamil anak kamu, dan aku di sini cuma... menunggu."

Sean terdiam, merasakan setiap kata yang diucapkan Gracia seperti tamparan di wajahnya. "Itu nggak benar, Gracia. Kamu nggak cuma menunggu. Kamu tetap istri aku, kamu tetap yang paling penting."

"Tapi aku nggak merasa begitu," balas Gracia cepat. "Setiap hari aku melihat kamu dengan Anin, dan aku merasa kamu bukan lagi milikku sepenuhnya. Kamu membaginya dengan orang lain."

Sean mendekatkan tangannya ke tangan Gracia, tapi dia menarik diri, membuat Sean semakin frustasi. "Apa yang harus aku lakukan, Gre? Aku sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga kamu dan Anin. Aku nggak pernah berniat menyakiti kamu, tapi situasi ini di luar kendali kita."

Gracia tersenyum getir. "Kamu nggak pernah berniat menyakiti aku? Tapi nyatanya, Sean, kamu sudah melakukannya. Setiap hari aku merasa tersakiti, setiap kali aku melihat Anin hamil, aku merasa seperti kehilangan semuanya."

Sean terdiam, tak mampu membalas kata-kata Gracia. Dia tahu istrinya sedang berada di ujung batas kesabarannya, dan dia tak tahu lagi bagaimana cara menyembuhkan luka yang dia sebabkan.

Di sisi lain, Anin juga merasa terjebak dalam situasi yang semakin rumit. Dia mencintai Sean, tapi dia tahu bahwa Sean dan Gracia masih saling mencintai, meskipun hubungan mereka sedang di ujung tanduk. Anin merasa bersalah, seolah-olah keberadaannya sebagai istri kedua telah menghancurkan kehidupan sahabatnya.

Sore itu, saat Gracia sedang keluar, Anin memberanikan diri untuk berbicara dengan Sean. Mereka duduk di ruang tamu, dan Anin memulai pembicaraan dengan hati-hati.

"Sean, aku tahu ini semua sulit buat kita bertiga," kata Anin pelan. "Tapi aku merasa Gracia semakin terluka, dan aku nggak tahu apakah ini masih bisa diperbaiki."

Sean menatap Anin dengan tatapan penuh kebingungan. "Aku tahu, Anin. Aku tahu Gracia terluka, tapi aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Aku nggak bisa ninggalin kamu, dan aku juga nggak bisa ninggalin Gracia."

Anin menghela napas panjang. "Aku nggak mau jadi penyebab kehancuran rumah tangga kalian, Sean. Aku rela, kalau memang kamu harus memilih Gracia."

Sean tertegun mendengar kata-kata Anin. "Jangan ngomong begitu, Anin. Aku menikahi kamu bukan cuma karena desakan ibu. Aku peduli sama kamu, sama bayi yang kamu kandung."

"Tapi aku tahu, Sean. Cintamu masih lebih besar untuk Gracia," Anin menunduk, merasa hatinya sendiri ikut terluka. "Aku nggak ingin kamu kehilangan dia. Dia sahabatku, dan aku tahu dia sangat mencintaimu."

Sean terdiam, merasakan perasaan bersalah yang semakin dalam. Di satu sisi, dia mencintai Gracia dengan segenap hatinya, tapi di sisi lain, dia tahu bahwa Anin juga adalah bagian dari hidupnya sekarang. Dia merasa terjebak, tak mampu membuat keputusan yang tepat.






Beberapa hari kemudian, Gracia kembali menemukan pelarian di klub malam. Malam-malam seperti itu menjadi rutinitas baginya, sebagai cara untuk menghindari semua masalah yang terus menghantui pikirannya. Di dalam klub, dia bisa melupakan Sean, Anin, dan semua drama yang membelenggu hidupnya, meskipun hanya untuk beberapa jam.

Namun, malam ini berbeda. Ketika Gracia sedang menikmati minumannya, tiba-tiba dia melihat seseorang yang familiar. Sean berdiri di pintu masuk klub, dengan ekspresi marah dan kecewa. Gracia terkejut, tapi dia berusaha tetap tenang, seolah-olah tidak ada yang salah.

Sean menghampirinya dengan cepat, suaranya penuh kemarahan yang dia coba tahan. "Kamu ngapain di sini, Gracia?"

Gracia mengangkat bahu santai. "Apa masalahnya? Aku cuma ingin bersenang-senang."

"Bersenang-senang? Kamu udah beberapa kali ke sini tanpa bilang apa-apa sama aku," jawab Sean dengan nada tegas. "Kamu tahu aku khawatir."

Gracia menatap Sean tajam, lalu berdiri dari kursinya. "Kenapa? Kamu lebih khawatir sama aku daripada sama Anin? Aku nggak butuh kamu mengontrol hidupku, Sean. Aku bisa urus diriku sendiri."

Sean terdiam, merasakan sakit yang begitu dalam melihat Gracia seperti ini. "Aku cuma mau kamu berhenti menyakiti dirimu sendiri, Gre. Ini bukan kamu."

"Tapi ini yang aku butuhkan," jawab Gracia dengan dingin. "Aku butuh lari dari semua ini. Dari kamu, dari Anin, dari hidup yang kamu ciptakan untuk kita bertiga."

Sean tak mampu berkata-kata lagi. Dia tahu bahwa Gracia sudah berada di batas kesabarannya, dan dia takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Love's Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang