19. Pilihan Terbaik Mungkin

6.3K 591 453
                                    

📌Vote dan komen jangan lupa📌

****

"Belajarlah menghargai diri sendiri, untuk berhenti menjatuhkan harga diri, demi seseorang yang tidak pernah peduli pada usahamu selama ini."

****


“Besok katanya Galen mau sekolah,” ucap Alezra menyampaikan kabar kepada teman-temannya. Semalam, Galen memang sempat menghubunginya, dan memberitahukan perihal ini.

Jovian yang sedang duduk di atas meja, lantas jadi beranjak berdiri. “Hah? Besok? Cepet amat? Emang dia udah pulang dari rumah sakit?” tanyanya beruntun.

“Baru juga kemarin kita jenguk,” tambah Arzan mengernyitkan keningnya, heran.

Alezra mengedikkan bahunya, pertanda tidak tau. “Gue juga bingung sebenarnya. Padahal gue liat-liat, luka Galen lumayan parah. Tapi kata dia, hari ini mau pulang.”

“Mungkin keadaannya membaik kali ya?” ujar Jovian dengan wajah celingukannya itu.

“Bisa jadi,” sahut Alezra.

“Syukur deh, kalo emang baikan. Sepi anjir gak ada Galen. Walaupun tuh anak ngeselinnya nauzubilah, tapi gue ngerasa kehilangan,” tutur Arzan tulus dari lubuk hatinya.

Alezra sontak menolehkan kepalanya pada Arzan. Dia memandangi wajah laki-laki itu cukup lama, sebelum akhirnya berbicara, “Terus kemarin-kemarin, lo kangen gue gak? Gue juga kan gak masuk 5 hari,” ucapnya merasa iri.

Arzan sedikit tertohok dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Dia menelan ludahnya susah payah, dan menjawab. “Kangen lah, Za. Masa gue gak kangen ketua gue?” ujarnya, sambil merangkul bahu Alezra yang berada di sebelahnya.

Beginilah nasib mempunyai teman seperti bayik gede. Selalu merasa cemburuan dan tidak mau kalah.

Alezra tersenyum senang mendengarnya. Dia pikir, hanya Galen yang dirindukan oleh Arzan.

Beberapa menit kemudian, terlihat Mahen yang baru saja masuk ke dalam kelas. Hal itu, membuat Alezra, Galen, dan Arzan jadi menatap ke arahnya.

“Woy batu! Siang amat lo nyampenya?!” teriak Jovian melambaikan tangan pada Mahen.

Mahen tak membalas. Laki-laki itu terus melangkahkan kakinya, hingga menghampiri mereka dengan ekspresi khas datarnya itu.

“ANJIR MUKA LO!” kaget Arzan menunjuk sudut bibir dan kening Mahen yang tampak lebam biru. Padahal, semalam luka itu belum ada.

“Eh, kenapa lo Hen?” tanya Alezra terlihat panik.

“Lo dipukulin siapa, Hen? Bilang sama gue! Itu muka lo sampe memar gitu!” tambah Jovian seraya berjalan mendekati Mahen.

Mahen terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Gak papa. Ada masalah pribadi dikit.”

Mereka bertiga langsung menampikan raut bingungnya. Sepertinya, isi pikiran mereka tertuju pada sesuatu yang sama.

“Jujur sama gue, lo kenapa?” tanya Alezra lagi. Tatapannya lebih serius dari sebelumnya. Dia benar-benar penasaran, karena Mahen sering kali tiba-tiba terluka.

“Masalah pribadi, Za. Please, jangan paksa gue,” ucap Mahen menatap lekat-lekat Alezra. Dia tidak mungkin memberitahu mereka, bahwa selama ini, dirinya mendapat tindakan kekerasan oleh Ayahnya sendiri.

“Gak asik lo, Hen!” kesal Jovian membuang muka malas. Dia lalu kembali naik ke atas meja, sambil menikmati kuaci.

Dibalik sifat pendiamnya, memang ada luka yang selalu Mahen terima di dalam keluarganya sendiri. Sayangnya, mereka tidak pernah tau tentang itu. Mahen terlalu pintar untuk menyembunyikan.

Nice to Meet GalenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang