Chapter 1: Moving In

549 54 4
                                    

Freya berdiri di pintu masuk apartemen barunya, memegang kunci di tangan, menatap pintu tua yang usang. Bangunan itu jauh dari kesan glamor—bata merah pudar, tanaman merambat di sisi, dan aroma kayu basah tercium di udara. Namun, tempat itu dekat dengan universitasnya, harga sewanya terjangkau, dan memiliki daya tarik tertentu yang tidak dapat dijelaskannya.

"Ini dia," gumamnya pada dirinya sendiri. Ia memasukkan kunci ke lubang kunci, memutarnya, dan membuka pintu dengan suara berderit yang menggema di seluruh lorong.

Apartemen itu kecil, hampir tidak cukup untuk menyimpan barang-barangnya, tetapi Freya tidak mengeluh. Ruangan itu memiliki jendela besar yang membiarkan sinar matahari sore yang hangat masuk, menerangi partikel debu yang beterbangan malas di udara. Ruang tamunya memiliki sofa tua yang tampak seperti telah berganti-ganti pemilik sebelumnya, dapur kecil terselip di sudut, dan pintu menuju kamar tidur di belakang.

Freya meletakkan kopernya di samping sofa dan merentangkan lengannya, merasakan otot-otot punggungnya menegang setelah seharian pindah. Meskipun tampak tenang, sedikit rasa tidak nyaman telah mengendap di ulu hatinya. Bukan karena apartemen itu sendiri, tetapi karena kemampuannya yang unik.

Hantu.

Dia bisa merasakannya semudah seseorang merasakan perubahan cuaca—pergeseran atmosfer yang hampir tak terlihat. Selama yang bisa diingatnya, dia bisa melihat mereka, berkeliaran di antara dunia orang hidup dan orang mati. Awalnya, saat masih kecil, dia ketakutan, kewalahan oleh sosok-sosok yang diam dan samar yang terkadang muncul dalam pandangannya. Namun seiring bertambahnya usia, dia belajar untuk mengatasinya, menyingkirkan mereka seperti kebisingan latar belakang.

"Semoga saja tempat ini bebas hantu," pikir Freya, meski dia tidak terlalu optimis.

Setelah membongkar beberapa barangnya, Freya duduk di sofa, matanya yang lelah mengamati ruangan. Dia tahu dia seharusnya merasa senang—ini adalah pertama kalinya dia memiliki tempat untuk dirinya sendiri. Namun ada sesuatu tentang apartemen itu yang terasa... janggal. Hal itu samar, tetapi tidak dapat disangkal, seperti beban yang menekan dadanya. Cahaya dari jendela tampak lebih redup dari yang seharusnya, dan sudut-sudut ruangan terasa lebih gelap, seperti bayangan yang bertahan terlalu lama sebelum memudar.

Freya mendesah dan menyandarkan kepalanya ke bantal, membiarkan matanya terpejam. Mungkin itu hanya rasa gugup. Pindah ke tempat baru membuat siapa pun stres. Dia bahkan belum cukup lama di sini untuk menilainya dengan tepat.

Namun, kemudian, suara lembut memecah keheningan. Suara itu samar, nyaris tak terdengar pada awalnya, seperti bisikan yang terbawa angin.

Mata Freya terbuka lebar, jantungnya berdebar kencang.

tap... tap... tap.

Suara langkah kaki ringan bergema dari suatu tempat di apartemen. Freya duduk, mendengarkan dengan saksama. Langkah kaki itu terus berlanjut, lambat dan hati-hati, datang dari kamar tidur.

Dia menegang, indranya menajam saat dia berdiri dan berjalan hati-hati menuju pintu kamar tidur. Dia tahu lebih baik untuk tidak mengabaikannya. Ini bukan sekadar bangunan tua yang berderit—dia pernah mendengar langkah kaki seperti ini sebelumnya.

Sambil menarik napas dalam-dalam, Freya mendorong pintu hingga terbuka.

Kamar tidurnya kosong. Atau, setidaknya, tampak seperti itu. Tempat tidurnya tertata rapi, gordennya bergoyang lembut tertiup angin sepoi-sepoi dari jendela yang sedikit terbuka. Tidak ada yang tampak janggal.

Kecuali hawa dingin.

Itu bukan hawa dingin biasa yang datang dari jendela yang terbuka; itu adalah jenis hawa dingin yang meresap ke tulang-tulangmu, jenis hawa dingin yang membuat bulu kudukmu berdiri tegak. Freya tahu persis apa artinya.

Ada hantu di sini.

Dia menutup pintu kamar tidur dan kembali ke ruang tamu, mencoba menyingkirkan perasaan itu. Mungkin hantu itu, siapa pun mereka, akan meninggalkannya sendirian. Lagipula, kebanyakan hantu tidak peduli dengan yang hidup—mereka hanya hanyut melalui ruang-ruang yang pernah mereka kenal, gema dari diri mereka sebelumnya.

Tetapi Freya tidak seberuntung itu.

Tiba-tiba, suhu di ruangan itu turun. Sekarang dia merasakannya di sekelilingnya—kehadiran yang kuat, mengawasinya. Udara menebal, dan keheningan yang mencekam memenuhi apartemen itu. Freya membeku, instingnya mengatakan bahwa hantu itu telah memutuskan untuk menunjukkan kehadirannya.

TV di pojok ruangan menyala dengan suara statis yang tiba-tiba, volumenya dinaikkan hingga tak tertahankan. Freya tersentak mendengar suara itu tetapi tetap tenang, denyut nadinya bertambah cepat. Lampu di atas kepala berkedip-kedip, menghasilkan bayangan aneh yang memanjang di dinding.

Terdengar tawa kecil dari dapur.

Freya memutar matanya. "Serius?" gumamnya pelan, berjalan ke arah TV dan mematikannya dengan bunyi klik yang tegas.

Sesaat, apartemen itu sunyi lagi. Namun, dari sudut matanya, ia melihat sesuatu—bukan, seseorang —bergerak di pantulan layar TV hitam.

Sosok seseorang berdiri di belakangnya, nyaris tak terlihat, seperti siluet di ujung pandangannya.

"Baiklah," kata Freya keras-keras, sambil perlahan berbalik menghadap sosok itu. "Jika kau akan menghantuiku, setidaknya tunjukkan kesopananmu dan perkenalkan dirimu."

Sosok itu bergeser, melangkah ke dalam cahaya redup apartemen. Seorang gadis, mungkin berusia tujuh belasan, dengan rambut hitam panjang yang menjuntai di bahunya, mengenakan gaun putih yang berkibar yang hampir menyatu dengan kegelapan di sekelilingnya. Wajahnya pucat, hampir tembus pandang, tetapi sangat cantik. Namun, matanya tajam—terlalu tajam, penuh dengan kenakalan dan sesuatu yang lebih gelap.

"Wah, bukankah kamu menarik?" kata hantu itu, suaranya berirama dengan sedikit rasa geli. "Kebanyakan orang berteriak saat aku muncul."

Freya menyilangkan lengannya, tidak terkesan. "Aku bukan kebanyakan orang."

Bibir hantu itu melengkung membentuk senyum.

Freya bisa merasakan tatapan mata roh itu padanya, mengamatinya. Ada sesuatu yang aneh tentang roh ini—dia bukan roh pengembara biasa. Ada sisi gelap dalam dirinya, kegelapan yang membara.

"Namaku Fiony," kata hantu itu akhirnya, suaranya dipenuhi dengan keanggunan yang sarkastis. "Dan ini apartemenku."

Freya mengangkat alisnya. "Apartemenmu?"

Fiony memiringkan kepalanya sedikit. "Ya, memang seperti itu."

Freya mengangkat bahu. "Kalau begitu kita akan membaginya sekarang."

Fiony melayang mendekat, tubuhnya meluncur dengan mudah di atas lantai. "Kau tidak takut?"

"Tidak."

"Kau seharusnya takut."

Freya menatapnya tanpa berkedip. "Aku tidak akan."

Untuk beberapa saat, tak satu pun dari mereka berbicara, keheningan di antara mereka dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan. Freya tahu bahwa Fiony terbiasa menakut-nakuti, terbiasa memanipulasi mereka yang memasuki wilayah kekuasaannya. Namun Freya tidak seperti yang lain. Dia telah hidup dengan hantu sepanjang hidupnya. Dia tidak mudah takut.

Fiony melayang beberapa saat lebih lama, jelas tertarik dengan sikap tenang Freya, sebelum tertawa pelan dan geli. "Kau berbeda. Aku suka itu."

Freya mendesah dan kembali berbaring di sofa, menyisir rambutnya dengan tangan. "Bagus. Yah, selama kamu tidak mengamuk lagi dengan barang elektronik, kurasa kita akan baik-baik saja."

Fiony tersenyum lagi, matanya berbinar nakal. "Kita lihat saja nanti."

Setelah itu, dia menghilang, hawa dingin yang menindas di ruangan itu menghilang secepat datangnya. Apartemen itu kembali ke keadaan sunyi sebelumnya, tetapi Freya tahu ini baru permulaan.

Saat dia bersandar pada bantal, senyum kecil mengembang di sudut bibirnya.

"Sepertinya ini mungkin lebih menarik dari yang kukira."
.
.
to be continued
.
.
Karya series pertamaku semoga kalian suka, dan terima kasih vote nya

Bound by Love, Separated by DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang