Freya berdiri di ambang pintu apartemennya, menatap langit malam yang gelap, penuh bintang, dengan hati berdebar. Suasana seolah menyimpan beban yang lebih berat dari biasanya. Dia tahu bahwa pertemuan ini sangat penting, tidak hanya bagi Fiony, tapi juga bagi Marsha, yang selama bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah. Freya menggenggam erat gagang pintu, menunggu ketukan yang pasti akan datang.
Beberapa hari sebelumnya, Freya memutuskan untuk menghubungi Marsha. Setelah pertemuan mereka di jembatan, Freya merasa semakin yakin bahwa hubungan Marsha dan Fiony belum sepenuhnya terselesaikan. Dia tak bisa membiarkan Marsha terus hidup dalam rasa bersalah tanpa adanya kesempatan untuk mengungkapkan semua yang ada di hatinya.
Freya mengirim pesan singkat kepada Marsha, undangan yang sederhana namun penuh harapan.
"Bu Marsha, ada sesuatu yang penting tentang Fiony. Bisakah kamu datang ke apartemenku? Aku rasa kita perlu bicara." lalu dia lampirkan alamat apartemennya.
Jawaban Marsha datang tak lama setelahnya, singkat namun penuh ketegangan.
"Aku akan datang."
Sekarang, saat ketukan yang ditunggu-tunggu itu terdengar, Freya menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Di hadapannya, berdiri Marsha—wajahnya tampak letih dan muram, meski ada sedikit harapan yang tergurat di matanya.
"Freya...," kata Marsha pelan, suaranya bergetar. "Aku datang seperti yang kamu minta. Apa ini... tentang Fiony?"
Freya mengangguk pelan dan memberi isyarat agar Marsha masuk. "Ya, ini tentang Fiony... dan juga anda. Ada sesuatu yang harus diselesaikan."
Marsha melangkah masuk, sedikit canggung, matanya melirik ke sekeliling apartemen. Meskipun dia tak tahu apa yang diharapkan, ada perasaan tidak nyaman yang seolah menyelubungi ruangan. Di sudut ruangan, Fiony melayang dalam keheningan, menghindari kontak mata. Sejak Freya berbicara tentang rencananya mempertemukan mereka, Fiony tidak banyak bicara. Rasa takut dan cemas membayangi dirinya.
Freya dan Marsha duduk di sofa, suasana hening terasa tegang di antara mereka. Di dalam hatinya, Freya tahu bahwa percakapan ini tidak akan mudah. Dia melirik sekilas ke arah Fiony, yang meski tak terlihat oleh Marsha, kehadirannya terasa lebih kuat di ruangan itu.
Freya membuka pembicaraan dengan suara lembut. "Bu Marsha... selama ini kamu mengatakan bahwa kamu merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Fiony. Bahwa kamu tidak menolongnya saat dia membutuhkannya."
Marsha menundukkan kepala, tangan gemetar di pangkuannya. "Aku selalu merasa begitu. Setiap hari, aku teringat bagaimana aku gagal melindunginya."
Freya menelan ludah, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Bu Marsha... anda mungkin tak akan percaya, tapi aku bisa melihat roh. Aku bisa merasakan dan berbicara dengan mereka. Dan Fiony... dia masih ada di sini."
Marsha terdiam, matanya melebar. "Apa maksudmu nak?" bisiknya, meski ada nada kebingungan dalam suaranya, seolah dia tidak yakin harus mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
"Fiony belum pergi dari dunia ini," Freya melanjutkan dengan tenang. "Dia masih terjebak di sini, sebagian karena dia belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Sebagian karena ada hal-hal yang belum selesai—termasuk hubungan kalian."
Marsha menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu serius, Freya? Fiony... dia di sini? Sekarang?"
Freya mengangguk, merasakan desakan kuat dari Fiony di sampingnya. Meskipun Fiony tetap tak terlihat, kehadirannya semakin kuat, hampir seolah-olah ruangan menjadi sedikit lebih dingin, dan energi di sekitarnya lebih berat. Freya tahu bahwa Fiony mendekat, mendengarkan dengan seksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by Love, Separated by Death
Mystery / Thriller[GL] [gxg] [Frefio] Freya, seorang mahasiswa sastra yang pendiam, memiliki kemampuan unik-dia bisa melihat dan berinteraksi dengan hantu. Ketika dia pindah ke apartemen barunya yang berhantu, dia bertemu Fiony, roh seorang gadis yang tidak bisa meni...