Chapter 7: Familiar Phantoms

165 31 0
                                    

Freya selalu melihat hantu. Sejak ia masih kecil, roh-roh dari sisi lain masuk ke dalam hidupnya semudah sinar matahari yang menembus tirai. Beberapa berbahaya, beberapa yang lain tidak berbahaya, tetapi semuanya telah menjadi bagian dari realitasnya.

Saat bertemu Fiony, semuanya berbeda. Fiony bukan sekadar sosok yang lewat, yang muncul dan menghilang dalam hidupnya—dia selalu hadir, menjadi teman, dan kini, sesuatu yang jauh lebih dari itu. Namun, bahkan dengan Fiony di sisinya, Freya terus bertemu hantu-hantu lain—yang berkeliaran di tempat-tempat yang dikenalnya, muncul dan menghilang dari rutinitas sehari-harinya.

Fiony berjalan malas di samping Freya suatu sore saat mereka berjalan menyusuri lorong sempit menuju apartemennya. Itu adalah bangunan tua, penuh dengan keanehan dan derit, dan banyak roh yang masih berkeliaran. Freya sudah lama tidak merasa gelisah di sekitar mereka.

Saat mereka mencapai tangga, Freya merasakan hawa dingin yang familiar. "Itu dia," katanya pelan, sambil mengangguk ke arah tangga gelap yang mengarah ke lantai kamar apartemennya.

"Masih berjaga?" tanya Fiony, suaranya geli.

Freya melirik sosok samar yang muncul setiap kali dia lewat. Sosok itu adalah hantu tua, wujudnya kurang jelas dibanding yang lain. Dia tidak bisa melihat sosoknya dengan jelas, tetapi dia sudah terbiasa dengan cara dia berdiri di sana, seolah-olah sedang menjaga gedung itu.

"Aku sudah melihatnya sejak pindah kesini," Freya menjelaskan saat mereka menaiki tangga. "Dia tidak pernah meninggalkan tangga. Aku dulu mengira dia melindungi sesuatu, tapi sekarang kupikir dia hanya... tinggal di sini. Ini tempatnya."

"Dia tidak banyak bicara," kata Fiony sambil berjalan menaiki tangga di sampingnya.

"Benar," Freya setuju. "Tapi menurutku lebih ke dia tidak mau. Kurasa dia cuma... suka menonton."

Begitu mereka melewatinya, udara terasa lebih hangat, tidak terlalu berat. Freya mengembuskan napas yang tidak disadarinya telah ditahannya. Meskipun ia terbiasa dengan kehadiran hantu, beberapa hantu masih memberinya hawa dingin yang tak kunjung hilang, seperti ada sesuatu yang selalu janggal. Namun, hantu tangga telah menjadi bagian dari rutinitasnya, sesuatu yang telah lama ia terima.

Saat mereka sampai di pintunya, Fiony menghilang sejenak, membuat dirinya tak terlihat oleh dunia nyata saat Freya meraba-raba kuncinya. Begitu masuk, Fiony muncul kembali, berjalan melalui ruang tamu dan duduk di dekat jendela.

Freya meletakkan tasnya dan menjatuhkan diri ke sofa, merasakan beban hari itu menekan pundaknya. "Kau tahu," dia memulai, "tidak hanya di sini. Ada beberapa hantu di kampus yang cukup sering kutemui."

"Oh?" Fiony mengangkat sebelah alisnya, penasaran. "Coba ceritakan hantu-hantu itu"

Freya menyeringai, lalu duduk sedikit. "Yah, ada satu hantu yang nongkrong di perpustakaan. Aku tidak tahu namanya, tapi dia selalu ada di sana—berjalan melewati rak-rak buku, mencari sesuatu. Dia sepertinya tidak tertarik pada siapa pun, sungguh. Hanya buku-buku."

"Yang pakai gaun panjang itu, kan? Kurasa aku pernah lihat beberapa kali," Fiony merenung, mendekat.

Freya mengangguk. "Ya, yang itu. Dia tidak mengganggu siapa pun, tapi aku rasa dia sedang mencari sesuatu yang tidak akan pernah ditemukannya. Agak menyedihkan."

Ekspresi Fiony melembut. "Menurutmu dia butuh bantuan?"

"Entahlah," Freya mengakui. "Mungkin. Tapi dia tidak merasa terjebak seperti roh lainnya. Dia merasa lebih seperti... rutinitas. Seperti dia bagian dari perpustakaan itu sendiri."

Fiony merenungkannya sejenak, tatapannya kosong. "Kurasa sebagian dari kita terbiasa dengan tempat kita berakhir."

Freya tersenyum tipis. Ia selalu kagum dengan cara Fiony melihat sesuatu secara berbeda dari hantu-hantu lain yang pernah ditemuinya. Ada kerumitan dalam dirinya yang tampaknya tidak dimiliki oleh hantu-hantu lain, dan hal itu membuat Freya merasa bahwa Fiony memiliki lebih banyak pilihan dalam cara ia hidup di dunia ghaib.

"Lalu ada sosok pria di kafe dekat kampus," lanjut Freya, mengalihkan topik pembicaraan. "Dia selalu berada di meja yang sama, seperti sedang menunggu seseorang. Dulu, kadang-kadang aku duduk di seberangnya saat ingin menulis."

Fiony mengangkat sebelah alisnya, geli. "Kedengarannya kau punya banyak teman hantu."

Freya tertawa. "Aku tidak akan menyebut mereka teman. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak menyadari kehadiranku. Mereka hanya... ada di sana."

"Kecuali aku, tentu saja," goda Fiony, tubuhnya bergerak-gerak jenaka.

"Kecuali kamu," Freya setuju sambil tersenyum hangat.

Seiring berlalunya malam, Freya mendapati dirinya makin banyak memikirkan hantu-hantu yang ditemuinya. Mereka selalu menjadi bagian dari hidupnya, sama wajarnya baginya seperti orang-orang hidup yang berinteraksi dengannya. Namun sejak bertemu Fiony, ia mulai melihat mereka dari sudut pandang yang berbeda. Mereka bukan sekadar roh pengembara, tanpa tujuan dan terpisah dari dunia. Masing-masing dari mereka punya cerita, alasan untuk berada di tempat mereka berada, meskipun itu sesederhana terikat pada tempat yang mereka cintai.

Akhir pekan itu, Freya mengajak Fiony ke perpustakaan kampus. Saat itu sore, jauh setelah jam sibuk, dan hanya beberapa mahasiswa yang tersebar di antara meja-meja. Freya pindah ke tempat biasanya di dekat bagian belakang, dekat dengan tempat ia sering melihat wanita hantu itu mondar-mandir di antara rak-rak.

Saat ia duduk di kursinya, ia merasakan perubahan halus di udara—dingin yang selalu menyertai kehadiran wanita itu. Fiony melayang di dekatnya, mengamati dengan rasa ingin tahu.

"Itu dia," bisik Freya sambil mengangguk ke arah deretan buku.

Hantu wanita itu muncul, sosoknya samar, hampir menyatu dengan bayangan. Dia bergerak perlahan, tangannya menyentuh punggung buku seolah mencari sesuatu yang telah lama hilang.

"Dia selalu melakukan itu," gumam Freya. "Sepertinya dia sedang mencoba mencari buku tertentu, tapi aku tidak tahu apakah dia akan berhasil."

Fiony memperhatikannya sebentar, lalu menoleh ke Freya. "Apakah kamu pernah mencoba menolongnya?"

Freya menggelengkan kepalanya. "Menurutku dia tidak menginginkan bantuan. Dia tampak puas hanya... berada di sini."

Fiony mengangguk, mengerti. "Beberapa hantu tidak menginginkan akhir. Mereka merasa nyaman dengan rutinitas mereka, meskipun sedikit menyedihkan."

Saat mereka duduk dalam diam, menyaksikan hantu itu melayang di antara tumpukan buku, Freya merasakan kedamaian yang aneh. Kehadiran hantu selalu menjadi bagian dari hidupnya, tetapi sekarang, dengan Fiony di sisinya, itu tidak terasa seperti beban lagi. Rasanya seperti dia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—dunia yang ada di sampingnya, penuh misteri dan cerita yang menunggu untuk diungkap.

Kemudian, saat mereka meninggalkan perpustakaan dan kembali ke apartemen, Freya berpapasan dengan hantu yang sedang duduk di meja cafe seperti biasa. Dia ada di sana, seperti biasa, matanya terpaku ke pintu seolah menunggu seseorang masuk. Freya tidak pernah bertanya siapa yang sedang ditunggunya, dan dia tidak yakin apakah dia akan pernah bertanya. Beberapa hal, pikirnya, lebih baik tidak dikatakan.

.

.

to be continued

Bound by Love, Separated by DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang