Chapter 15: Dreams of Love

160 23 2
                                    

Freya selalu merasakan sesuatu yang dalam dan mendalam saat bersama Fiony. Awalnya, itu adalah kebingungan-bagaimanapun juga, Fiony adalah hantu, sosok misterius yang menentang semua yang Freya pahami tentang hidup dan mati. Namun seiring berjalannya waktu dan ikatan mereka semakin kuat, Freya tidak dapat menyangkal bahwa apa yang dirasakannya terhadap Fiony lebih dari sekadar persahabatan.

Suatu malam yang tenang, dengan Freya yang sedang membaca buku di sofa, kesadaran itu benar-benar mulai mengakar. Fiony, seperti biasa, berdiri di dekatnya, mengamatinya dengan ekspresi lembut, hampir melankolis. Suasana di antara mereka terasa tegang, seperti ada kata-kata yang tidak terucapkan, emosi yang mendidih tepat di bawah permukaan.

Freya membalik halaman, tetapi pikirannya tidak tertuju pada kata-kata. Dia terus melirik Fiony, pikirannya melayang ke pusaran emosi, rasa ingin tahu, rindu, takut. Perasaan itu tidak masuk akal, tetapi tetap saja terasa benar. Jantungnya berdebar setiap kali dia menatap mata Fiony, dan dia merasa ingin mengungkapkan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Kenapa kau terus melirikku seperti itu?" tanya Fiony tiba-tiba, memecah keheningan. Nada suaranya menggoda, tetapi ada sedikit nada yang lebih dalam, dalam suaranya, sesuatu yang tidak pasti.

Freya berkedip, terkejut. "Aku... tidak melirikmu," dia berbohong, cepat-cepat mengalihkan pandangan, pipinya memerah.

"Ya, tapi memang begitu," kata Fiony, seringai kecil tersungging di bibirnya. Ia mendekat, tubuhnya berkilau samar dalam cahaya redup ruangan. "Apa yang sedang dalam pikiranmu itu, Freya?"

Jantung Freya berdebar lebih kencang. Ia tidak bisa terus berpura-pura.. tidak ada gunanya. Fiony mengenalnya lebih baik daripada siapa pun saat ini. Hubungan yang mereka jalin tidak seperti apa pun yang pernah dialami Freya. Ia menggigit bibirnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat, tetapi tidak ada yang terasa cukup untuk menggambarkan apa yang ia rasakan.

"Hanya saja..." Freya memulai, suaranya melemah saat ia menatap mata Fiony lagi. "Kadang, aku bertanya-tanya siapakah kita ini. Apa yang terjadi di antara kita."

Senyum Fiony memudar, ekspresinya menjadi lebih serius. Ia mengamati Freya sejenak, sosoknya yang transparan itu diam dan tenang. "Aku juga bertanya-tanya tentang hal yang sama," akunya dengan lembut. "Aku sudah bertanya-tanya sejak lama."

Pengakuan itu membuat jantung Freya berdebar kencang. Fiony juga merasakannya, hubungan aneh dan mustahil yang telah tumbuh di antara mereka. Freya membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokannya. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan betapa sakit hatinya untuk Fiony, bagaimana setiap momen bersamanya terasa begitu... benar, meskipun seharusnya salah?

Sebelum dia sempat menenangkan pikirannya, Fiony menghilang, menghilang dari pandangan seperti yang sering terjadi saat dia kewalahan. Freya mendesah, dadanya sesak karena campuran antara kerinduan dan frustrasi. Dia tahu Fiony takut, takut akan arti perasaan ini, takut akan apa yang mungkin atau tidak mungkin terjadi di antara mereka.

Malam itu, saat Freya berbaring di tempat tidur, ia mendapati dirinya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar kembali ke Fiony, ke bagaimana kehadirannya yang seperti hantu membuatnya merasa hidup dengan cara yang tidak pernah ia rasakan selama bertahun-tahun. Akhirnya, kelelahan menguasainya, menariknya ke dalam tidur yang nyenyak dan gelisah.

Freya mendapati dirinya berdiri di apartemennya yang aneh dan seperti mimpi. Dindingnya sedikit tembus pandang, seolah seluruh dunia di sekitarnya terbuat dari cahaya lembut yang berkilauan. Semuanya terasa familier tetapi berbeda, seperti pantulan realitas melalui kabut mimpi.

Dia berbalik perlahan, mengamati lingkungan sekitar yang surealis, saat dia melihatnya. Fiony berdiri di tengah ruangan, tidak seperti hantu, tetapi kokoh dan nyata seperti orang hidup lainnya. Rambutnya yang panjang dan gelap terurai lembut di bahunya, dan kulitnya yang pucat tampak bersinar dengan cahaya batin.

Napas Freya tercekat di tenggorokannya. "Fiony?" bisiknya, ketidakpercayaan mewarnai suaranya.

Fiony tersenyum- senyum hangat dan berseri yang belum pernah dilihat Freya sebelumnya. Dia tampak begitu...hidup. Begitu manusiawi. "Freya," katanya lembut, melangkah mendekat. "Ini aku."

Jantung Freya berdegup kencang, emosinya bergejolak antara bingung dan penuh harap. "Bagaimana ini mungkin...?" tanyanya, suaranya bergetar. "Kau... kau nyata?"

Fiony mengulurkan tangan, menyentuh tangan Freya dengan lembut. Freya terkejut, ia merasakan kehangatan kulit Fiony, kelembutan sentuhannya. Itu nyata. Itu mustahil, tetapi itu nyata.

"Kita sedang di alam mimpi," Fiony menjelaskan, suaranya tenang dan menenangkan. "Tapi di sini, aku bisa bersamamu. Aku bisa menyentuhmu."

Mata Freya membelalak, napasnya tercekat di dadanya. Kehangatan tangan Fiony membuat bulu kuduknya meremang, dan dia tak bisa menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan, mengusap lembut lengan Fiony dengan jarinya. "Kau terasa begitu nyata," bisiknya, suaranya penuh keajaiban.

Senyum Fiony sedikit memudar, tatapannya melembut saat menatap Freya. "Freya," katanya pelan, suaranya dipenuhi dengan kerapuhan. "Ada sesuatu yang sudah lama ingin kukatakan. Aku... kurasa aku sudah lama mencintaimu."

Jantung Freya berhenti berdetak. Dunia di sekitarnya seakan melambat, dan yang dapat didengarnya hanyalah suara detak jantungnya sendiri yang berdebar di dadanya. Kata-kata Fiony bergema di benaknya, memenuhi dirinya dengan kehangatan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.

Cinta. Itulah yang terjadi. Itulah yang telah tumbuh di antara mereka selama ini.

"Aku... juga mencintaimu," bisik Freya, kata-kata itu keluar begitu saja sebelum ia sempat menghentikannya. "Aku tidak tahu kapan itu dimulai, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku ingin bersamamu, meskipun rasanya mustahil. Aku...aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu."

Air mata memenuhi mata Fiony saat ia mempersempit jarak di antara mereka, kedua tangannya menggenggam wajah Freya dengan lembut. "Itu bukan hal yang mustahil," bisiknya, suaranya bergetar. "Kita bersama sekarang, meskipun hanya dalam mimpi. Aku akan selalu bersamamu, Freya. Selalu."

Freya merasakan air mata mengalir di matanya sendiri, hatinya dipenuhi dengan cinta dan emosi. Dia mengulurkan tangan, memeluk Fiony, menariknya mendekat. Tubuh mereka saling menempel, hangat dan kokoh dengan cara yang menentang kenyataan. Dan pada saat itu, tidak ada yang lebih penting, hanya mereka berdua, bersama di dunia yang hanya bisa mereka bagi.

Fiony mencondongkan tubuhnya, bibirnya menyentuh lembut bibir Freya, ciuman lembut dan ragu-ragu yang mengirimkan gelombang kehangatan ke seluruh tubuh Freya. Napas Freya tercekat, matanya berkedip-kedip saat ia membalas ciuman itu, jantungnya berdebar-debar karena campuran antara kegembiraan dan ketidakpercayaan.

Ciuman itu semakin dalam, semakin hangat dan penuh gairah saat mereka berpelukan, bibir mereka bergerak seirama. Jari-jari Freya mencengkeram rambut Fiony, menariknya lebih dekat, ingin sekali berpegangan pada momen ini, berpegangan pada Fiony.

Itulah semua yang Freya impikan, lembut, manis, penuh cinta dan kerinduan. Di dunia mimpi ini, mereka tidak dipisahkan oleh batas hidup dan mati. Di sini, mereka bisa bersama sepenuhnya, cinta mereka tak terkekang.

Ketika mereka akhirnya berpisah, keduanya terengah-engah, Fiony menempelkan dahinya ke dahi Freya, matanya penuh cinta. "Aku akan datang kepadamu lagi," bisiknya. "Kapan pun kamu membutuhkanku... Aku akan menemukanmu dalam mimpimu."

Freya mengangguk, hatinya terlalu penuh untuk berkata-kata. Ia memeluk Fiony erat-erat, tidak ingin melepaskannya, bahkan saat dunia mimpi mulai memudar di sekitar mereka. Ia tahu ini baru permulaan-cinta ini, hubungan ini, akan melampaui batasan dunia mereka. Itu sudah terjadi.

Freya terbangun keesokan paginya dengan perasaan hangat dan damai yang sudah lama tidak dirasakannya. Kenangan akan mimpi itu masih terbayang jelas di benaknya, dan dia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa itu bukan sekadar mimpi.

Ia tersenyum, jemarinya mengusap bibirnya, masih merasakan hangatnya ciuman Fiony. Meskipun Fiony tidak bersamanya secara fisik, Freya tahu bahwa cinta mereka nyata, nyata dan kuat dengan cara yang tidak dapat dipatahkan oleh apa pun, bahkan kematian.

Dan sejak saat itu, Freya tahu bahwa betapapun mustahilnya cinta mereka, ia dan Fiony akan selalu menemukan cara untuk bersama-entah dalam mimpi atau di saat-saat ketika dunia mereka saling terkait.

.

.

to be continued

Bound by Love, Separated by DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang