Bulan menggantung rendah di langit malam, cahayanya yang lembut menerobos jendela dan memancarkan cahaya pucat ke seluruh kamar Freya. Freya duduk di tempat tidurnya, lututnya ditarik ke dadanya, menatap ruang kosong di depannya. Kamar itu terasa hampa tanpa kehadiran Fiony, dan meskipun dia tahu hantu itu akan segera kembali, kesunyian itu sangat membebani hatinya.
Sejak gangguan emosional beberapa malam lalu dan pertemuan dengan Marsha, Fiony masih sering menghilang, lenyap tanpa kabar. Freya berasumsi bahwa Fiony butuh waktu untuk memproses ingatannya—waktu untuk menghadapi sendiri rasa sakit masa lalunya—tetapi sekarang ia tak bisa menghilangkan kecemasan yang tumbuh di dadanya. Bagaimana jika ingatan itu menjadi terlalu berat bagi Fiony? Bagaimana jika teman hantunya itu memilih untuk pergi selamanya?
Tepat saat pikiran itu terlintas di benaknya, suhu di ruangan itu turun. Freya sedikit menggigil saat merasakan hawa dingin yang selalu menyertai kehadiran Fiony. Perlahan, hantu itu mulai muncul di sudut ruangan, sosoknya lebih padat malam ini daripada sebelumnya. Namun, ekspresinya tampak jauh, matanya yang gelap dipenuhi pikiran yang tidak disuarakannya.
Freya duduk lebih tegak, memperhatikan Fiony yang melayang ke arah jendela dan menatap ke luar ke dalam kegelapan malam. Sesaat, tak satu pun dari mereka berbicara, keheningan terasa kental dan berat di antara mereka. Hati Freya terasa sakit untuk Fiony, untuk semua yang telah ia tanggung dalam hidup—dan sekarang, bahkan dalam kematian, beban kenangan itu tampaknya menyeretnya ke bawah.
"Aku sudah berpikir," kata Fiony akhirnya, suaranya lembut dan nyaris tak terdengar. Dia tidak menoleh ke arah Freya, tatapannya masih terpaku pada kota yang diterangi cahaya bulan di bawah.
Freya menunggu, memberinya ruang untuk melanjutkan.
"Aku jadi lebih ingat," kata Fiony setelah jeda yang lama. "Bukan hanya perundungan atau... akhir cerita. Tapi hal-hal kecil. Hal-hal yang kupikir sudah kulupakan selamanya. Cara matahari terasa di kulitku, caraku tertawa bersama teman-temanku sebelum semuanya menjadi buruk. Aku juga ingat saat-saat bahagia." Dia memejamkan matanya sebentar, seolah mencoba mengingat kenangan yang cepat berlalu itu.
Dada Freya sesak, hatinya membengkak karena simpati. "Itu hal yang baik, bukan?" tanyanya lembut. "Mengingat hal-hal baik?"
Fiony mengangguk, meskipun ekspresinya tetap gelisah. "Ya. Tapi... itu juga membuatnya lebih sulit. Karena itu mengingatkanku pada apa yang telah hilang. Apa yang tidak akan pernah kumiliki lagi."
Freya menggigit bibirnya, tidak yakin bagaimana harus menanggapi. Ia hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya bagi Fiony, terjebak di antara dunia, tidak dapat melanjutkan hidup, tetapi tidak dapat benar-benar hidup. Itu adalah semacam api penyucian, yang tidak dapat disembuhkan Freya tidak peduli seberapa besar keinginannya.
"Aku takut, Freya," Fiony mengakui, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kau telah membantuku mengingat, tapi sekarang...aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Freya berdiri dan menyeberangi ruangan untuk berdiri di samping Fiony. Meskipun tidak bisa menyentuhnya, dia berdiri cukup dekat sehingga dia berharap kehadirannya akan memberikan sedikit kenyamanan.
"Kamu tidak harus memikirkan semuanya sekaligus," kata Freya lembut. "Kita akan melakukannya selangkah demi selangkah. Apa pun yang terjadi selanjutnya, kita akan menghadapinya bersama."
Fiony akhirnya menoleh untuk menatapnya, matanya menatap wajah Freya untuk mencari kepastian. "Tapi bagaimana kalau...bagaimana kalau sudah waktunya bagiku untuk melupakan masa lalu?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik. "Bagaimana kalau aku harus pergi?"
Napas Freya tercekat di tenggorokannya. Pikiran tentang kehilangan Fiony, tentang dia yang akan melanjutkan perjalanannya ke akhirat dan menghilang selamanya, adalah sesuatu yang belum sempat Freya pertimbangkan sepenuhnya. Namun sekarang, ketika dihadapkan dengan kemungkinan itu, kenyataan itu menghantamnya bagai hantaman tinju ke dada. Jantungnya terasa nyeri tajam dan tiba-tiba yang tidak pernah ia duga.
"Aku..." Freya memulai, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokannya. Bagaimana mungkin dia meminta Fiony untuk tetap tinggal, mengetahui bahwa tinggal berarti terjebak dalam keadaan ini selamanya? Tetapi bagaimana mungkin dia melepaskannya ketika dia sudah mulai menyayanginya begitu dalam? Pikiran kehilangan Fiony sungguh tak tertahankan.
"Aku tidak ingin kau pergi," Freya akhirnya mengakui, suaranya bergetar. "Tapi...aku juga tidak ingin kau menderita. Jika kau butuh melanjutkan perjalananmu, aku akan mendukungmu. Aku akan membantumu menemukan kedamaian."
Ekspresi Fiony melembut, dan untuk sesaat, mereka berdiri dalam keheningan, emosi mereka yang tak terucapkan tergantung di antara mereka seperti benang yang rapuh.
"Aku tidak tahu apakah aku siap," kata Fiony pelan. "Masih banyak yang belum kumengerti. Tentang diriku sendiri, tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi aku tahu satu hal." Dia terdiam, matanya yang gelap menatap tajam ke arah Freya. "Aku belum siap meninggalkanmu. Belum."
Hati Freya dipenuhi rasa lega, meskipun ia tahu ini bukanlah solusi permanen. Pada akhirnya, Fiony harus melanjutkan perjalanannya ke akhirat, tetapi untuk saat ini, mereka punya lebih banyak waktu. Waktu untuk mencari tahu apa langkah selanjutnya, dan waktu untuk dihabiskan bersama sebelum perpisahan yang tak terelakkan.
Tangan Fiony melayang di dekat pipi Freya, penampakan sentuhan samar yang tidak bisa dirasakan Freya tetapi dia tahu itu ada di sana. "Kau telah memberiku lebih dari yang pernah dilakukan siapa pun dalam hidup ini," bisik Fiony, suaranya penuh emosi. "Kau telah memberiku alasan untuk bertahan."
Air mata mengalir di mata Freya, dan dia segera mengerjapkannya. "Kau telah memberiku banyak hal, Fiony. Kau telah mengubah hidupku dengan cara yang bahkan tidak dapat kujelaskan."
Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, beban hubungan mereka terasa nyata dalam keheningan ruangan. Fiony, jiwa yang hilang mencari kedamaian, dan Freya, gadis yang telah menemukan cinta di tempat yang paling tidak diduga.
Next Steps
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan tekad yang tenang. Freya dan Fiony menjalani rutinitas baru—menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbincang, berbagi kenangan, dan menjelajahi kekuatan gaib yang belum sepenuhnya dipahami Fiony. Untuk pertama kalinya, Fiony tampak ingin belajar lebih banyak tentang dirinya sendiri. Masih ada bayangan di hatinya, kesedihan karena hidupnya berakhir, tetapi Freya dapat melihat bahwa Fiony mulai pulih, sedikit demi sedikit.
Freya juga merasakan perubahan pada dirinya. Kemampuannya untuk melihat hantu selalu menjadi sesuatu yang dilihatnya dengan rasa keterpisahan, sesuatu yang membedakannya tetapi tidak mendefinisikan dirinya. Namun, sekarang, ia mulai melihatnya sebagai anugerah, sesuatu yang memungkinkannya terhubung dengan Fiony dengan cara yang tidak pernah bisa dilakukan orang lain. Kemampuan itu memberinya cinta, persahabatan, dan tujuan dengan cara yang tidak pernah ia duga.
Suatu malam, saat mereka duduk bersama di balkon, menyaksikan matahari terbenam mewarnai langit dengan warna merah muda dan emas, Fiony menoleh ke Freya dengan ekspresi serius. "Apakah kamu pernah berpikir tentang masa depan?" tanyanya pelan.
Freya menatapnya, terkejut dengan pertanyaan itu. "Kadang-kadang," akunya. "Tapi akhir-akhir ini...aku tidak banyak memikirkannya. Segalanya terasa tidak pasti."
Fiony mengangguk, tatapannya kembali ke cakrawala. "Aku sudah banyak memikirkannya. Tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Untuk kita berdua."
Jantung Freya berdebar kencang, tetapi dia memaksa dirinya untuk tetap tenang. "Apa maksudmu?"
"Maksudku, aku belum siap untuk melanjutkan perjalananku," kata Fiony, suaranya tenang. "Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa tinggal di sini selamanya. Pada akhirnya, aku harus menghadapi apa pun yang akan terjadi setelah ini. Tapi sampai saat itu tiba...aku ingin memanfaatkan waktu yang kita miliki sebaik-baiknya. Aku ingin membantumu, Freya. Dengan hidupmu, masa depanmu. Kau telah melakukan begitu banyak hal untukku—sudah saatnya aku melakukan sesuatu untukmu."
Mata Freya membelalak karena terkejut. "Fiony, kamu tidak berutang apa pun padaku. Aku membantumu karena aku peduli padamu."
"Aku tahu," kata Fiony sambil tersenyum kecil. "Tapi aku juga peduli padamu. Dan aku ingin menjadi bagian dari hidupmu secara nyata. Aku ingin membantumu di kampus, dengan teman-temanmu... dengan apa pun yang kamu butuhkan. Sampai saatnya aku pergi."
Freya mengerjapkan mata menahan luapan emosi yang tiba-tiba, hatinya membengkak karena rasa sayang kepada hantu yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidupnya. "Aku menginginkannya," katanya lembut. "Aku sangat menginginkannya."
.
.
.
to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by Love, Separated by Death
Mistério / Suspense[GL] [gxg] [Frefio] Freya, seorang mahasiswa sastra yang pendiam, memiliki kemampuan unik-dia bisa melihat dan berinteraksi dengan hantu. Ketika dia pindah ke apartemen barunya yang berhantu, dia bertemu Fiony, roh seorang gadis yang tidak bisa meni...