Kisah ku memang tidak semanis kisah yang lain. Kisah ku tidak semenarik kisah orang lain. Tapi bila kamu ingin tetap mengetahuinya, akan ku bawa kamu kedalam kisah cinta yang telah menguras tenaga, emosi, dan pikiranku selama ini. Karena sejatinya cinta selalu datang tanpa permisi.
•><><><•
"An ... "
"Hm?"
"Pulang nanti ikut aku."
"Kemana?"
"Pulang."
Aku menatap Rafif seketika, dengan langkah kaki yang tetap berjalan menyusuri lorong koridor lantai dua sekolah ini.
"Maksudnya?"
"Ke rumah ku." Jawab Rafif, jelas, tanpa menoleh.
"Mamah ku udah balik dari Bogor. Katanya mau ketemu kamu, penasaran dia."
Perkataan Rafif mendadak membuat ku gugup dan terkejut. "Mamah? Mamah kamu tau aku?"
Tidak. Jelas pertanyaan itu harus aku ajukan kepadanya. Mendengar penuturannya barusan membuatku tersadar, apakah selama ini ia bercerita tentang aku kepada ibunya?
"Kenapa sih, kayaknya kaget banget."
"Aku gak bisa." Tegasku, dengan menambah langkah lebih dulu.
"Memang kenapa? Mamah ku gak gigit kok."
Aku menghembuskan napas kasar dihadapannya. "Monster kali." Bukan, bukannya tidak ingin. Aku hanya tidak percaya diri. "Pokoknya aku gak bisa."
... dan percakapan kami terputus begitu saja ketika aku memutuskan untuk memasuki kelas.
•><><><•
Bel berbunyi. Untuk sesaat aku lupa tentang perbincangan kami tadi selepas istirahat. Berharap Rafif tidak membahasnya kembali ketika kami bertemu nanti.
Namun sialnya, Rafif terlalu bersikeras. Ia tidak akan pernah melupakan kenginginannya yang belum tercapai. Termasuk keinginannya untuk mempertemukan aku dengan ibunya.
"Yuk." Sahutnya langsung saat aku mendekat.
Ia sudah menunggu dilorong depan kelasku. Duduk dikursi yang menempel dengan tembok kelas.
"Tap—"
"—sudah, gapapa."
Tanganku ditariknya untuk mensejajarkan langkah. Ia melipat tangan didepan dada, seperti biasa. Berjalan dengan langkah lebar disisiku. Ya Tuhan, rencana apa yang sedang Kau susun untuk ku hari ini.
"An, mamahku baik kok. Palingan nanti kamu dikasih oleh-oleh dari sana."
Aku tidak mengharapkan apapun, Fif. Cukup mengenal kamu saja itu sudah anugerah terbesar bagiku.
Motor Rafif melangkah menjauhi sekolah. Membelah angin siang menjelang sore yang sedikit redup karena mendung. Seperti biasa, lalu lintas agak sedikit macet. Mungkin karena memang jam pulang kerja yang membuat jalan penuh dengan kendaraan.
Dalam waktu sepuluh menit kami sampai. Rumah bernuansa biru langit berdiri tegak dihadapanku. Rumah satu lantai dengan luas yang entah berapa; aku tidak ingin tahu.
Tanpa menyuruh ku untuk turun, Rafif membuka gerbang dengan sebelah tangannya. Seseorang menghampiri untuk membantu membuka gerbang hitam setinggi dua meter itu.
"Fif."
Yang aku panggil menoleh, dengan senyuman geli diwajahnya ia menarik tanganku dengan lembut dan kepala yang terangguk singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ufuk Cinta
Teen FictionKebohongan adalah awal mula dari adanya kata kita. Bukan takdir yang harus disalahkan, tetapi ego. Takdir telah menunjukkan bahwa jalannya memang harus seperti ini, namun egoku lah yang menentang semua. Kasih sayang ku tidak akan luntur untukmu. Kam...