5. Pergi

5 4 0
                                    

"Ibuu ...."

Isakan kecil mulai terdengar. Aku tersadar begitu melihat Anaya berlari keluar. Aku tidak bisa menahan emosiku. Sudah lelah karena mencari cincin yang tidak kunjung ketemu, ditambah Anaya melihat fotoku dengan Rafif.

Aku memandang foto itu sejenak yang memperlihatkan senyum. Betapa bahagianya aku bila ini semua tidak pernah terjadi. Bila pertunangan ini tidak pernah ada.

Aku mendengar Ibu sedang berbicara keras diluar. Seperti memarahi seseorang. Aku yakin itu adalah Anaya. Karena aku sempat melihat Ibu yang tengah membereskan pakaian dikamar Sam yang berseberangan dengan kamarku. Ibu pasti kesal karena Anaya datang mengganggu pekerjaanya.

Kasihan juga anak itu. Aku teringat bentakkan tadi. Pasti sangat mengejutkannya. Maaf, Anaya. Kakak tidak sengaja. Jika saja kamu tidak melihatnya, semua ini mungkin tidak terjadi.

•><><><•

Makan malam. Semua orang dirumah berkumpul dimeja makan. Tidak terkecuali aku, Ibu, dan Anaya. Kami berada disatu meja yang sama. Sedang mba Tati dan pak Bobi berada dibelakang.

Ibu Karin duduk pada kursi tengah. Sedang Sam disisinya. Selalu. Karena itu memang tempat mereka. Sedang aku berada diseberangnya.

Kami memulai makan dengan tenang. Lauk pauk tersedia banyak dimeja. Kalau soal masakan, Ibu adalah juaranya. Aku tidak pernah mendengar kecewa dari orang lain tentang masakkan Ibu.

Anaya tampak diam. Ia takut memandangku. Padahal aku ingin sekali berbicara dengannya. Sedang Ibu dengan pelan membujuk Anaya agar menghabiskan makanannya yang sudah disendok diatas piring.

"Sepertinya saya harus bicara sekarang."

Ucap Ibu Karin dari tempatnya. Beliau adalah Ibu dari Sam lelaki yang menjadi tunanganku. Disini hanya ada kita berlima. Ibu Karin merupakan kepala keluarga dirumah ini. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Itu yang aku tahu tentangnya dari Ibu.

"Andrea."

Aku tertegun mendengar namaku dipanggil. Aku mengalihkan tatapanku dari meja makan.

"Ya, bu."

"Sekolah kamu gimana?"

Aku menoleh kearah Ibu dengan menjawab, "Baik."

"Alhamdulillah."

Sejenak ia terdiam. Aku—tidak, kami semua menunggu kalimat lanjutan darinya.

"Seperti persyaratan kamu saat lamaran dulu. Kamu akan menikah hanya setelah kamu lulus sekolah."

Aku menggangguk pelan, agak gugup dengan perbincangan malam ini.

"Selama itu, Sammy akan Pergi."

Ibu Karin bergantian menatap Sam. Tangannya mengelus pelan lengan kekar Sam diatas meja. Sedang lelaki itu hanya diam sambil tetap memakan makanannya.

"Sammy akan terapi disalah satu rumah sakit daerah Bogor. Ibu akan benar-benar memastikan bipolar Sammy teratasi. Sehingga kalian dapat melangsungkan pernikahan setelah kamu lulus sekolah."

"Jika itu yang terbaik buat mas Sam, saya akan dukung bu." Sahut Ibu yang duduk disisi Anaya.

"Doakan yang terbaik buat Sammy ya."

"Amin."

"Kalau boleh tau, berangkat kapan?" Takut-takut aku bersuara. Entah mengapa rasanya sangat membuatku senang.

Ibu Karin beralih menatap aku. Ia tersenyum. "Besok minggu, De. Kamu mau ikut?"

"Aku ada kerja kelompok." Sanggahku, sangat cepat. Tidak peduli meski Ibu Karin tahu kalau aku berbohong. Pokoknya aku tidak mau ikut!

Ufuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang