Hal apa yang membuat Rafif bersikap seperti ini? Apakah jawabanku tentang pertanyaannya saat itu salah? Apa aku salah mengorbankan diriku untuknya dan Ibu? Mengapa, Fif. Ku mohon jangan membuat aku bertambah bingung seperti ini.
"Kakak kakak kakak ... dipanggil Ibu ...." Ucapan Anaya perlahan memelan dan akhirnya berhenti saat melihat aku menangis. Anak itu memerhatikanku beberapa saat, seperti bingung hendak masuk untuk menenangkanku atau pergi meninggalkanku. Menatapku sampai pada akhirnya ia telah memutuskan untuk meninggalkanku kembali.
Anaya, bisa tidak kita bertukar tempat. Untuk satu hari saja. Kakak hanya ingin hidup tanpa beban yang memberatkan punggung kakak. Kakak lelah terus menerus seperti ini.
Apakah memang semua yang aku lakukan sejauh ini sudah sia-sia? Apakah memang ternyata pengorbananku dengan membohongi semua orang berakhir seperti ini? Sungguh. Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Jalan ku sudah buntu, dan tertutup oleh batu yang tiba-tiba saja turun entah dari mana.
"Dea?"
Aku mendongak. Menatap sosok Ibu yang sudah berada didepan. Tubuhnya perlahan mendekat, dan lalu dengan sigap ia memelukku. Meski wajahnya penuh tanya, namun ia tidak segera mengutarakannya padaku. Ia hanya diam, menungguku.
"Udah gapapa. Semua akan baik-baik aja. Ibu disini."
Maafkan aku, Bu. Sekali lagi maafkan aku. Aku sudah membohongi Ibu. Aku sudah mengkhianati kepercayaan Ibu hanya demi lelaki yang membuatku seperti ini. Andai Ibu tahu, apakah Ibu akan tetap menenangkanku? Apakah Ibu akan tetap memelukku sehangat ini?
•><><><•
Aku sungguh malu. Aku malu karena sudah menangis didepan Ibu untuk lelaki pilihanku. Aku malu karena kebohonganku akhirnya berujung sia-sia. Pagi hari yang seharusnya menjadi hari bahagia ini, ternyata malah membuatku menjadi sangat sedih seperti ini.
Melangkahkan kaki dengan berat menuju gerbang sekolah. Aku sedikit melirik kearah warung didepan sana. Ingin tahu apakah Rafif kembali menongkrong disana atau tidak. Namun motornya tidak ada, yang menunjukkan bahwa dirinya juga tidak ada disana. Rafif, apakah kamu sedang bercanda? Aku tahu kamu senang bercanda. Tetapi apakah harus senyata ini?
Aku kembali melanjutkan perjalananku. Menuju kelas yang sudah sedikit ramai. Rima sudah datang. Ia menatapku dengan senyuman semenjak aku mulai memasuki kelas.
"Selamat ulang tahun Andrea. Temanku yang cantik dan baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung. Semoga panjang umur dan sehat selalu. Dimurahkan rezekinya, dilancarkan hubungannnya dengan, Rafif." Diakhir kata, Rima membisikkan nama Rafif ditelingaku. Lalu memelukku dengan pelukannya yang hangat.
Aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Namun air mataku keluar begitu saja tanpa diminta. Ini sungguh sulit. Ini sangat sulit untuk aku lalui.
"Lho Dea? Kok malah nangis?"
Aku menggeleng dan tetap mengeratkan pelukan. Tunggu, Rim. Biarkan seperti ini dulu. Aku hanya ingin mengeluarkan sesak yang menumpuk dihatiku ini.
"Kamu nangis karena bahagia, ya." Rima mengelus kepala hingga punggungku dengan lembut. Ya, Rim. Aku menangis karena bahagia. Aku bahagia ternyata aku masih dikelilingi orang baik seperti kamu.
•><><><•
Jika saja Bu Emi tidak menyuruhku untuk mengumpulkan tugas-tugas anak kelas, aku tidak akan mau keluar kelas saat ini. Aku sedang tidak berselera bermain dengan Rima ataupun jajan di kantin yang mana membuatku mengingat Rafif. Lelaki yang tidak aku temui sejak pagi ini, selalu saja serakah karena sudah memenuhi kepalaku dari kemarin.
Rafif, apakah akhir dari kata kita hanya sesingkat ini? Secepat ini? Apakah kamu memang benar-benar mau menjauh denganku? Mengapa, Fif. Apa yang membuat kamu bersikap seperti ini? Hal apa yang membuat kamu berubah sedrastis ini? Aku butuh penjelasan kamu, Fif. Bukan hanya dengan tersirat seperti ini.
"Rafif!"
Aku berlari menghampirinya. Meskipun ia tidak berhenti sedetik pun ketika mendengar panggilanku, aku akan tetap menemuinya. Aku harus meminta penjelasannya, hari ini juga. Aku tidak mau sampai pertengkaran tidak jelas ini berlarut-larut. Jika memang kamu sedang bercanda, sudah, ku mohon hentikan sekarang juga.
"Rafif tunggu. Berhenti, aku mau bicara."
Aku menggapai tangannya. Mengambil napasku dengan cepat karena habis untuk mengikuti langkahnya yang panjang.
"Kenapa? Kamu mau larang aku manjat tembok ini lagi?"
Aku menggeleng. Sedikit melirik Galih yang baru saja turun meloncat keluar melalui dinding disisiku ini.
"Tunggu. Dengerin aku dulu. Aku gak akan berhenti nemuin kamu sampe kamu bilang kenapa kamu bersikap kayak gini. Aku gak mau pengorbananku selama ini jadi sia-sia. Kenapa, Fif? Ada sesuatu yang kamu sembunyiin, kan? Bilang sama aku, apa?"
Rafif melepaskan peganganku. Ia mulai melangkah lagi, tanpa berniat membalas perkataanku.
"Rafif! Berhenti atau aku teriak!"
Hanya decakan kesal yang aku dengar.
"Kalo kamu nekat buat manjat dinding itu, aku akan bener-bener teriak sekarang juga."
Akhirnya Rafif merubah arah. Ia mulai mendekat padaku dengan wajah yang amat jengkel. Kami saling menatap. Namun Rafif hanya membisu. Mulutnya terkatup rapat. Kekesalan tersirat dalam sorot matanya.
"Kenapa, Fif. Jangan kayak gini. Kamu harus menjelaskan sama aku, kenapa? Apa yang ngebuat kamu—"
"Bougenville blok A no 102. Itu alamat rumah kamu."
"Fif."
"Kamu bingung, kenapa aku bisa tau?" Rafif tersenyum mengejek. "Jelas aja, An, aku tau. Karena itu merupakan alamat rumah bibiku juga. Bibi Karin."
Tuhan. Apa yang sedang ingin Kau tunjukkan kepadaku? Bibi? Apakah mereka, bersaudara?
"Kamu adalah tunangan Mas Sam. Kakak sepupu aku. Aku benar, bukan? Itu yang ngebuat kamu gak bisa ngenalin aku ke Ibu kamu. Itu juga yang ngebuat kamu gak bisa ngajak aku ke rumah kamu. Karena kamu tinggal bersama bibiku!"
Bagai tersambar petir disiang bolong, aku terdiam. Kenyataan pahit datang dengan bertubi seperti ini. Rasanya seperti aku jatuh dan tenggelam secara bersamaan kedalam jurang kegelapan. Sangat sesak dan aku tidak bisa bernapas. Cahaya yang menuntunku perlahan meredup, lalu menghilang.
Jadi Rafif sudah tahu? Rafif sudah tau selama ini, kalau aku ... sudah bertunangan? Lalu yang lebih membuatku amat tidak menyangka adalah kenyataan bahwa Rafif dan Sam, sepupu?
"Tu—tunggu, Fif. Aku bisa jelasin semuanya sama kam—"
"Sudah lah, An. Aku ingin menghentikan semua ini. Oh ... aku salah. Apa yang harus dihentikan? Kita kan gak pernah memulai."
Jarum yang begitu besar serasa menusuk jantungku. Sakit. Rasanya aku sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang terus menghujamku karena perkataan Rafif. Mengapa, Fif? Apakah dengan menyakitiku seperti ini kamu merasa puas?
Rafif memutar tubuh. Kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Namun sebelum ia mulai menaikkan kakinya pada kursi kayu didekat dinding, ia menolehkan kepalanya.
"Tadi kamu bilang apa, pengorbanan? Apa yang kamu korbankan dengan berbohong? Perasaan kamu? Bahkan jika itu sulit, kebenaran tetap lebih baik, An."
Fif? Apa yang harus aku katakan? Bagaimana caranya aku menjelaskan semuanya kepada kamu? Aku tahu kamu pasti sangat kecewa. Aku tahu kamu pasti sudah tidak ingin melihatku lagi. Tapi aku mohon, Fif. Percayalah, bahwa perasaanku untuk kamu selama ini, nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ufuk Cinta
Teen FictionKebohongan adalah awal mula dari adanya kata kita. Bukan takdir yang harus disalahkan, tetapi ego. Takdir telah menunjukkan bahwa jalannya memang harus seperti ini, namun egoku lah yang menentang semua. Kasih sayang ku tidak akan luntur untukmu. Kam...