"AN ...!"
Aku terus berjalan tanpa menghiraukan Rafif. Mematah arah dengan sembarang dan masuk kedalam sebuah toko baju. Menyelinap dan berpura memilah baju-baju tersebut.
"Kamu mau beli baju? Buat adik kamu?"
Aku tersadar ketika Rafif berkata adik. Disaat yang sama suara tidak asing terdengar ditelinga ku. Itu suara Anaya.
Mengapa aku harus berakhir ditoko ini disaat banyak toko-toko yang lain? Aku bergerak menjauhi suara Anaya. Terdengar ia berteriak senang dan mau ketika suara Ibu Sam menunjuk sebuah baju.
"An? Kamu kenapa sih?!"
Aku menarik Rafif untuk segera menjauh dari toko. Keberuntungan tampaknya masih berada dipihakku. Aku dan Rafif berhasil keluar dari toko tanpa melihat mereka. Rafif masih membuat tanda tanya dengan ekspresinya, sedang aku tidak kunjung menjelaskan apa yang telah terjadi. Hingga kami benar-benar keluar dari dalam mall dan menyambut langit yang telah menggelap.
"An?"
"Aku mau cepet pulang."
"Tunggu, An."
Rafif menghentikan laju langkahnya. Menarik tubuhku untuk menghadapnya.
"Kenapa sih? Kamu ngehindarin apa?"
Aku menghindari mereka, Fif. Mereka yang menjadi penyebab kita tidak bisa bersama!
"Aku mau pulang."
Kalimatku tidak menjawab pertanyaan membingungkan Rafif. Aku terus melangkah meninggalkannya sendiri didepan pintu masuk mall. Maafkan aku, Fif. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi saat ini. Aku tidak bisa mematahkan hati kamu. Satu-satunya cara adalah hanya lari dari kenyataan ini.
•><><><•
Pukul tujuh kurang. Akhirnya aku sampai di rumah. Anaya sepertinya belum pulang. Tentu, mereka kan baru sampai ketika aku ingin pulang tadi.
Aku langsung masuk ke kamar. Ibu belum juga terlihat. Mungkin ia sedang berada dikebun belakang. Menyiram tanaman seperti biasa. Agar ketika pagi tiba, tanaman terlihat menyegarkan.
Sehabis membersihkan diri aku tidur menghadap langit kamar. Kembali memikirkan hari yang telah aku lewati tadi. Mulai dari ketika Rafif menarikku disekolah, hingga teman-teman melihat. Pasti aku sedang menjadi pembicaraan terhangat saat ini disekolah. Yah, mungkin saja. Siapa yang tahu mulut orang lain?
Teringat sesuatu, aku langsung bangkit dari tempat tidur. Berjalan menuju meja belajar untuk mengambil tas yang berada diatas bangku. Boneka kelinci merah muda dari Rafif beserta foto cetak hasil snapshot tadi. Mengingatnya kembali membuat perasaanku membaik lagi. Enam foto cetak yang masih menjadi satu. Mungkin nanti akan aku potong untuk ditaruh dalam dompet. Ide yang bagus!
Aku memeluk boneka kelinci Rafif. Teringat perkataannya yang mengatakan bahwa boneka ini mirip dengan ku. Aku menarik kembali boneka itu dari pelukanku. Memerhatikannya dengan lekat. Apa aku memang terlihat seperti kelinci? Tapi gigiku tidak tonggos!
"De?"
Astaga! Ibu!
Aku langsung menyembunyikan boneka kelinci Rafif dan foto tadi dibawah selimut. Sial! Aku lupa mengunci pintu!
"... ya bu?"
"Baru pulang?"
Aku menggangguk cepat. Sedikit gugup karena ibu mulai mendekat.
"Malem banget. Kerja kelompok lagi?"
"Hm, ya. Ibu Rima ngajak makan dulu dirumahnya."
Ibu mengangguk. Pertanda ia benar-benar percaya. Maafkan aku, Bu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ufuk Cinta
Teen FictionKebohongan adalah awal mula dari adanya kata kita. Bukan takdir yang harus disalahkan, tetapi ego. Takdir telah menunjukkan bahwa jalannya memang harus seperti ini, namun egoku lah yang menentang semua. Kasih sayang ku tidak akan luntur untukmu. Kam...