2. Sammy

11 5 0
                                    

"Bu, aku sayang sama orang lain. Apa aku bisa menghentikan semua ini?"

"Kamu baru pulang. Ibu tau kamu capek." Ibu menatapku, tidak ada ekspresi dalam wajahnya. "Ibu anggap Ibu gak mendengar kalimat itu hari ini."

Dalam sekali ucap Ibu pergi, meninggalkan dapur. Aku hanya diam dengan memerhatikannya. Kesalahan apa yang telah aku perbuat dimasa lalu, hingga kini takdir serasa mempermainkan diriku.

•><><><•

Selepas mandi dan membersihkan diri aku berdiam dikamar. Jam makan malam sudah tiba, mungkin orang rumah sedang menikmatinya saat ini. Tapi aku memilih untuk tidak keruang makan sana. Aku tahu aku tidak bisa menghindar dari semua ini, aku hanya ingin memberi waktu untuk diriku sendiri saja agar bisa kembali mengikhlaskan apa yang sedang terjadi pada kehidupanku.

Tirai gorden yang terikat sedikit berterbangan—tertiup oleh angin. Tidak ada bintang malam ini. Bulan pun terlihat samar karena tertutup awan. Udara terasa sangat dingin, mungkin karena masih ada sisa-sisa hujan yang melekat.

Dari tempatku saat ini aku dapat melihat sebuah kolam. Kolam renang yang berukuran setengah dari lapangan bulu tangkis pada umumnya. Airnya tampak tenang, karena tidak ada yang menggunakannya. Sekali lagi, semilir angin melambai kulit dari arah luar kamarku. Disaat bersamaan suara riak air terdengar dari bawah. Tepatnya dari arah kolam renang yang tampak sepi tadi.

Kulihat ada sesosok orang yang masuk kedalamnya. Mungkin ia ingin berenang. Aku tidak heran dengannya. Tetapi semakin aku lihat, semakin aneh dari cara berenangnya itu. Satu detik, dua detik, hingga sampai satu menit ia tidak lagi menampakkan kepalanya pada permukaan kolam. Tetap diam ditempatnya sejak pertama kali melompat kedalamnya.

Tunggu!?

Aku tidak melihat bagaimana caranya menyeburkan diri tadi. Aku hanya mendengar suara riakkan air dari bawah, dan saat aku tengok, sudah ada satu sosok yang tidak ingin aku jumpai saat ini.

Samar aku mendengar suara teriakkan. Aku hapal suara itu. Milik ibu.

Organ dalam dadaku seketika bekerja begitu cepat saat melihat sosok yang masih berada didasar kolam. Tidak juga muncul! Apa mau dia?!

Aku berlari untuk keluar kamar dengan seketika. Menuruni anak tangga untuk menuju lantai dasar dengan kecepatan kilat. Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Kaki ku perlahan bergerak semaunya. Melangkah cepat menuju kolam dimana semua orang rumah kini berada. Tanpa melihat situasi aku memasukinya.

Dinginnya air kolam seakan menusuk tulangku. Namun aku harus menggapai tangan itu. Sebuah tangan yang sudah enam bulan ini mengikatku dengan sebuah hubungan. Panggilan dan teriakkan terdengar dari pinggir kolam. Aku masih terus menuju kearahnya. Kearah lelaki yang dengan sengaja menenggelamkan dirinya kedasar kolam. Menangkap, dan menariknya dengan sekuat tenaga. Aku tidak begitu pandai berenang, namun aku tetap berusaha untuk mencapai pinggir kolam. Demi keselamatanku juga keselamatan lelaki itu.

"Sam ..."

Panggilan itu terus keluar dari mulut wanita paruh baya yang berdiri dekat ibu. Wanita pemilik rumah yang saat ini aku tinggali. Wanita yang sangat menginginkan aku untuk menjadi anaknya.

"Sam ..."

Aku dibantu oleh pak Bobi—penjaga kebun rumah, untuk menaikkan lelaki itu kepinggir kolam. Tubuhnya yang jauh lebih besar dari pada aku akhirnya terangkat dan berhasil diselamatkan. Ia terduduk penuh ketakutan. Sedang aku hanya bisa melihatnya yang dihujami pertanyaan 'kenapa' dari sang ibu.

"De."

Hingga aku tersadar ketika Ibu memanggil namaku.

"Ayo naik."

Ufuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang