Kamu mau menghukumku dengan cara seperti ini, ya, Fif? Kalau kamu memang semarah itu denganku, dan ingin membuatku menyesal dengan apa yang telah aku lakukan pada kamu, kamu menang, Fif. Dan aku mengakui kekalahan aku. Namun satu hal yang harus kamu tahu. Tidak ada kata menang atau kalah dalam cinta, yang ada hanyalah menerima dan mengikhlaskan.
"Kakak kakak kakak ... besok kita jalan-jalan."
Anaya berteriak senang menghampiriku yang baru saja datang. Disusul Ibu yang berjalan dengan senyum bahagianya. Aku hanya bisa menatap bingung.
"Besok kita jemput kak Sam, abis itu jalan-jalan deh." Sorak Anaya, senang.
Maksud Anaya bagaimana? Jemput Sam? Aku menatap Ibu spontan, dan Ibu hanya mengangguk pelan.
"Besok Mas Sam udah bisa pulang."
Tuhan. Apa yang sedang terjadi? Masalahku dengan Rafif saja belum selesai. Ditambah dengan kepulangan Sam?
"Besok kamu sama Anaya ikut Bu Karin jemput mas Sam, ya. Dia pasti seneng."
Aku yang tidak senang, Bu. Kenapa harus secepat ini? Kenapa harus disaat aku dan Rafif sedang tidak baik-baik saja? Dan itu semua, karena dia.
Tapi percuma saja aku menolak pun, Ibu pasti akan tetap memaksaku, bukan?
•><><><•
Tidak ada yang namanya kebetulan. Aku tahu itu. Takdir memang selalu menyamar menjadi kebetulan, dan memaksaku untuk selalu berada didalamnya. Sam sudah pulang, itu artinya aku akan selalu bertemu dengannya lagi. Rafif, apakah kamu mengetahui hal ini? Bagaimana tanggapan kamu?
Orang yang menjadi halangan untuk hubungan kita telah kembali. Orang yang kamu pikir telah merebut aku telah pulang esok. Lalu aku, harus tinggal bersamanya lagi dalam satu rumah ini.
"Kakak, buka pintu, kakak."
Suara ketukan ringan Anaya memenuhi kamarku. Anak itu antusias sekali. Tidakkah ia merasakan bahwa aku tengah menderita saat ini?
"Besok aku pake baju ini bagus gak?"
Aku sedikit tersenyum. Berpura-pura baik meski ternyata tidak. Anaya, mengapa kamu sebahagia ini, sedang kakak sesedih ini. Bisakah kita bertukar tempat, sebentar?
"Ya. Bagus. Kamu pake apa aja juga bagus, kok."
"Iya dong. Anaya kan cantik." Sahutnya dengan percaya diri. "Aku mau kasih ibu biar disetrika."
Tanpa menunggu responku Anaya pergi begitu saja. Meninggalkan kamarku dengan kehampaan yang perlahan menyelinap masuk. Mengisi kegelapan yang berusaha membunuhku secara diam-diam.
•><><><•
Pukul tujuh tepat, Outlander putih Bu Karin sudah melaju meninggalkan komplek. Aku duduk didepan, sedang Anaya dibelakang bersama dengan Bu Karin. Pak Harun yang masih setia dengan jaket kulit pemberian Bu Karin menyetir dengan fokus dibalik kemudinya. Membelah jalan pagi dimana sisa-sisa hujan semalam masih ada.
"Musik, ya, Buk."
Dengan sekali anggukkan Bu Karin, perlahan alunan musik menggema dalam Outlander putih ini. Mulanya, jenis musik yang disetel Pak Harun bergenre jazz tempo dulu, entah siapa penyanyinya aku tidak tahu. Hingga lagu ketiga dan seterusnya berganti menjadi musik pop tahun era 80-an.
Selama perjalanan aku hanya diam. Memandang jalan melewati kaca disisiku. Aku tidak bisa berhenti berfikir tentang Rafif. Entah mengapa ia selalu saja muncul dalam kepalaku. Meski sudah ku coba lupakan berulang kali. Atau mungkin karena saat ini aku sedang berjalan untuk menjemput Sam? Seseorang yang menjadi penyebab aku dan Rafif berakhir?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ufuk Cinta
Teen FictionKebohongan adalah awal mula dari adanya kata kita. Bukan takdir yang harus disalahkan, tetapi ego. Takdir telah menunjukkan bahwa jalannya memang harus seperti ini, namun egoku lah yang menentang semua. Kasih sayang ku tidak akan luntur untukmu. Kam...