Aku sudah tidak tahu kemana harus berjalan. Cahaya yang sudah menuntunku selama ini telah menghilang. Meninggalkanku sendiri dalam kegelapan. Langkahku telah buntu. Apa yang harus lakukan? Kemana aku harus menepi bila tidak ada lagi jalan untuk aku arungi.
Rafif, apakah ini memang akhir dari kita? Mengapa harus secepat ini? Mengapa disaat aku masih mempersiapkan hati untuk kepergian kamu?
Aku tidak mampu lagi memijak bumi. Tulang ditubuhku seakan runtuh bersamaan dengan kenyataan bahwa kamu sudah tidak ingin melihatku lagi. Aku sudah tidak peduli kemana angin membawaku pergi. Aku hanya ingin menghilang. Saat ini juga. Mungkin hanya dengan seperti itu, aku bisa melupakan semua rasa sakit dihati ini.
Rima masih ditempatnya. Mungkin ia menungguku. Mungkin ia khawatir mengapa aku tidak juga muncul selepas istirahat usai. Terima kasih, Rim, karena sudah menjadi teman baikku sejauh ini. Maafkan aku karena kamu juga sudah terseret kedalam kebohongan ku selama ini.
"Dea? Kamu dari mana aja? Kenapa gak masuk kelas tadi?"
Sudah lah, Rim. Aku tidak ingin menjelaskan apapun. Aku tidak ingin melakukan apapun saat ini.
Aku mengambil tas sekolah yang tersandar pada leher bangku. Bel pulang sudah berbunyi. Kelas pun sudah kosong saat aku masuki. Aku hanya ingin segera sampai rumah.
"Dea ... Andrea ...?"
Suara Rima terdengar menyusul. Aku masih tetap mengabaikannya. Aku malu melihat kamu, Rim. Jika kamu tahu bahwa aku telah membohongi kamu juga, apakah kamu akan pergi seperti halnya Rafif?
"Dea tunggu."
Aku menghentikan langkah. Merasa tidak tahu diri karena sudah menyebabkan Rima menjadi pulang sesore ini.
"Terima kasih ya, Rim. Tapi aku minta maaf karena belum bisa ngasih tau kamu apa-apa saat ini. Sekali lagi aku minta maaf. Aku pamit duluan."
Setelah mengucap itu, Rima berhenti mengejarku. Aku tahu, Rim. Bila kamu nanti tahu tentang semua kebohonganku seperti Rafif, kamu pasti akan meninggalkan aku juga. Jadi aku mohon, jangan bertanya apapun saat ini. Aku hanya tidak ingin semua orang disisiku perlahan menghilang. Meskipun itu memang konsekuensi yang harus aku terima.
•><><><•
Aku tidak pernah menyangka, bahwa hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia, ternyata menjadi hari paling menyakitkan yang pernah aku alami. Seharusnya, bila saja Rafif tidak mengetahui tentangku seperti ini, kami pasti sedang merayakan ulang tahunku. Pergi bermain, melihat senja, atau makan siang bersama. Namun ternyata takdir berkata lain.
Rafif sudah menyatakan kata selesai. Bukankah artinya ia sudah sangat kecewa? Bila tahu akan seperti ini pada akhirnya, aku tidak akan memilih untuk berbohong. Aku akan jujur meski tahu kamu pasti tersakiti. Mungkin memang lebih baik seperti itu. Tetapi semua sudah terlambat, semua sudah terlanjur berantakkan, dan aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa dan melakukan apa untuk menghentikan semua kekacauan ini.
"Selamat ulang tahun kakak."
"Selamat ulang tahun, Dea."
Suara tersebut terdengar saat aku membuka pintu kamar. Mba Tati dan Pak Bobi berada disana juga. Memegang beberapa kado ditangannya, yang sudah pasti untuk diriku.
"Happy birthday too you ... Happy birthday too you ...."
Bukannya senang, nyanyian selamat yang dilantunkan untukku malah semakin membuatku sedih. Tidak. Mengapa harus dengan bersamaan seperti ini, sih?
Aku sangat merasa bersalah kepada semua orang. Kebohongan yang aku ucap serta kedustaan lain yang tidak terhitung jumlahnya membuatku ingin menghilang dari muka bumi. Ibu, apakah ini memang hukuman untuk aku karena sudah membohongi kamu selama ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ufuk Cinta
Teen FictionKebohongan adalah awal mula dari adanya kata kita. Bukan takdir yang harus disalahkan, tetapi ego. Takdir telah menunjukkan bahwa jalannya memang harus seperti ini, namun egoku lah yang menentang semua. Kasih sayang ku tidak akan luntur untukmu. Kam...