10. Menjenguk

6 4 0
                                    

Sungguh. Aku malas sekali. Biasanya minggu pagi sedang berolahraga atau bermalasan di dapur, tapi saat ini sudah rapih begini.

"Dea, cepet. Ibu Karin nunggu dibawah."

"Ya, bu."

Teriakku menjawab teriakkannya juga diluar kamar. Memang sengaja, kamar aku kunci. Agar siapapun tidak bisa sembarang masuk dan melihat-lihat barangku. Seperti Anaya saat itu.

Memastikan penampilan, aku kembali menatap pantulan diri dikaca. Oke, siap. Rambut terikat, topi hitam, serta sweeter rajut merah yang dipadu dengan celana jeans biru. Outfit yang cukup simpel untuk menjenguk seseorang.

Siapa lagi kalau bukan, Sam?

Seperti perkataan Bu Karin kala itu, setiap minggu kami akan menjenguk Sam di kota Bogor sana. Memastikan bahwa keadaannya telah membaik. Lalu, beginilah minggu ku berakhir.

Bergegas untuk turun karena Ibu sudah meneriakiku semenjak aku di kamar mandi. Memang yang mau pergi siapa, sih? Kenapa jadi Ibu yang repot?

Aku melihat Pak Harun—supir pribadi Bu Karin sudah memanaskan mobil. Memang benar, bukan?! Ibu hanya membohongi aku! Tidak ada aku melihat Ibu Karin disini. Malah hanya mba Tati dengan batang sapu ditangannya.

"Mba, Bu Karin belum ada?"

"Bel—eh, itu Ibu."

Mba Tati menunjuk kearah belakangku dengan ibu jarinya. Menampilkan sosok yang perlahan mendekat dari dalam rumah. Aku heran, mengapa Bu Karin selalu tampil cantik. Baju biru muda dengan perpaduan celana dan hijab berwarna putih. Sangat masuk dengan kulitnya yang bersih meski dengan usia yang tidak lagi muda.

Wajah timur tengah yang dimilikinya memang sangat ayu jika dilihat dari segi manapun. Aku, sebagai wanita saja sangat senang melihat parasnya.

"Sudah? Berangkat yuk." Sapanya, sekilas mengalihkan atensinya dari ponsel untuk menatapku.

Selain cantik, Bu Karin juga sangat baik. Aku tidak tahu apa jadinya hidup keluargaku tanpa bantuannya. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa ialah orang yang menjadikan aku berada diposisi saat ini.

Sungguh, bila saja aku tidak mengenal Rafif, semua pasti akan menjadi lebih mudah bagiku. Tetapi sayangnya, cinta tidak bisa memilih. Hatiku sudah jatuh padanya, dan aku pun tidak mampu mengelak itu. Bahkan meski logika ku pun menjerit untuk menyudahinya.

Perjalanan kami dimulai. Mobil milik Bu Karin yang di kendarai oleh Pak Harun melaju perlahan. Menginggalkan rumah serta komplek yang terasa sepi. Aku duduk disisi Bu Karin yang saat ini masih sibuk pada ponselnya, dengan menatap jalan ketika keheningan merambat diam-diam didalam mobil yang kami tumpangi.

•><><><•

"Andrea, kamu tau apa makanan kesukaan Sam?"

Ditengah perjalanan, Bu Karin mulai membuka suara. Aku hanya diam dan tidak menjawab apapun. Mana aku tahu? Bertemu dengannya saja hanya bisa dihitung dengan jari.

"Kamu diem, artinya kamu gak tau."

Bu Karin menunduk untuk mengambil sesuatu didalam paper bag kertas cokelat dibawah. Mengambil sekotak tempat makan biru tua yang memiliki pengunci dimasing-masing sisi. Membukanya lalu menunjukkan kearahku. Apa?

"Tomat?"

Bu Karin tersenyum. Ia mengambil potongan tomat merah untuk dimasukkan kedalam mulutnya.

Memang apa enaknya tomat? Bukan kah asam, terasa mentah, dan ... bau?

"Hahaha ... Ekspresi kamu lucu De."

Aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Namun tanpa disengaja sudut bibirku ikut tertarik keatas melihat senyuman diwajah Bu Karin.

"Tomat, Bu?" Tanyaku, sekali lagi. Benar-benar memastikan bahwa Sam memang menyukainya. Dan, Bu Karin hanya menjawabnya dengan anggukkan ringan.

"Kamu pasti merasa aneh. Tapi jika nanti kamu sudah menjadi istrinya, pasti kamu juga akan ikut suka. Lalu akan memakannya setiap hari. Seperti Ibu. Hahaha ...." Perkataan Bu Karin selalu diakhiri dengan tawa halusnya.

"Ibu juga dulu gak suka. Tapi melihat ayah Sam yang selalu lahap memakan tomat-tomat dikulkas, Ibu jadi penasaran sendiri. Lalu suatu waktu Ibu nyobain. Awalnya memang terasa aneh. Tapi malah jadi terbiasa, karena ketika ayah Sam memakannya, Ibu juga ikut memakannya."

Jadi, makanan kesukaan Sam menurun dari ayahnya?

"Ya. Ayah Sam juga suka banget sama tomat." Seru Bu Karin seakan mendengar suara hatiku.

Suara tawa halus Bu Karin perlahan memudar. Digantikan dengan helaan napas yang dalam dan senyuman setipis mungkin.

"Ibu jadi kangen ayah Sam deh."

Perlahan, kesenangan yang datang tadi berubah menjadi keheningan ketika Ibu Karin mengucap kalimat tersebut. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ibu Karin memang terlihat baik-baik saja, namun bila dilihat dengan saksama lagi, terdapat kesedihan yang berusaha ia ditutupi oleh senyuman manis dibibirnya. Aku tahu itu.

•><><><•

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam, akhirnya mobil Bu Karin berhenti melaju. Pepohonan rindang banyak berdiri disepanjang jalan menuju tempat ini. Rumah sakit yang luasnya entah berapa ini terasa sepi sekali.

Aku dan Bu Karin turun dengan membawa beberapa tas berisi pakaian serta makanan. Sedang Pak Harun menunggu ditempat kami parkir. Awalnya Pak Harun menawarkan jasa untuk membawa tas-tas ini, namun Bu Karin menolaknya secara halus, lalu meminta Pak Harun untuk menunggu saja didalam mobil.

Ruang Kresna. Itu adalah tempat Sam saat ini. Ruang akut yang berisikan semua pasien baru. Maksudnya adalah ruang dimana orang dengan gangguan jiwa masih dalam masa-masanya terus kambuh atau bisa disebut mengamuk. Itu yang aku tahu dari cerita Bu Karin diperjalanan ini. Dikarenakan Sam adalah pasien baru, maka ia ditempatkan diruang tersebut.

"Bu, kalo aku boleh jujur, aku takut."

Ucapku ditengah perjalanan menuju ruang Kresna. Ibu Karin hanya tersenyum.

"Gak usah takut. Mereka juga sama seperti kita. Mereka hanya butuh dukungan penuh dari kita."

Aku tidak tahu mengapa Ibu Karin memilih memasukkan Sam ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Sam yang aku lihat terakhir kali baik-baik saja. Memang meski terkadang ia bersikap aneh, namun ia tidak melebihi batas seperti orang dengan gangguan jiwa yang lain. Disepanjang perjalanan menuju kamar Kresna ini, kepalaku dipenuhi oleh berbagai macam pemikiran seperti itu. Kenapa dan mengapa?

Seperti yang aku bilang, Rumah Sakit ini terlampau besar. Untuk menuju ke ruang kresna saja kita butuh berjalan beberapa menit. Dan aku baru mengetahuinya juga bahwa rumah sakit ini sungguh sangat berbeda seperti rumah sakit pada umumnya.

Jika di rumah sakit biasa, sebuah ruangan menjadi satu dengan ruangan yang lain dalam satu gedung. Namun rumah sakit jiwa ini tidak seperti itu. Ruangan ke ruangan lain berjarak cukup jauh. Dan mereka tidak berada digedung yang sama.

Lihat saja pohon-pohon yang menjulang tinggi disekitar tempat ini. Bukankah akan sangat seram jika berada dimalam hari?

"Assalamualaikum. Permisi."

Akhirnya kami sampai. Ibu Karin langsung memasuki Ruangan perawat. Sedang aku memilih duduk disebuah kursi yang berada didepan pintu masuk. Tempat ini sangat asri. Beberapa pohon rindang ditanam secara tersusun dilahan kosong yang tersedia, bersama rumput yang dipangkas rapih. Membuat suasana menjadi nyaman dan sejuk.

"Neng, neng. Bukain dong."

Aku terkejut mendengar sebuah suara. Ku arahkan perhatianku pada pintu disamping. Terdapat seorang lelaki yang tengah memerhatikan aku dari dalam. Astaga! Mengetkan saja!

"Hei. Awas, minggir."

Dalam sekali ucap lelaki yang mengintip dari dalam itu langsung pergi. Lalu aku seketika berdiri melihat kedatangannya dengan Bu Karin. Mungkin ia adalah perawat ruang kresna ini.

"Ayo, De."

Atensi ku teralihkan oleh suara Bu Karin. Ia menarikku untuk menuju sebuah ruang tidak jauh dari sini.

Ufuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang