15. Pertengkaran

5 2 0
                                    

Suara adzan berkumandang ketika aku baru melangkahkan kaki diteras rumah. Waktu terasa sangat cepat sekali, dan besok sudah pagi lagi.

"Dea tadi nunggu bapak?"

Aku menoleh kesamping, dimana Pak Bobi muncul dengan secangkir tehnya. Melipat tangan didepan dada dengan mengerucutkan bibirku, seperti orang sedang marah.

"Bapak kena macet karena nunggu rombongan semut lewat, ya?"

Pak Bobi malah tertawa. Untung saja isi dalam cangkir tehnya sudah habis setengah, kalau tidak bisa tumpah karena goyangan tubuhnya saat tertawa.

"Tadi tuh di pasar familly bapak ketemu temen lama. Biasa, ngobrol dulu. Jadi ya, lupa kalo mau anter kamu grooming." Belanya, tidak mau disalahkan.

Sudah. Mau bagaimana lagi? Semua sudah terlewat. Aku sudah terlanjur diantar oleh Tante Penny. Lalu Tante Penny sudah terlanjur tahu alamat rumahku. Sudah, sekarang sepertinya hanya tinggal menunggu waktu untuk semua rahasiaku terbongkar.

"Nih." Aku menyodorkan tas astronot hitam tersebut pada Pak Bobi. Malas menanggapi belaannya lagi terhadap dirinya. "Aku mau keatas."

Tanpa menunggu ucapannya lagi aku melenggang pergi. Biar saja Pak Bobi yang mengurus Jimmy, yang terpenting aku kan sudah membuatnya bersih seperti keinginan Bu Karin.

•><><><•

Pagi ini aku berangkat dengan menaiki angkutan umum seperti biasa. Bu Karin sudah berangkat lebih dulu, jadi aku tidak lagi pergi bersama. Tadi, sih, Pak Bobi menawarkan untuk mengantar. Mungkin ia merasa bersalah perihal kemarin. Tapi aku menolaknya. Biar aku naik angkutan umum saja. Sudah lama juga tidak menaikinya.

Angkutan umum yang aku naiki berhenti dipertigaan. Sekolahku didepan sana. Hanya tinggal menyebrang lalu sampai. Ketika aku berjalan untuk menuju gerbang sekolah, aku tidak sengaja melihat Motor Ninja hitam milik Rafif didepan sebuah warung. Tempat para senior menongkrong sebelum atau setelah sekolah usai.

Karena begitu penasaran akhirnya aku mematah arah, berbelok kekiri ketempat dimana motor Rafif terparkir. Tidak biasanya Rafif menongkrong. Apalagi dipagi hari seperti ini.

"Eh, Andre."

"Andrea, tolol!"

"Eh iya Andrea."

"Nyari Rafif?"

"Rafif! Dicariin nih ...."

Aku menatap bingung teman-teman Rafif yang kini sedang duduk dibangku kayu didepan warung. Sedikit melirik kearah dalam warung, memastikan apakah memang benar Rafif ada disin—

"An?"

Begitu terkejutnya aku. Sama seperti ia yang terkejut melihatku disini. Bukan, aku bukan terkejut karena keberadaannya, melainkan apa yang ia pegang ditangannya itu. Rokok?

"Kamu merokok?!"

"Hm."

Jawabnya enteng, hanya dengan bergumam. Aku bergerak lebih mendekat. Hendak menangkis tangannya dari benda berasap tersebut, namun ia malah bergerak mundur, menjauh dariku. Kenapa, Fif?

"Masih pagi, Fif."

"Memang kenapa?"

"Seharusnya aku yang bertanya gitu. Memang kenapa kamu merokok pagi-pagi gini? Bukannya kamu gak suka rokok?"

"Kamu tau apa soal aku?"

Hah? Bagaimana? Aku masih belum memahami apa yang saat ini sedang aku lihat dan aku dengar. Kenapa kamu seperti ini? Kenapa dalam sekejap kamu berubah bak orang asing seperti ini?

Ufuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang