3. Mall

8 5 0
                                    

Aku sungguh tidak mengerti. Dari nadanya berbicara, hingga meminta tolong kepadaku. Ia bersikap seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal tiga jam yang lalu seisi rumah dibuat panik karenanya. Mendadak menyeburkan diri, ah tidak, menenggelamkan diri mungkin lebih tepatnya.

Enam bulan memang dikatakan cukup lama. Namun baru kali ini lelaki itu mengajak ku berbicara. Ya, sejauh pertunangan kami ini, ia tidak pernah berbincang kepadaku. Jangankan berbincang, bertemu pun bisa dihitung dengan jari. Aku memang tinggal dirumahnya. Tetapi ia tidak pernah terlihat. Hubungan aneh kami terus berlanjut hingga kini. Hingga saat ia mengajakku berbicara, rasanya sangat ... canggung.

Aku sampai lupa kalau belum perkenalan. Namaku Andrea Adiputri. Orang-orang biasa menyebut Dea atau An seperti Rafif. Kadang ada juga yang memanggil Andre, tapi sih, itu menyebalkan sekali. Memang aku lelaki dipanggil dengan nama itu!?

Usiaku saat ini sudah menginjak 15 tahun, sudah kelas 1 sma. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Anaya, nama adikku yang sudah pernah aku sebutkan. Usianya baru menginjak 4 tahun.

Aku, Anaya dan Ibu sudah satu tahun lamanya tinggal di rumah ini. Tepatnya rumah milik majikan tempat ibu bekerja. Jangan meminta aku untuk menjelaskan kenapa, karena aku sudah muak melakukannya. Tunggu saja, nanti juga akan tahu sendiri bagaimana bisa kami berada disini.

Aku sungguh membenci semua yang ada disini. Hal itu termasuk juga dengan lelaki tadi. Sammy namanya. Sammy Alatas. Tetapi aku hanyalah seorang anak kecil yang baru beranjak remaja. Menentang semua ketidakadilan ini rasanya seperti dihiraukan. Seakan mereka semua tidak mau tahu bagaimana perasaanku menjalaninya. Yang mereka tahu, keinginan mereka akhirnya terwujud.

Aku berhasil mencapai lantai dua rumah. Bergegas memasuki kamar. Takut-takut lelaki itu mengikuti dan tiba-tiba berada didekatku seperti tadi.

Cukup tidak tahu diri. Aku akui itu. Tinggal dirumah ini dengan segala fasilitas yang ada. Aku tahu tidak seharusnya aku bersikap seperti tadi. Lelaki itu juga pasti bingung dan merasa bahwa aku tidak menyukainya. Memang benar. Aku ingin ia tahu bahwa aku tidak menyukainya. Aku ingin ia tahu bahwa aku tidak menginginkan ikatan ini. Aku juga tidak memaksa meminta semua. Meminta kehidupan yang aku jalani saat ini. Semua karena kemauan Ibu. Kemauan Ibu yang seakan menjual kehidupan putrinya.

Pukul setengah sebelas. Aku harus tidur. Memikirkan takdir yang aku jalani saat ini memang tidak akan ada habisnya.

•><><><•

Kurang dari lima menit. Sial. Terlambat bangun membuatku hampir telat. Beruntung angkutan umum tidak berhenti lama menunggu penumpang. Aku berjalan cepat. Bel baru saja berbunyi. Namun tidak sedikit siswa yang masih berkeliaran diluar. Aku menangkap sesuatu diantaranya. Disana pun seseorang itu sepertinya melihat kearahku.

Rafif. Semakin aku ingin bertemu denganmu, semakin besar rasa bersalah dalam hatiku. Aku tidak tidak bisa menghentikan semua. Namun aku juga tidak bisa mengabaikan kamu. Apa yang harus aku lakukan?

"AN ...."

Aku harus cepat mencapai kelas. Beri aku waktu hari ini untuk memikirkan semua. Sebelum aku benar-benar jatuh cinta kepadamu.

Semakin mempercepat langkah. Aku terus mengabaikan panggilan Rafif yang masih terdengar dibelakang. Hingga suaranya tidak lagi terdengar ketika aku berhasil memasuki kelas.

"Tumben amat telat de."

Sapaan Rima—teman sebangku ku— dipagi hari yang terasa kelabu ini.

"Pacarmu noh, nyari dari tadi."

"Kita gak pacaran."

"Jadi, hubungan tanpa status?"

Aku menggeleng jengkel. Bisa tidak berhenti membahas Rafif?

Ufuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang