14. Petshop

6 4 0
                                    

"Hati-hati, ya." Ucapku dengan melambai pada Rafif. Lelaki itu tidak menanggapi, lalu pergi setelah memberikan sedikit senyumannya.

Rafif, kamu pasti sangat ingin mengetahui tentang aku lebih dalam. Tetapi aku sangat meminta maaf, aku tidak bisa melakukan hal itu. Aku tidak bisa menceritakan apapun, selain rasa kasih sayangku. Aku tidak bisa memberitahu kamu apa saja yang sudah aku lalui selama ini. Bila memang saatnya tiba nanti, aku pasti akan memberitahu kamu. Semua tentang aku dan kehidupan yang aku jalani ini.

Pertanyaan yang kamu tujukan tadi membuatku tersadar, bahwa ternyata kasih sayang ini sudah terlalu dalam untuk kamu. Bahkan jika disandingkan dengan Ibuku sendiri, aku tidak bisa memilih antara kamu dan Ibu. Kalian sama-sama orang yang penting didalam kehidupanku.

Lagi dan lagi, rumah orange ini membuatku sangat muak dengan keberadaannya. Aku tahu tidak seharusnya aku sebenci ini. Tetapi mengingat kembali bagaimana perjalanan cintaku terhambat karenanya, aku tidak mampu melupakan kebencian ini.

"Dea, ada pelajaran tambahan? Sore banget pulangnya."

Suara Ibu menyambut kedatanganku di dapur. Tidak seperti biasanya, kini Ibu tidak lagi mengecek cincin dijemariku. Padahal, aku sudah terbiasa dengan itu.

"Ya." Jawabku, malas.

"Jadi, kan? Grooming Jimmy?"

Aku mengangguk singkat. "Aku ganti baju dulu."

Tanpa menunggu jawabannya lagi, aku segera menaiki anak tangga. Masih pukul setengah empat, masih ada waktu untuk datang ke pet shop nanti. Aku mau mendinginkan kepala dulu.

•><><><•

Didepan satpam komplek aku menunggu jemputan. Biasanya aku diantar pak Bobi dengan motor beat hitam miliknya. Karena pak Bobi tidak ada, jadi aku memesan ojek online. Meskipun dekat dengan komplek, kalau aku disuruh berjalan menuju pet shop, aku tidak akan mau. Capek tahu. Menggendong Jimmy dipunggung menggunakan tas astronot sama saja membawa buku-buku pelajaran.

Pak Bobi katanya sih sedang membeli sekam dan pupuk sejak setengah empat. Namun sampai saat ini belum juga kembali. Entah dimana ia membelinya. Atau mungkin ia terjebak macet, karena rombongan semut menyebrang. Bisa jadi, bapak jenggot satu itu kan tidak tega menyakiti hewan.

"Mba Andrea?"

"Iya, pak."

"Red pet shop Pejuang, ya?"

"Yap, bener."

Motor supra x 125 bapak ojek online ini perlahan melaju. Melintasi daerah pejuang yang sedikit mengalami kemacetan karena pengendara mobil. Seperti biasa, sekarang kan jamnya pulang kantor.

"Mau grooming, mba?"

"Iya."

"Kucing apa?"

"Hmm ... apa ya pak. Saya kurang tau. Bukan punya saya soalnya. Hehe."

Aduh! Jangan tanya persoalan kucing dengan ku deh. Aku tidak tahu termasuk kucing apa si Jimmy ini. Bulunya memang tebal dan berwarna putih. Namun masih terlihat sama seperti kucing pada umumnya.

"Eh, begitu." Bapak ojek mengangguk. "Saya juga punya kucing mba, di rumah. Kucing kampung, biasa. Kadang dia dateng sendiri, kadang dia ngilang kemana tau. Ya, namanya bukan kucing piaraan."

"Tapi itu bukan punya orang, kan, pak?"

"Gatau deh, tapi kayaknya sih, gak. Orang dekil."

Aku juga pernah menemukan kucing seperti itu di rumah ku yang dulu. Terkadang ia datang mengeong, menunggu didepan teras sampai akhirnya pergi kembali karena tidak mendapat apapun. Aku sedikit menyesal karena tidak berbuat baik kepadanya. Padahal guru mengajiku mengatakan bahwa kucing bisa membuat kita masuk surga, meskipun kucing itu sendiri tidak bisa memasukinya. Apakah memang takdir sekejam itu?

Ufuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang