6: The PR Game

307 58 18
                                    

Jeff menyusuri jalan keluar dari klub dengan langkah yang sempoyongan. Musik masih menggema dari dalam klub malam di Miami yang baru saja ia tinggalkan dan wanita yang bersandar di bahunya terus mengoceh sambil tertawa, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mobil yang lewat. Jeff sudah cukup mabuk untuk tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Malam itu seharusnya malam bersenang-senang, lepas dari tekanan, lepas dari sorotan. Tapi tentu saja, di dunia seperti miliknya, tidak ada yang benar-benar bisa ia lepas.

Beberapa hari kemudian, foto-foto Jeff yang keluar dari klub bersama wanita itu beredar di media sosial. Akun-akun gosip berlomba-lomba membahasnya. Judul-judul seperti "Jeff Gautama Caught Wasted in Miami Club" atau "Party Boy Jeff with Mystery Woman in the Latest Night Out" langsung menarik perhatian banyak orang. Komentar-komentar bermunculan dengan cepat: ada yang memujanya, tapi tidak sedikit yang menyayangkan perilakunya. Salah satu hal yang menjadi fokus banyak orang adalah bagaimana Jeff seakan tidak pernah lepas dari kebiasaan pesta, minuman keras, dan wanita.

Yang paling parah, sponsor besar timnya tidak terlalu suka dengan hal ini. Sebagai pembalap F1 yang sangat dikenal, Jeff punya tanggung jawab besar menjaga citra baik. Tapi, foto-foto mabuknya sangat bertolak belakang dengan image elegan dan profesional yang diinginkan oleh sponsor.

Tidak lama setelah foto-foto itu viral, Addie, tim PR-nya langsung menemui Jeff di hotelnya dan membahas berita yang beredar yang membuat semua timnya dibuat sakit kepala.

"Jeff, you know what we're here to talk about," ujar Addie, nadanya tegas, tapi tetap tenang.

Jeff, dengan sikap yang cenderung santai dan sedikit terkesan tak peduli, mengangkat bahu. "It's just a night out. What's the big deal, Addie? Gue selalu finish di podium. Kemarin gue P2. Orang-orang terlalu peduli sama kehidupan pribadi gue."

Addie mendengus pelan, menatap Jeff seolah-olah dia baru saja mengatakan sesuatu yang sangat naif. "Jeff, being an F1 driver isn't just about skill or performance. I've said this before, and I'll say it again—everything you do matters. Every move, every appearance, every night out like this."

Jeff bersandar di kursinya, melipat tangan di dadanya. "Tapi gue udah membuktikan diri gue di trek. Lo lihat sendiri, Adeline. Podium terus, I got the WDC title. It has nothing to do with my life outside of the track. Kenapa lo atau sponsor gue harus peduli sama apa yang gue lakukan di luar trek?"

Addie menghela napas panjang, mencoba menahan frustrasinya. "Karena, Jeff, ini bukan cuma soal lo balapan. Lo punya sponsor yang menginvestasikan jutaan dolar ke dalam diri lo, into your brand. Mereka nggak cuma bayar lo buat menang di trek, tapi juga buat jadi wajah yang mewakili brand mereka. If you keep pulling these stunts, mereka nggak akan mau asosiasikan diri mereka sama lo. Kalau mereka cabut, lo bisa kehilangan seat lo. Kalau kayak gini lo nggak bisa membuktikan ke bokap lo kalau lo bisa lebih baik dari dia,"

Perkataan itu membuat Jeff sedikit terdiam. Ini bukan pertama kalinya Addie menyinggung masalah ini, tapi kali ini nadanya lebih serius. Jeff tahu bahwa di balik sikap santai dan senyuman ramah Addie, ada ancaman nyata. Jika sponsor besar mulai mundur, itu bukan hanya masalah citra, tapi juga tentang kelangsungan kariernya di F1.

"Jadi gue harus gimana? Jadi robot yang hidupnya diatur sama sponsor?" kata Jeff akhirnya, sedikit sinis.

Addie menggeleng pelan. "No, Jeff. Lo nggak perlu jadi robot. Tapi lo juga nggak bisa terus-terusan kayak gini. If you really want to step out of your father's shadow and make a name for yourself, lo harus tunjukkin kalau lo bisa lebih dewasa. Show that you can handle not just the racing, but everything that comes with being an F1 driver."

Jeff memandang ke arah jendela, otaknya mulai mencerna apa yang dikatakan Addie. Ia tahu apa yang dikatakan Addie ada benarnya, tapi sebagian dari dirinya merasa sudah cukup membuktikan diri. Dia merasa cukup kuat di lintasan, cukup cepat untuk menjadi yang terbaik, jadi kenapa dunia luar harus mengganggunya?

Tapi, dia juga tahu bahwa dunia F1 tidak hanya tentang siapa yang tercepat di lintasan. Itu juga tentang siapa yang bisa bertahan di dalam permainan politik, sponsor, dan citra publik. Ayahnya sudah memperingatkannya tentang hal ini sejak awal. Tapi, mungkin inilah waktunya bagi Jeff untuk keluar dari bayang-bayang sang ayah dan menunjukkan bahwa ia bisa bermain sesuai aturannya sendiri.

"Oke," Jeff akhirnya berkata, mengakui bahwa ia tidak punya pilihan selain mendengarkan tim PR-nya. "Jadi, apa yang harus gue lakuin? Lo udah tahu masalahnya. Gue nggak mau kehilangan seat gue, tapi gue juga nggak bisa terus-terusan kayak gini."

Addie menatapnya dengan tatapan serius, lalu tersenyum tipis, seolah-olah sudah punya jawaban yang ia pikirkan sejak lama. "Fake dating."

Jeff mengerutkan dahi. "What?"

"Listen, this might sound crazy, but hear me out," Addie menjelaskan. "Public loves romance. Terutama fans F1. Kalau mereka lihat lo punya hubungan yang stabil, yang bikin lo terlihat lebih... grounded, itu akan bantu citra lo. Bahkan bisa meredam semua berita negatif tentang lo. Semua orang akan fokus ke hubungan lo, bukan ke kebiasaan lo party."

Jeff terdiam sejenak, mencerna saran Addie. "Lo serius? Gue harus pura-pura pacaran biar sponsor nggak cabut?"

Addie mengangguk. "It's more common than you think. Banyak pembalap yang udah lakuin ini. Dan percayalah, ini bisa jadi jalan keluar lo. Plus, kalau lo mainin ini dengan benar, lo bisa keluar dari semua gosip jelek ini dengan citra yang lebih baik."

Jeff terdiam lagi. Dia bukan tipe yang suka pura-pura, tapi jika ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga kariernya tetap aman, mungkin ini langkah yang harus diambil.

"Okay, let's do this," katanya akhirnya. "Tapi lo harus pastiin ini berhasil."

Addie tersenyum lebar. "Nggak usah khawatir, Jeff. Gue punya beberapa kandidat tentang siapa yang cocok buat lo."

"I know someone that would fit this role, Addie." kata Jeff membuat Addie sedikit terkejut dan tertarik dengan nama siapa yang akan Jeff sebutkan setelahnya.

"Kalau lo mau bilang cewek-cewek supermodel lo itu, I'll have to take a pass on that."

Jeff menggeleng. "Bukan."

"Siapa?"

"Michelle Jane. Match nggak sama kriteria lo?" tanya Jeff menaikan satu alisnya. Nama MJ langsung terlintas di otak Jeff ketika Addie bicara tentang hubungan palsu. Entah karena Elisha yang menyebutkan nama perempuan itu di LIV Miami atau karena dia memang mencari lebih banyak drama di hidupnya.

Addie menatap Jeff tidak percaya dan mendekat ke arahnya. "That Michelle Jane? Kakaknya Oliver teammate lo? Mantannya Arlo?"

Jeff mengangguk dan tersenyum. "Gimana menurut lo?"

Dengan wajah bingungnya, Addie mengangguk setuju. "Ya... pilihan yang bagus sih. Tapi bukannya drama MJ dan Arlo masih santer-santernya?"

"Bukannya itu malah bagus? Kalau MJ sama gue dan gue memperlakukan dia sebagaimana mestinya dia diperlakukan, publik pasti akan jatuh cinta dengan persona gue."

"But they'll be hating on Arlo, Jeff." Addie mencoba mengingatkan.

Jeff mengangkat bahu. "That's the point."

Addie menggelengkan kepala, heran dengan hubungan Jeff dan Arlo yang tidak pernah akur. Padahal dulu sekali, Addie tahu kalau Jeff dan Arlo berteman sejak zaman karting bersama dengan Elisha tapi sampai saat ini Addie pun tidak mengetahui apa yang membuat mereka saling bersaing–bahkan diluar balapan pun. "You're making someone a villain in the story, Jeff."

Jeff menggeleng. "His action did that to him."

"Lo ada masalah apa sih sama Arlo?"

Jeff menggeleng dan mengalihkan topik, "Kapan kita mulai permainan lo ini, Ads?"

50 vote, 25 comments for next update 💋🤍

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rule Number FiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang