12. Our Last

36 2 0
                                    

Malam itu, di tempat evakuasi, Yohan merasa sulit untuk beristirahat.

Dia diinstruksikan oleh panitia evakuasi bahwa para lelaki harus banyak berjaga di area tersebut. Ketegangan semakin meningkat seiring dengan kabar bahwa tentara Jepang akan segera memasuki lebih banyak daerah, selain Batavia.

Di dalam tenda, Yohan dan Agnest berusaha untuk menciptakan suasana nyaman. "Kamu nggak apa-apa, sendirian di tenda?" tanya Yohan, sambil memakai jaket sebelum berjaga.

"Yakin, nggak apa-apa kok," jawab Agnest, membantu Yohan memakaikan jaket itu.

Untungnya, beberapa menit setelah mendirikan tenda, Yohan mengumpulkan kayu-kayu di sekitar lapangan untuk membuat api unggun. Ia juga menjadikan api unggun itu sebagai kompor darurat.

Meski peralatan masak mereka masih meminjam dari tenda sebelah, Yohan merasa ini lebih praktis daripada harus menggunakan dapur umum yang selalu ramai.

"Ini, kamu minum air hangat," ucap Yohan, menuangkan air yang baru dimasak ke dalam cangkir untuk Agnest.

Agnest meneguk air hangat itu dengan tenang, sesekali menggosok telapak tangannya di cangkir yang terkena air hangat tadi.

“Kok aku takut ya, Jepang cepat banget tiba-tiba ke sini?” Agnest melamun.

“Aman, kamu berdoa aja, Nest,” jawab Yohan, mencubit lembut dagu Agnest.

Tadinya, Yohan berniat untuk keluar, tetapi melihat Agnest yang gelisah membuatnya ragu untuk pergi.

“Seenggaknya kita bisa saling jaga sama warga lain. Di sini kita banyak,” ucapnya, sembari memperhatikan keadaan di luar tenda.

Agnest tanpa ragu menyenderkan kepalanya di bahu Yohan, masih merenungkan kabar orang tuanya di Batavia.

“Kalau ada Papa dan Mama, ada Ibu kamu, aku pasti merasa baik-baik saja,” tuturnya pelan.

Yohan merasakan beban yang berat di dadanya. Dia tidak tahu di mana ibunya, bagaimana keadaannya. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa orang tua Agnest mungkin sudah tiada. Ia hanya bisa menghela napas, berusaha menjaga rahasia itu sekuat tenaga.

“Mau jalan-jalan keluar tenda, nggak?” tawar Yohan.

“Mau, kamu mau nemenin?” tanya Agnest dengan tatapan sedikit berbinar.

“Boleh, daripada kamu sendiri terus sedih, aku jadi nggak fokus ronda,” jawab Yohan, berusaha membujuk Agnest.

Akhirnya, mereka berdua melangkah keluar tenda. Suasana di lapangan ramai, dan semakin malam, suara-suara menjadi semakin menggema. Mereka berjalan menyusuri area evakuasi sambil berpegangan tangan, sebuah pengalaman baru yang membuat keduanya gugup sekaligus bahagia.

“Liat deh, ada nyanyi-nyanyi sama api unggun di sana,” tunjuk Agnest, semangat menarik Yohan untuk bergabung.

Dengan riang, mereka berkumpul bersama warga lain, menyanyi untuk menghilangkan stres dan ketakutan di malam yang kelam itu.

“Seneng ya kamu?” tanya Yohan, menoleh ke samping untuk melihat senyum yang menghiasi wajah Agnest ketika ia menikmati suasana.

“Iya, aku senang kalau mereka juga senang,” jawab Agnest, tertawa kecil.

Mereka berpegangan tangan semakin erat, seperti pasangan suami istri baru yang merasakan manisnya cinta.

Malam itu, di tengah kegelapan dan ketegangan, Yohan dan Agnest menemukan sedikit cahaya harapan dalam kebersamaan mereka.

🍂🍂🍂

Setelah puas bermain di luar tenda, Yohan mengantar Agnest kembali ke tempat tidur mereka.

Second Life | Jaehyun X Karina X JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang