O6. My Efforts For You

108 9 2
                                    

Fakta pahit tentang kematian orang tua Agnest membawanya tertidur setelah tangisannya tak lagi mampu ia tahan.

Kesedihan yang begitu mendalam menguras seluruh tenaganya. Meski kepergian mereka terjadi 83 tahun yang lalu, luka dari duka itu baru terkuak sekarang, seakan baru kemarin ia merasakan kepergian yang menghancurkan hatinya.

Rasa sakit itu bagai goresan yang terus menganga, tak kunjung mengering, selalu terasa pedih.

Buku yang tadi berada di genggamannya kini terjatuh di lantai. Di tengah malam yang sunyi, Agnest terbangun, kesadarannya masih samar di antara kenyataan dan mimpi. Dari pintu balkon, cahaya bulan yang bulat sempurna menyinari kamarnya.

Cahayanya terang, memantulkan keheningan malam yang tenang. Namun, pemandangan itu tidak menarik perhatian Agnest sepenuhnya. Sosok yang berdiri di depan pintu balkon, tinggi dan familiar, sedang memunggunginya dan lebih menarik perhatiannya.

"Jangan nangis terus, Agnest," suara itu terdengar lembut, tetapi tegas. Lelaki itu bahkan tak menoleh.

"Aku tau semuanya berat buat kamu, tapi percayalah. . . kamu gak akan sendirian."

Suara yang akrab itu menggetarkan hati Agnest. Dengan tiba-tiba, ia tersentak dari kantuknya, kesadarannya mendadak terjaga penuh. Suara itu, suara yang sejak lama ia rindukan.

"Yohan?" bisiknya tak percaya.

"Maaf, Agnest, aku gak bisa menjaga kamu seperti yang seharusnya. Aku bahkan gagal menepati janji kita untuk hidup bahagia bersama," sosok Yohan berbalik perlahan, menatap Agnest dengan senyum lembut yang sangat ia kenal.

Sama seperti dulu. Dia adalah Yohan yang selalu ada dalam ingatannya. Gaya rambutnya yang rapi, seragam militernya yang gagah, dan senyum itu—senyum dengan lesung pipi yang pernah membuatnya jatuh cinta.

"Kamu. . . Yohan?" suara Agnest bergetar. Tubuhnya terasa kaku oleh emosi yang tiba-tiba membanjirinya.

Yohan berjalan perlahan mendekatinya, langkahnya tenang dan mantap. Dia berdiri di tepi ranjang, tempat Agnest masih terbaring dengan wajah yang tercampur antara keterkejutan dan kerinduan.

"Kamu gak perlu takut lagi, Agnest. Semua yang kamu takutkan, semua yang membuat kamu merasa tersesat di dunia ini, gak akan ada yang menyakiti kamu lagi. Di sini, kamu jauh lebih aman daripada yang kamu bayangkan."

Agnest menatapnya dengan tatapan yang sarat dengan perasaan, hatinya penuh dengan pertanyaan yang mendesak keluar. "Kenapa kamu tinggalin aku sendiri, Yohan? Kenapa kamu manggil aku untuk hidup lagi? hanya untuk liat aku terperangkap dalam kesendirian ini?"

"Bahkan sekarang rasa duka aku bertambah, karena aku udah kehilangan orang tuaku selamanya."

"Kamu hidup di sini bukan untuk merasakan duka, Agnest. Ada banyak alasan yang lebih besar—salah satunya untuk bertemu dengan cinta sejati kamu. Laki-laki yang memang ditakdirkan untuk kamu."

"Cinta sejati? Aku gak butuh itu, Yohan. Hidup aku sekarang udah hancur. Kamu udah punya kehidupanmu sendiri, tapi aku tetap terjebak sama cinta lamaku, sama orang tuaku."

"Selalu ada orang yang menunggu dengan tulus, Agnest. Kalau kamu gak pernah bertemu aku, mungkin kamu juga gak akan pernah menemukan dia. Pertemuan kita hanya bagian kecil dari kisah besar hidup kamu."

Agnest terdiam, hatinya penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian. "Siapa orang itu? Aku gak peduli. Aku cuma ingin kamu, Yohan. Aku cuma ingin kamu dan orang tuaku kembali lagi ke aku. Mulai semuanya dari awal lagi?"

Yohan tersenyum lembut, tatapannya penuh dengan kasih sayang dan pengertian. "Keturunanku, Agnest. Dia adalah cinta terakhir kamu. Alfred, dia anak yang baik. Aku bahagia karena akhirnya kamu bisa bertemu dia. Aku dan orang tua kamu hanya masa lalu, tapi kamu punya masa depan dengan Alfred."

Second Life | Jaehyun X Karina X JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang