O2. Happy Birthday, A

43 6 0
                                    

Alfred telah tiba di Jakarta, dijemput oleh kedua orang tuanya. Setelah empat tahun menetap di Belanda, akhirnya ia kembali ke rumah yang selalu dirindukannya.

Hari ini, untuk pertama kalinya sejak keberangkatannya, Alfred akan bertemu lagi dengan Agnest. Terakhir kali mereka bertemu adalah saat sebelum Alfred pergi ke Belanda, dan saat itu, Agnest juga masih tertidur.

"Gimana keadaan Agnest, Ma?" tanya Daniel di tengah-tengah sarapan, sambil meletakkan garpunya di atas piring.

"Iya nih, Mama baru aja dikabarin sama perawat. Katanya Agnest sering nangis, sampai bentak-bentak perawat di sana. Dia juga belum mau makan," jelas Mariska, seraya menatap meja, seolah pikirannya mengembara ke rumah sakit.

Albert dan Alfred mendengarkan percakapan itu dengan serius, sementara mereka tetap menyuap sarapan.

"Dia pasti kaget banget ya, Ma? Dia juga pasti nyariin Kakek," tambah Albert, mengunyah perlahan, sesekali menatap piringnya.

Mariska mengangguk pelan. Wajahnya menunjukkan kelelahan, bukan karena fisik, tapi lebih karena pikiran.

"Gimana ya, caranya kita kasih pengertian ke dia soal semua situasi ini?" ia bergantian memandang suami dan kedua anaknya, mencari jawaban di balik tatapan mereka.

"Baru dikasih tahu kalau sekarang tahun 2024 aja dia udah semarah itu. Apalagi kalau kita bilang ayah Yohan udah meninggal?" ujar Daniel, nadanya lebih berat, hampir seperti bergumam pada dirinya sendiri.

Hari ini adalah hari ulang tahun Agnest. Rencananya, Mariska dan Daniel akan mengajak Alfred menjenguk Agnest di rumah sakit. Alfred yang tadinya sudah percaya diri membawa hadiah untuknya, sekarang mulai merasa ragu.

"Fred," panggil Mariska, mengalihkan perhatiannya dari kegelisahan.

"Iya, Ma?" Alfred langsung tersadar, lamunan yang tadinya memenuhi kepalanya seketika buyar.

"Nanti kalau kita diizinkan ketemu Agnest, kamu jangan bilang kalau kamu calon suaminya ya?" Mariska memperingatkan anak bungsunya dengan lembut, "Nanti dia makin bingung."

Alfred mengangguk paham. Ia memang tak berencana mendekati Agnest dengan agresif, meskipun sudah lama menaruh hati padanya.

Ada alasan tersendiri mengapa Agnest akan dijodohkan dengan Alfred, bukan dengan Albert, kakaknya, atau Stefan.

(Flashback)

Yohanes menggandeng Albert dan Alfred kecil, berjalan menuju laboratorium eternal machine.

"Kakek, ini ngapain?" tanya si sulung celingukan.

"Kita sekarang ada di laboratorium, liat tuh, ada yang lagi bobo disana," tunjuk Yohan pada Agnest dalam tabung.

Albert dan Alfred mengerjapkan matanya, melihat orang yang tidur dalam sebuah tabung, tanpa menyadari bahwa ia adalah tubuh yang mati. Mereka juga tak paham, apa fungsi dan tujuan wanita itu tidur disana.

"Itu siapa, Kek?" Albert yang paling bawel, lebih banyak tanya dibanding Alfred.

Yohan mengusap rambut kedua cucunya, membiarkan cucu laki-lakinya itu terus bertanya tak ada habisnya.

"Itu namanya Agnest, Agnest Widjaja. Cantik ya?" tanya Yohan pada dua cucunya bergantian.

Alfred memandangi Agnest, melihatnya dari atas hingga kebawah, "Cantik, Kek. Tapi masih cantikan Mama," ujarnya.

Yohan tertawa pelan, ia senang jika cucunya itu sangat menyayangi anaknya, Mariska, yang memang sangat cantik dan mirip dirinya.

Tapi lama kelamaan, Alfred yang notabene masih anak-anak, sudah mulai muncul minat dalam hal teknologi.

Second Life | Jaehyun X Karina X JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang