O4. Dark Past

113 12 0
                                    

Yohan berdiri tegak di depan Gedung Jenderal Gubernur, meskipun teriakan "pengkhianat" dari kerumunan demonstran menghujam telinganya. Suara-suara itu bukan sekadar kata, melainkan cambuk bagi harga dirinya sebagai pribumi yang memilih untuk bergabung dengan militer Hindia Belanda.

Amarah massa yang bergejolak semakin memanas, dan di tengah-tengah itu, Yohan melihat wajah-wajah yang ia kenal — wajah orang-orang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, orang-orang yang dulu berbagi mimpi tentang kemerdekaan dan kebebasan. Tapi kini, mereka melihatnya sebagai pengkhianat, seorang yang telah menjual diri pada penjajah.

Ayahnya, Pak Hary, berdiri di barisan depan, matanya penuh kemarahan dan kekecewaan yang tak terucapkan. Tatapan itu lebih menyakitkan dari teriakan mana pun. Yohan tahu, ayahnya tidak pernah setuju dengan keputusan yang ia buat. Bagi Pak Hary, bekerja untuk Belanda berarti melupakan harga diri dan martabat sebagai bangsa.

Tapi Yohan punya alasan. Bergabung dengan militer adalah pilihannya untuk bertahan hidup, untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Namun di saat-saat seperti ini, dia bertanya-tanya, apakah keputusan itu benar? Apakah dia memang pengkhianat seperti yang mereka tuduhkan?

Yohan menggenggam senjatanya lebih erat, namun di balik seragamnya, hatinya mulai goyah.

Pak Hary berdiri di atas tumpukan batu yang berfungsi sebagai panggung darurat. Dengan suara lantang, ia mengacungkan tangan ke udara, menyulut semangat para demonstran yang berkumpul di depannya.

“Kita geruduk! Ayo semua, geruduk gedungnya!” teriaknya keras, membuat massa di bawahnya bersorak penuh amarah.

Puluhan orang dengan wajah penuh tekad dan kebencian berteriak lantang, siap untuk melawan pemerintah kolonial yang mereka anggap telah menindas rakyat. Di antara mereka, beberapa mengangkat senjata sederhana, sementara yang lain hanya membawa batu atau kayu, tetapi semangat mereka tak terbendung.

“Sekarang atau tidak sama sekali! Ini saatnya kita bertindak! Ayo maju! Serang!” Pak Hary kembali berseru, kali ini lebih keras. Massa bergerak maju, memenuhi jalan menuju Gedung Jenderal Gubernur, dengan langkah-langkah berat yang menggema di antara dinding-dinding bangunan kota.

Di sisi lain, Yohan berdiri tegap bersama rekan-rekannya, membentuk barisan penjaga di depan gedung tersebut. Jantungnya berdegup kencang, tangannya menggenggam erat senjata yang disiapkan di depannya. Wajahnya tegang, bukan hanya karena menghadapi kerumunan yang penuh amarah, tapi juga karena ia tahu—di tengah-tengah massa itu, ada ayahnya sendiri.

Pak Hary, pemimpin pemberontakan, adalah ayahnya.

"Maak je klaar!" teriak sang pemimpin barisan siaga.
(Bersiap!)

Ujung wajah senjata itu kini berubah posisi, menghadap ke arah demonstran yang berlari ke arah mereka. Tangan Yohan semakin bergetar, ini benar-benar diluar dugaan, bahkan sekarang tubuhnya terasa bercucuran keringat dingin yang sangat dahsyat.

"Tolong ayah, jangan kesini . ." pinta sang anak kepada ayahnya yang berlari dengan wajah penuh amarah.

"Vuur!"
(Tembak!)

Suara tembakan keluar, disertai dengan suara jeritan para kelompok pemberontak. Pemandangan ini seperti neraka, dan sialnya, posisi Pak Hary bertepatan dengan ujung senjata api milik putranya sendiri.

Lebih sialnya lagi, Pak Hary masih saja mendekat, seakan tak melihat saudara-saudaranya yang jauh berguguran, mati sia-sia. Jari telunjuk Yohan berat untuk memegang pelatuk, ia tak sadar bahwa matanya sudah dipenuhi dengan air mata. 

Pak Hary yang berdiri di depannya, adalah pendiri dan ketua kelompok pemberontak Hindia Belanda. Tak ada wajah belas kasih dalam matanya, matanya melotot, bahkan urat lehernya mengeras. Entah ia marah karena muak harga diri bangsanya diinjak, atau muak melihat anak kandungnya justru bergabung dengan Hindia Belanda.

Second Life | Jaehyun X Karina X JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang