O5. The Old Memories

32 4 0
                                    

Mulai sekarang, Alfred sudah meminta izin pada keluarganya untuk menetap di sini. Namun, ia juga akan selalu berkabar dengan keluarganya tentang kondisi Agnest.

"Iya iya, pokoknya Mama tenang aja. Disini kan banyak asisten, Agnest aman kok," ucap Alfred di telfon dengan Mariska.

Waktu hampir menunjukkan jam sebelas malam, suasana rumah mulai tenang, hanya terdengar suara samar dari TV yang menyala di ruang tamu, namun tidak ada yang benar-benar menontonnya.

Alfred duduk di sofa, matanya terpaku pada layar laptop yang terbuka di depannya, sibuk belajar tentang perusahaan.

"Siapa sih yang bikin materi gini? Terlalu banyak gini mana bisa ngerti coba," keluh Alfred, tapi tetap saja dibaca.

Lampu ruangan memberikan cahaya hangat yang menyinari wajahnya, sementara keheningan malam semakin terasa berat.

"Mas Alfred," suara lembut Agnest tiba-tiba memecah kesunyian. Ia akhirnya keluar dari kamarnya setelah beberapa jam mengurung diri.

Alfred menoleh, melihat Agnest yang berdiri canggung di dekat sofa, tampak ragu untuk mendekat. "Iya?" ucapnya sambil tersenyum tipis. "Silahkan duduk," ia mempersilahkan, tangannya menunjuk ke arah sofa di depannya.

Agnest perlahan-lahan duduk di sofa yang berbeda, pandangannya beralih ke meja kaca di hadapannya, mengamati benda-benda elektronik yang ada di atasnya. Ia tampak bingung dan sedikit terintimidasi dengan semua teknologi modern ini.

"Ini namanya laptop dan ponsel," Alfred tiba-tiba berkata, melihat kebingungan di wajah Agnest dan memutuskan untuk memperkenalkan benda-benda itu tanpa menunggu pertanyaan.

"Laptop dan ponsel?" Agnest memiringkan kepalanya, masih belum mengerti, matanya terus memandangi dua benda asing itu.

"Yap, laptop ini kayak buku, dia bisa dibuka-tutup seperti ini," Alfred memperagakan dengan membuka dan menutup laptopnya, memperlihatkan betapa fleksibelnya benda itu.

"Di sini kamu bisa ngetik, nulis, sama seperti mesin tik yang biasa kamu pakai, cuma bedanya, laptop ini enggak berisik," ia tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

Agnest hanya mengangguk pelan, terlihat masih sedikit bingung, tapi ia mulai penasaran. Alfred kemudian memutar laptop ke arah Agnest, memberi kesempatan untuk menyentuh dan mencoba mengetik beberapa huruf.

"Paham kan? Gampang kok kalau kamu udah terbiasa," Alfred berkata sambil mengembalikan laptop ke arah dirinya, matanya menyelidik, mencari tanda apakah Agnest paham atau tidak.

"Kalau yang satunya?" Agnest bertanya sambil melirik ponsel yang tergeletak di sebelah laptop.

"Ah, ini ponsel, atau telepon seluler," Alfred menjelaskan sambil mengangkat ponselnya dan memperlihatkannya.

"Kamu bisa telfon orang, kirim pesan, dengar musik, bahkan lihat video di benda kecil ini," katanya dengan semangat, seperti seorang guru yang sabar memperkenalkan teknologi pada muridnya.

Agnest menatap ponsel itu dengan mata terbelalak. "Seriusan? Dalam satu benda sekecil ini kita bisa ngelakuin semuanya?" Ia menggeleng pelan, tampak tidak percaya.

Alfred tertawa lagi, menahan gemas dengan tingkah Agnest. "Iya, makanya dunia modern itu seru banget. Saya yakin kamu bakal suka setelah kamu lebih paham," ia meletakkan kembali ponselnya ke meja.

"Ngomong-ngomong, anda ini pekerjaannya memang Dokter?" tanya Agnest seketika, mengingat pertemuan pertama mereka.

"Mmm, sebetulnya saya tuh pegawai di perusahaan teknologi hehe," Alfred tertawa kikuk.

"Jadi Dokter itu ya cuma iseng aja, kalo saya pake baju biasa, kamu pasti ngerasa dideketin sembarang laki-laki kan?" Alfred memahami ketakutan Agnest.

Second Life | Jaehyun X Karina X JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang