"Nest? Bangun? Kamu kok tidur di sofa sih?" Alfred mengguncang pelan tubuh Agnest yang tertidur lelap, dengan buku For Meaningful Life yang masih ia peluk erat di dadanya.
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela, menyinari wajah Agnest yang terlihat kelelahan.
Alfred memandangi wajahnya sejenak sebelum mencoba mengambil buku itu dari genggaman Agnest, berpikir mungkin ia tertidur setelah asyik membaca.
"Astaga," Alfred mendesah, menarik buku itu perlahan dari pelukan Agnest.
Tiba-tiba, Agnest terbangun, merasa ada gerakan yang menarik bukunya.
"Yohan?" ucapnya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup. Begitu ia sadar, ia melihat tangan Alfred yang sedang mencoba mengambil bukunya.
Alfred menahan napas sejenak mendengar nama itu. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya tersenyum tipis dan mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kamu ketiduran di sofa. Kenapa gak baca di kamar aja biar lebih nyaman?"
Agnest yang masih terkejut mendapati dirinya di sofa, buru-buru mengusap wajahnya dan melihat keluar jendela. "Oh. . . iya, aku gak sadar ketiduran. Udah pagi, ya?" gumamnya, melihat langit yang sudah terang di luar.
Sejenak, ia teringat kesedihan yang membebani pikirannya semalam, yang membuatnya tertidur di sofa dengan buku itu sebagai pelarian.
"Kita mau jalan ke market kan pagi ini, kan? Aku mandi dulu deh biar siap," ucap Agnest dengan terburu-buru, mencoba mengalihkan perhatian dari situasi canggung yang baru saja terjadi.
Ia merasa malu dan bersalah karena tanpa sengaja menyebut nama Yohan di hadapan Alfred.
Alfred mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa cemburu yang tiba-tiba menyeruak di dalam dirinya. "Iya, mandi aja dulu. Aku buat roti panggang dulu buat kita," jawabnya dengan nada datar tapi penuh perhatian.
Agnest segera masuk ke kamar mandi, meninggalkan Alfred sendirian di ruang tamu. Di dapur, Alfred mulai membuat kopi, namun pikirannya terjebak pada momen singkat tadi.
Mendengar nama Yohan dari mulut Agnest membuatnya merasa tak tenang. Meskipun ia berusaha untuk tidak ambil pusing, bayang-bayang Yohan sepertinya masih ada di antara mereka.
"Apa aku terlalu berharap dia sepenuhnya lupain masa lalunya?" Alfred bertanya pada dirinya sendiri sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir.
Sementara itu, di kamar mandi, Agnest termenung di depan cermin. "Kenapa aku masih aja nyebut nama Yohan?" batinnya penuh kebingungan. Ia tahu bahwa cintanya pada Alfred nyata, tetapi kenangan masa lalu terus saja menghantui pikirannya.
Perasaan bersalah menyelimuti dirinya, karena ia tahu Alfred pantas mendapatkan cinta yang penuh tanpa bayang-bayang orang lain.
Setelah beberapa menit berdiam diri, Agnest akhirnya menyelesaikan mandinya dan keluar dengan wajah yang lebih segar.
"Kamu udah bikin roti, Fred? Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya sambil berjalan ke ruang makan, mencoba bersikap lebih ceria untuk mengubah suasana.
"Udah kok. Nih makan dulu, ini minumnya," Alfred mendorong cangkir susu dan sepiring roti panggang ke arah Agnest, tersenyum tipis meski matanya menunjukkan kekhawatiran yang tersembunyi.
Agnest mengangguk dan duduk di hadapan Alfred, mengambil cangkir susunya dengan tangan yang sedikit gemetar. "Iya, makasih Alfred. Maaf aku malah ketiduran di sofa tadi malem."
"Gak apa-apa," jawab Alfred sambil menyesap susunya. Ia berusaha tetap tenang dan tidak menyinggung hal yang terjadi tadi.
🍂🍂🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life | Jaehyun X Karina X Jeno
RomansaAgnest, seorang dokter yang mati tahun 1942, kembali bangkit dari kematiannya. Ia terbangun di tahun 2024, karena sebuah mesin penelitian yang dibuat oleh seorang mantan militer Hindia Belanda. Namun, ia harus bergelut antara masa lalu dan masa dep...