Omelet Sederhana

57 21 8
                                    

BAB II
Omelet Sederhana

"Assalamualaikum!"

Tidak ada jawaban. Rumah tetap sepi seperti biasanya. "Pertama lagi," gumam Hazika.

Sebelum masuk, Hazika melepas sepatu dan menaruhnya di rak. Dia membuka pintu dengan kunci cadangan yang selalu dibawanya.

Rumah gelap. Semua jendela dan pintu tertutup rapat. Merasa pengap, Hazika berinisiatif membuka tirai dan jendela. Sinar matahari dan udara segar perlahan masuk, membuat suasana rumah lebih nyaman.

Dia merasa lapar. Hazika segera menuju dapur, berharap ada makanan yang bisa dimakan. "Kosong?" gumamnya heran. Seingatnya, sebelum berangkat sekolah tadi pagi, dia sempat membuat nasi goreng dan masih tersisa satu porsi. Namun, nasi goreng itu kini hilang tanpa jejak.

"Assalamualaikum! Mas ganteng wes muleh!" Tiba-tiba terdengar suara Dewangga Putra—kakak Hazika—yang menggema di rumah.

Hazika langsung menutup telinganya. Teriakan kakaknya membuat telinganya sakit. "Wa'alaikumussalam."

"Mau masak? Sekalian buat Mas juga, ya."

Tatapan Hazika langsung tajam. "Mending Mas aja yang masak."

"Lho, yang cewek siapa? Kamu to, Ka? Ya kamu lah yang masak, sekalian buat Mas juga."

"Aku mager, Mas. Mendingan Mas Dewa aja. Aku mau ganti baju dulu."

Tanpa menunggu balasan dari kakaknya, Hazika melesat masuk ke kamarnya. Awalnya ia memang berniat untuk berganti baju, tapi kasur lebih menggoda. "Rebahan dulu sebentar," gumam Hazika sambil perlahan tenggelam dalam lelap.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Dewa, yang ditinggal sendirian, berinisiatif membuat omelet sederhana dengan bahan seadanya. Cara memasaknya tidak sulit. Dewa sudah terbiasa membuat omelet tengah malam saat rasa lapar menyerang. "Bodo amat kalau nggak suka," gumam Dewa.

Dia memang tidak peduli. Mau dimakan, silakan. Kalau tidak, ya sudah. Dewa sedang dalam mode malas masak. Baru pulang kerja, sudah disuruh masak pula.

Jika Hazika bukan satu-satunya anggota keluarga yang tersisa, mungkin Dewa tak akan mau repot-repot.

"Ini udah masak, nasinya masih ada nggak, ya?" Dewa baru tersadar bahwa dia belum mengecek nasi di rice cooker. Saat membuka penutupnya, dia hanya bisa berharap masih ada sedikit nasi. Namun kenyataannya, rice cooker itu kosong. "Punya adik satu kok ya nggak masak nasi sekalian tadi," gerutunya.

Karena merasa sedikit kasihan pada Hazika yang baru pulang sekolah, Dewa akhirnya memutuskan untuk memasak nasi. Sambil menunggu nasi matang, dia memutuskan untuk mandi.

"Ka! Hazika! Jangan tidur terus. Udah sore, cepat sholat asar dulu!" teriak Dewa dari luar kamar Hazika.

Tak ada jawaban. Dewa mengetuk pintu kamar lebih keras. "Iya, Mas. Kenapa?"

"Enggak jadi. Mas pikir kamu tidur," jawab Dewa saat Hazika membuka pintu.

"Enggak," jawab Hazika sambil menutup pintu kembali.

"Jangan balik tidur lagi!" pesan Dewa sambil berteriak.

"Iya, Mas," jawab Hazika malas.

Beginilah keadaan rumah mereka yang hanya dihuni berdua. Kedua orang tua mereka telah meninggal, dan sejak saat itu, Dewa menjadi tulang punggung keluarga.

Mereka pindah ke kota karena Dewa dipindah tugaskan. Dia tak ingin meninggalkan adiknya, maka dia membawa Hazika ikut serta. Syukurnya, Hazika menurut dan tidak banyak menuntut.

Embun Hazika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang