Minggu Pagi

29 15 6
                                    

BAB 15
Minggu Pagi

Minggu pagi ini, Hazika merasa malas. Dia memutuskan untuk tetap di rumah dan tidak jadi ikut pergi bersama kakaknya.

Semalam dialah yang paling bersemangat, tapi semangat itu menguap entah kemana pagi ini. Dewa sampai di buat heran dengan perubahan mood Hazika yang sangat sulit di tebak.

Apalagi saat gadis itu sedang mendapatkan tamu bulanan. Saat itu adalah saat-saat yang paling rawan bagi Dewa. Karena apapun itu, pasti akan di permasalahkan oleh Hazika.

"Tenan? Ora ameh melu?" tanya Dewa sebelum pergi, mencoba membujuk Hazika. Berharap Hazika berubah pikiran dan mau ikut pergi bersamanya.

"Iyo, Mas. Hazika males banget, mau di rumah aja," jawab Hazika.

"Arep nitip ora?" tawar Dewa. Karena Hazika tetap kekeh tidak mau ikut, Dewa berinisiatif untuk membelikan sesuatu yang di inginkan Hazika.

"Mboten, tapi Mas Dewa pas pulang harus bawain makanan."

"Bebas toh?"

"Enggeh," jawab Hazika sambil tersenyum.

"Oke." Dewa tidak keberatan karena Hazika tidak meminta yang aneh-aneh. Jika masih dibatas wajar, Dewa pasti akan tetap menuruti.

"Mas berangkat ya, hati-hati. Nek enek lek teko, ojo langsung dibukake lawang e," pesan Dewa mengingatkan.

"Siap!" sahut Hazika sambil hormat.

"Assalamualaikum!" salam Dewa sebelum melangkah keluar.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Hazika.

Setelah Dewa pergi, rumah menjadi sepi. Hazika yang sendirian dan malas keluar rumah. Dia pun segera menelepon Akira.

"Halo?"

"Halo! Kamu di rumah kan?"

"Iya. Kenapa, Ka?"

"Ayo main! Ini Mas Dewa pergi, aku sendirian di rumah."

"Tumben?" tanya Akira heran.

"Mager banget, Ra. Ayo ke sini, temenin aku!"

"Ntar dulu, aku belum izin ini."

"Izin dulu sana! Cepet!"

"Siap!"

Panggilan pun ditutup sepihak oleh Akira. Hazika tidak marah, karena dia tahu temannya itu sedang meminta izin pada orang tuanya.

Sambil menunggu Akira, Hazika yang merasa lapar. Dia berniat membuat sarapan. Kakaknya tadi hanya sempat sarapan dengan roti tawar, karena di belum masak. "Pasti Mas Dewa lagi kelaparan," gumam Hazika, merasa kasihan pada kakaknya itu.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Di sisi lain, Minggu pagi ini, Pradipta sekeluarga pergi menghadiri kajian rutin bersama. Setelah itu, biasanya mereka akan berkunjung ke rumah kakek dan nenek di desa.

"Umma masih di dalam ya, Ba?" tanya Pradipta. Mereka baru saja keluar dari Masjid tempat kajian.

"Enggak. Tadi chat, katanya sudah nunggu di luar," jawab Tama yang fokus pada ponselnya.

"Di mobil?" tebak Pradipta.

"Bukan," balas Tama. "Ini Umma kasih kabar lagi, Umma lagi beli bubur."

"Tanpa kacang ya, Ba."

"Iya, Aa."

Karena sudah tahu di mana ummanya, Pradipta dan babanya memilih menunggu di mobil. Beberapa menit kemudian, Maryam, ummanya, datang membawa tiga bungkus bubur ayam.

"Assalamualaikum. Maaf ya nunggu Umma lama," sapa Maryam yang baru masuk ke dalam mobil.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab anak dan ayah itu dengan serempak.

"Antri tadi?" tanya Tama.

"Enggak, Ba." Maryam kemudian memberikan sebungkus bubur kepada Pradipta. "Dimakan dulu ya!"

"Baik, Umma." Pradipta segera menyantap bubur ayam yang diberikan padanya, sesuai dengan pesanannya tadi bubur ayam tanpa kacang.

Sementara itu, Tama mulai menjalankan mobil sambil disuapi oleh Maryam. Pemandangan itu tidak luput dari perhatian Pradipta. Dia tersenyum, merasa bahagia melihat keharmonisan kedua orang tuanya.

"Ya Allah, tolong jaga selalu keharmonisan keluarga ini. Aamiin," doanya dalam hati.

Pradipta berharap suatu hari nanti dia bisa memiliki pasangan seperti ummanya. Baginya, kriteria pasangan terbaik adalah seperti ummanya.

"Umma, kenapa dulu mau sama Baba?" tiba-tiba Pradipta bertanya memecahkan keheningan dalam mobil.

"Kenapa, Aa'?" sahut Tama, sedikit terkejut. "Tumben tanya begitu?"

"Baru kepikiran aja, Ba. Kenapa Umma?" ulang Pradipta yang penasaran.

Maryam tersenyum, lalu menjawab, "Karena Baba adalah laki-laki yang berani meminta Umma langsung pada Kakek. Beda dengan laki-laki lain yang hanya mengajak Umma untuk berpacaran."

Pradipta mengangguk paham.

"Aa' itu laki-laki. Laki-laki yang baik adalah laki-laki yang tidak mengobral janji. Tapi dia membuktikannya dengan tindakan," lanjut Maryam bijak.

Pradipta mendengarkan dengan seksama, merasa semakin mengagumi baba dan ummanya.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ


Setelah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya, Akira langsung bergegas menuju rumah Hazika. Dalam perjalanan, dia sempat mampir ke pedagang kaki lima yang menjajakan jajan yang menggoda imannya. Tentu saja, cilok kesukaan Hazika tidak dia lewatkan.

Sesampainya di rumah Hazika, dia mendapati pintu rumah itu tertutup rapat, seakan-akan tak ada siapa pun di dalam rumah. Akira menjadi ragu. "Telepon dulu nggak ya?" pikirnya bimbang.

Namun, karena rumah-rumah di sekitar juga tampak sepi, Akira memutuskan untuk mengetuk pintu saja.

"Assalamualaikum!" serunya sambil mengetuk.

"Hazika!" panggil Akira lagi, setelah salamnya tak kunjung mendapat jawaban.

"Sebentar!" terdengar suara Hazika dari dalam rumah, membuat Akira bernapas lega.

Tak lama, pintu terbuka, dan Hazika muncul dengan wajah sedikit tergesa.

"Lama banget! Habis ngapain sih?" Akira langsung menyambut Hazika dengan rentetan pertanyaan. "Kirain tadi nggak ada orang. Mana kanan-kiri juga sepi banget."

Hazika hanya bisa tersenyum tipis, dia merasa tidak enak hati. "Udah, ayo masuk dulu!" ajaknya pada Akira.

Akira mengangguk dan segera melangkah masuk begitu dipersilakan. Setelah itu, dia langsung duduk di ruang tamu. "Nih, tadi aku sempat mampir beli jajanan," katanya, menyerahkan kantong kresek berisi jajan yang sudah dia beli sebelumnya.

"Wah, ada cilok juga! Makasih banyak ya," ucap Hazika senang.

"Sama-sama."

"Mau es teh atau es jeruk?" tawar Hazika sambil tersenyum. "Pasti haus kan? Meski masih pagi, tapi udah panas banget."

"Es jeruk aja, deh," jawab Akira.

"Oke, tunggu sebentar ya," Hazika bergegas menuju dapur.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh guys!

Gimana hari ini?
Aku update malam lagi, wkwkwk.

Embun Hazika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang