Pasar Tradisional

40 19 1
                                    

BAB VI
Pasar Tradisional

Minggu pagi ini, Hazika memanfaatkannya untuk berbelanja. Dia tidak pergi sendiri, Dewa tentu ikut menemaninya.

"Udah belum, Ka?" tanya Dewa.

"Sebentar, Mas. Lagi pake kerudung nih," jawab Hazika kesal. Dia yang nyuruh pakai hijab, tapi dia sendiri yang nggak sabaran.

Hari ini, Hazika mengikuti kemauan Dewa untuk memakai hijab. Biasanya, dia akan menolak dengan berbagai alasan. "Cantik juga kalau pake ini," pikir Hazika senang melihat dirinya di cermin.

"Buruan!" desak Dewa sambil membuka kasar pintu kamar Hazika.

"Mbok yang sabar, Mas. Mau dikon ganggo kerudung, saiki malah di oyak-oyak," omel Hazika.

Dewa memasang wajah memelas, merasa bersalah. "Yowes, Mas minta maaf," katanya.

"Minta maafnya kayak dipaksa gitu," sindir Hazika. "Ayo ... wes awan, Mas. Ntar keburu habis sayur e."

"Iya, iya."

Mereka berangkat menggunakan motor milik Hazika, motor yang biasa dia pakai untuk sekolah. Kalau harus pakai motor kakaknya, Hazika malas setengah mati, karena motor itu terlalu tinggi sehingga dia kesulitan saat naik.

"Pulang dari pasar, kita jajan bakso, ya Mas?" pinta Hazika.

"Enggak soto aja?" tawar Dewa.

"Lagi pengen bakso, Mas."

"Njih, cah ayu."

Sesampainya di pasar, Dewa langsung memarkirkan motor. Mereka memilih parkir di luar, karena kalau masuk lebih dalam, akan susah keluar nantinya, apalagi hari ini Minggu, pasar lebih ramai dari biasanya.

Dengan semangat, Hazika menggandeng Dewa menuju penjual ikan. Semalam, kakaknya memberi kode ingin makan ikan goreng. "Mas, nila goreng aja ya?" tanya Hazika.

"Pecel lele juga enak, Kak." Jawaban Dewa membuat Hazika menggeleng heran.

"Pak, lele aja 1/2 kg," kata Hazika ke penjual ikan.

"Nila-nya, Mbak? Masih segar lho," tawar si penjual.

"Lele aja, Pak. Mas-nya mau pecel lele," tolak Hazika.

Setelah membeli lele, mereka lanjut membeli stok sayur. Saat sedang melihat-lihat, pandangan Hazika tanpa sengaja bertemu dengan seseorang yang semalam mengganggu pikirannya. Siapa lagi kalau bukan Pradipta.

"Pradip?" bisik Hazika.

"Siapa?" tanya Dewa, yang mendengar lirihan Hazika. Dia ikut menatap ke arah yang dilihat adiknya. Seorang remaja seumur Hazika, bersama seorang wanita paruh baya.

"Temenmu?"

Hazika menggeleng pelan. Dia mendadak lesu dan kehilangan semangat, apalagi saat Pradipta memutuskan kontak mata mereka. "Kakak kelas aku, yang kemarin aku ceritain ke Mas."

Dewa mengangguk paham.

"Ayo, Mas!" ajak Hazika menggandeng Dewa lagi.

"Nggak mau nyapa dulu?" goda Dewa.

"Enggak, Mas. Nggak mau ganggu."

Sebelum berbalik, Dewa kembali menatap Pradipta, yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya. Mereka saling mengangguk sebagai sapaan.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

"Aa'!"

Karena yang dipanggil tidak menjawab, Maryam menoleh ke arah putranya, yang sedang menatap seorang gadis berhijab yang berjalan menjauh bersama seorang laki-laki.

"Temen Aa'?" tanya Maryam.

"Hah? Apa, Umma?" tanya Pradipta terkejut. "Maaf, Aa' tadi ngelamun."

Maryam mengangguk. Aa"Nggak apa-apa. Itu siapa yang Aa' liat?"

"Yang mana, Umma?"

"Itu yang Aa' sapa."

"Enggak tau, Umma. Mungkin pacarnya adik kelas."

"Oh, mungkin ya," goda Maryam pada putranya.

Pradipta salah tingkah digoda oleh ummanya. Kalau Hazika melihat itu, mungkin gadis itu sudah senang setengah mati melihat senyum malu-malu Pradipta.

"Umma! Aa' mau ayam balado," tiba-tiba Pradipta mengalihkan pembicaraan.

"Loh, tadi katanya Aa' minta masakin sayur asem."

"Nggak jadi, Umma. Ayam balado aja," jawab Pradipta cepat.

"Ya sudah," Maryam pasrah.

Maryam kembali memilih sayuran untuk persediaan beberapa hari ke depan karena tukang sayur langganan mereka sedang libur.

"Umma!"

"Ya?"

"Kenapa belanja di pasar? Biasanya kan beli di Amang?" tanya Pradipta.

Amang adalah panggilan penjual sayur keliling di sekitar rumah mereka.

"Amang lagi libur. Kemarin Umma dikasih tahu Bu Gendis."

"Lama liburnya? Kenapa?"

"Umma nggak tau, Aa'. Kenapa? Aa' keberatan ya nemenin Umma ke pasar?"

"Bukan gitu," jawab Pradipta panik, takut ummanya tersinggung. "Jarang aja Umma ke pasar, jadi agak heran."

"Heran atau seneng?" goda Umma lagi.

Pradipta diam tak bisa menjawab lagi.

Maryam segera membayar belanjaan yang dipilihnya, dan Pradipta dengan sigap membawanya. "Aa' aja yang bawa," katanya.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Sampai di rumah, Hazika meletakkan belanjaannya di meja ruang tamu. Dia langsung merebahkan diri di atas sofa. Mereka tidak jadi makan bakso.

"Mas, bukain jendela sama nyalain kipas dong!" pinta Hazika. "Panas banget."

"Nyalain kipasnya sendiri," jawab Dewa. Dia hanya membuka jendela agar sirkulasi udara berganti, lalu duduk di samping adiknya yang cemberut.

"Kenapa mukanya cemberut?" tanya Dewa, pura-pura tidak peka.

Tanpa menjawab, Hazika bangkit dan pergi ke dapur sambil membawa tas belanjaannya. Sambil menggerutu, dia merapikan belanjaan ke dalam kulkas.

"Mas Dewa nganyeli. Cuma dimintain tolong nyalain kipas aja males," omel Hazika.

Wajahnya mengkerut lantaran kesal. Setelah merapikan belanjaan, dia mulai menggoreng tempe dan tahu bacem yang sudah disiapkan sebelumnya.

Selesai memasak, dia menaruh hasil masakannya di meja makan. Kali ini, berbeda dari biasanya, Hazika tidak langsung membereskan alat-alat masak. "Mas, ntar isah-isah, yo. Aku mau rehat," perintah Hazika.

Sebelum meninggalkan dapur, dia mengambil es krim cup yang dibelinya tadi sebagai pengganti bakso.

Dewa yang melihat tingkah adiknya hanya bisa tersenyum dan menggeleng pelan. "Lagi PMS mungkin ya, sensi banget dari tadi pagi," pikir Dewa.

Kalau Dewa bukan kakaknya, mungkin Hazika sudah adu mulut sekarang.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Note :

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!

Ada apalagi ini(⁠ ⁠⚈̥̥̥̥̥́⁠⌢⁠⚈̥̥̥̥̥̀⁠)

Yang belum follow ... Buruan follow ya ...

Ig : @blueskynya_
Tiktok : @blueskynya

Embun Hazika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang