Brownies Kukus

25 16 0
                                    

BAB XIV
Brownies Kukus

"Ini kenapa susah banget sih? Soalnya banyak banget lagi, kapan selesai kalau kayak gini?" gerutu Hazika.

Selepas sholat Maghrib, Hazika langsung mengerjakan tugas sekolah yang baru saja diberikan tadi siang. Namun, hingga jarum pendek jam mengarah pada angka sembilan, soal-soal itu masih belum selesai dikerjakannya.

"Ka?" suara Dewa terdengar lembut di balik pintu yang dibuka perlahan. "Wes bobo?"

Hazika menoleh dan menjawab, "Belum, Mas. Kenapa?"

"Tak kiro wes bobo, ket mau ora metu seko kamar."

Hazika menghela napas. "Ini, Mas. PR banyak banget, masih kurang lima soal lagi."

"Uwes sholat urung?"

"Enggak sholat," jawab Hazika.

"Ka! Sholat iku hukum e wajib. Kenapo ndak sholat sek? Sholat kan mung sedelit!" omel Dewa.

Hazika mendengus dan memutar bola matanya. "Hazika lagi libur, Mas. Haid. Kalau sholat, malah dosa dong!" jawabnya dengan nada setengah kesal.

"Lah? Pantes ngerjain PR sambil ngomel-ngomel," gumam Dewa, yang untungnya tidak didengar oleh Hazika tentunya.

"Yowes, nek lagi nggak sholat. PR e di garap sesok meneh ae. Saiki leren, uwes bengi wayah istirahat," ujar Dewa dengan nada lembut.

"Nggeh, Mas," sahut Hazika.

Sebagai adik yang manut, Hazika akhirnya menurut. Dia mulai membereskan buku-bukunya dan juga mempersiapkan perlengkapan sekolah untuk esok hari.

"Sesok Minggu nggak ono acara to?" tanya Dewa tiba-tiba.

"Kenapa? Mas mau ngajak pergi?" tanya Hazika dengan mata yang berbinar.

"Iyo. Gelem ndak?"

"Ya mau lah, masa diajak jalan-jalan malah nolak," jawab Hazika riang.

"Yowes. Gek istirahat," ucap Dewa sebelum keluar dari kamar Hazika.

Kini hanya tinggal Hazika di dalam kamar. Gadis itu tidak langsung memejamkan mata. Sebaliknya, dia memilih untuk memainkan ponselnya, mengecek apakah ada pesan penting yang masuk.

"Nggak ada niat mau chat duluan, apa?" gumam Hazika dengan nada kesal.

Matanya menatap layar ponsel dengan penuh harap, tapi rasa kecewa datang menyergapnya. Chat dari Pradipta hanya berhenti pada pesan balasan dari laki-laki itu. Itu pun pesan beberapa hari yang lalu. Tak ada pesan baru, apalagi kabar dari laki-laki itu.

Padahal, dalam hati kecilnya, Hazika sangat berharap Pradipta mengiriminya pesan lebih, sekadar bertanya kabar atau mungkin hanya sebuah sapaan sederhana.

Namun, harapannya sepertinya hanya akan menjadi angan-angan saja. Semakin lama dia menunggu, semakin kesal perasaan yang dirasakan Hazika. Merasa lelah dengan harapan yang tidak berbalas, Hazika menghela napas panjang.

Akhirnya, dia memilih menyerah. Dia meletakkan ponselnya di meja belajar, berjalan dengan malas lalu naik ke atas kasur menarik selimut, dan memejamkan mata. Berharap bisa beristirahat sejenak, sebelum kembali berjuang esoknya.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Dengan ditemani Akira, Hazika kembali membawa bekal untuk Pradipta. Namun, kali ini hanya berupa brownies kukus.

"Cuma satu?" tanya Arkan dengan alis terangkat. "Buat gue nggak ada?"

"Itu banyak, Kak. Bisa dimakan bareng sama Kak Pradipta," sahut Akira yang kesal. Lalu dia menarik tangan Hazika untuk segera pergi.

"Makasih ya, Kak," ucap Hazika buru-buru sebelum ditarik lebih jauh oleh Akira.

Saat mereka hendak kembali, mereka berpapasan dengan Pradipta. Namun, Akira lebih dulu menarik Hazika, sehingga dia tak sempat menyapa Pradipta lebih dulu.

"Ih! Kok main tarik sih? Kan aku mau ngobrol dulu sama Kak Pradipta, Ra," protes Hazika saat keduanya sudah jauh dari Pradipta.

"Ngobrol?" ulang Akira sambil melirik sahabatnya itu. "Yang ada kamu cuekin lagi. Kamu nggak lihat ekspresi Kak Pradipta tadi? Datar banget ... Mending jangan ngajak ngobrol dulu deh."

Hazika hanya bisa menghela napas pasrah.

"Mending sekarang ke kantin," ajak Akira.

"Ayo!"

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Sementara itu, Pradipta yang melihat Hazika dan teman perempuannya memilih untuk pura-pura tidak melihat. Dia fokus berjalan menuju kelas, berusaha menenangkan pikirannya yang sedikit kacau.

Sesampainya di depan kelas, dia mendapati Arkan sedang memegang kotak bekal. Namun, kali ini hanya satu kotak, berbeda dari kemarin. Tanpa basa-basi, Pradipta bertanya, "Bekal kemarin dari Hazika?"

"Anjing!" umpat Arkan yang terkejut. "Kapan lo datang? Papasan sama Hazika?" tebak Arkan.

"Jawab," desak Pradipta, ekspresinya serius.

"Iya. Emang dari Hazika. Enak kan? Lo jadi nggak perlu keluar uang buat makan."

"Itu buat gue, berarti?" tanya Pradipta memastikan.

"Iya," jawab Arkan sambil menghela napas panjang.

Pradipta hanya mengangguk kecil. "Makan aja. Gue tahu lo pasti laper kan?"

Wajah Arkan langsung berseri, "Serius? Nggak nyesel?"

"Iya. Makan aja, kasih juga buat yang kali kalau ada yang mau."

"Oke."

Arkan langsung masuk ke dalam kelas. Di berteriak, "Ada yang mau brownies?" tawar Arkan.

"Gratis!" tambahnya lagi, karena tidak ada yang mendekat.

"Bener? Ntar lo bohong?" sahut salah satu anak kelas.

"Bener! Serius ini! Tapi kalau pada nggak mau nggak apa-apa," jawab Arkan.

Kalau memang tidak ada yang mau, dia tidak masalah jika harus menghabiskannya sendiri. Rezeki makanan kan mubazir kalau ditolak. Apalagi makanan enak. Itulah yang dipikirkan oleh Arkan.

Yang paling penting, sudah mendapat izin penuh dari pemilik asli makanan ini.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Kenapa Pradipta nggak mau ya?
Apa karena dari Hazika?

Kasian banget, udah susah susah bikin, eh! Malah nggak di makan sama yang dibuatin.

Awas nyesel ntar...

Embun Hazika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang