Perempuan Itu

21 14 0
                                    

BAB 19
Perempuan Itu

Sudah lebih dari seminggu sejak ujian akhir semester, tapi Akira belum melihat atau bahkan mendengar Hazika mencari-cari Pradipta. Gadis itu hanya fokus pada ujian akhir semesternya.

Namun meskipun ujian sudah selesai, Hazika juga masih belum menunjukkan tanda-tanda mencari Pradipta lagi. Dia masih tenang dan tak banyak tingkah. Membahas tentang Pradipta pada Akira saja tidak.

"Ka!"

"Kenapa?" jawab Hazika yang berhenti bermain game.

"Kamu sehat, kan?" tanya Akira, dia sampai mengulurkan tangan untuk mengecek suhu tubuh Hazika. "Normal kok," gumamnya.

"Aku sehat, Ra," jawab Hazika ketus.

"Hehehe. Habisnya, tiba-tiba jadi kalem banget. Nggak nyari-nyari Kak Pradip."

Hazika menatap Akira tajam, menghela napas berat, dan mencoba menjawab dengan santai, "Bukannya kalem, aku cuma mau fokus sama sekolah dulu."

Akira mengangguk mendengarkan.

"Kita perempuan itu boleh aja berjuang. Tapi harus ingat juga, kita itu perempuan."

"Maksudnya?" tanya Akira, penasaran.

"Karena kita perempuan. Kodratnya itu dikejar bukan mengejar. Kita itu juga harus pintar. Kenapa? Karena kita adalah sekolah pertama bagi generasi selanjutnya. Kalau kita saja rusak, bagaimana dengan generasi yang akan datang?"

"Iya ya, Ka. Aku baru sadar, ternyata peran perempuan itu penting."

"Bukan cuman penting, tapi sangat penting. Kalau di suatu negara perempuannya rusak, generasi yang dihasilkan juga pasti rusak. Karena perempuan adalah kunci keberhasilan. Di balik pandainya seorang anak, ada peran seorang ibu yang selalu membimbingnya."

"Berarti kalau ada yang bilang perempuan nggak perlu sekolah tinggi-tinggi itu salah, ya?" tanya Akira.

"Iya, salah banget. Nggak ada yang percuma di dunia ini. Setiap hal pasti ada hikmahnya," ucap Hazika dengan tegas. "Kalau perempuan sekolah tinggi dan akhirnya menjadi ibu rumah tangga, itu nggak sia-sia, lho. Ilmu yang didapat bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya dapat mengajar anak-anaknya kelak dengan bekal ilmu-ilmu yang sudah dia dapatkan selama menuntut ilmu."

"Eh!"

"Kenapa?" tanya Akira.

"Kok tiba-tiba jadi bijak gitu ya?"

Akira tertawa, baru menyadari bahwa mereka sudah membahas banyak hal yang sering disalahpahami orang-orang, terutama perihal pendidikan perempuan yang dianggap kurang penting. Melihat Akira tertawa, Hazika ikut tertawa.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Di kantin sekolah, Arkan dan Pradipta sedang makan nasi pecel. Keduanya makan dengan tenang dan tidak ada yang berbicara.

"Alhamdulillah," syukur Arkan setelah menghabiskan makan siangnya lebih dulu dari Pradipta.

Dia sesekali menoleh ke arah pintu masuk kantin. Sejak mereka datang, Arkan terus mencuri-curi pandang ke pintu keluar masuk kantin.

"Nyari siapa?" tanya Pradipta yang baru selesai makan.

"Cewek!"

"Cewek? Maksudnya?" tanya Pradipta, bingung.

"Pacar," jawab Arkan tanpa ragu.

"Pacar? Siapa?" tanya Pradipta, tak langsung percaya.

"Hazika," jawab Arkan tegas.

Mendengar nama itu, Pradipta hanya mengangguk. Dia jadi teringat hari terakhir mereka bertemu. Sejak hari itu, Hazika seakan menghilang, dan tak pernah tampak lagi di pandangannya.

"Kalian udah jadian?" tanya Pradipta penasaran.

Uhuk! Arkan yang sedang meneguk minuman tersedak.

"Pelan-pelan aja. Gue nggak minta," ujar Pradipta dengan wajah polos.

Arkan yang kesal memilih untuk pergi. "Mau kemana?" tanya Pradipta.

"Kelas. Males gue sama lo. Resek banget dari tadi," jawab Arkan ketus.

Pradipta hanya menggeleng kepala pelan. Sudah terbiasa dengan sikap Arkan yang pemarah.

Namun, ada hal yang cukup menganggu pikiran Pradipta selepas perginya Arkan. Benarkah jika sahabatnya berpacaran dengan Hazika? Walaupun Arkan terlihat seperti anak yang nakal dan juga sering membuat gaduh, tapi sebenarnya Arkan anak yang baik.

Dia juga sangat menghargai seorang perempuan. Pradipta pernah tak sengaja melihat secara langsung, Arkan mempersilahkan seorang gadis seumuran yang memiliki fisik yang kurang untuk duduk di kursinya saat menunggunya datang. Saat itu, kursi tunggu memang sudah penuh. Tapi tak ada satupun yang bersedia memberikan kursinya pada gadis tersebut.

Hal itu terlihat sepele, tapi sangat berkesan untuk Pradipta yang bisa melihat langsung sikap gentle seorang laki-laki selain babanya.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Sepulang sekolah, Hazika mampir ke rumah Akira. Dia ingin meminta izin langsung kepada orang tua Akira, meskipun sebelumnya sudah mendapatkan izin, Hazika merasa perlu untuk melakukannya lagi.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Ana—bundanya Akira.

Ana yang sedang membaca majalah,  langsung menyimpannya dan menyambut kedatangan putri dan teman putrinya yang sudah seperti anak sendiri. Akira dan Hazika bergantian menyapa Ana. "Kenapa baru main lagi? Udah lama kamu nggak main kesini," tanya Ana pada Hazika.

"Kemarin kan UAS, Bund," jawab Hazika.

"Fokus belajar dulu," tambah Akira.

"Bunda paham," jawab Ana. "Kalian pasti belum makan kan? Ayo makan siang dulu, tadi Bunda baru selesai masak. Pas banget Hazika main kesini!"

"Tau aja Bunda kalau kita berdua laper," jawab Akira.

"Ganti baju dulu, Ra," tegur Hazika sambil berbisik.

"Eh iya," jawab Akira. "Kita ganti baju dulu ya, Bund. Nanti langsung nyusul," izinnya.

"Iya."

Setelah mendapat izin dari bundanya, Akira langsung menarik tangan Hazika agar mengikuti dia ke kamar. Sebelum mereka bergantian mengganti baju, Akira mengambilkan kaos milik Hazika yang pernah dia pinjam. "Nih! Kamu ganti juga, sekalian aku balikin bajunya."

Hazika tersenyum. "Makasih."

"Terima kasih kembali."

Keduanya pun bergantian menganti baju. Setelah itu, mereka segera menyusul Ana yang pasti sudah menunggu mereka.

Benar saja. Ana sudah menyiapkan makan siang untuk mereka berdua. "Makan yang banyak, Bunda tinggal ya?"

"Bunda!" panggil Hazika menahan Ana.

"Kenapa, Ka?"

Hazika segera mendekat pada Ana. "Ini Bunda. Aku mau izin ulang, aku mau ajak Akira ke kampungku selama liburan, boleh?"

Ana tersenyum lalu mengangguk. "Boleh. Penting kalian hati-hati selama berjalan. Kemarin kakakmu sudah izin juga ke Bunda."

"Serius Bund?" tanya Hazika dan Akira serempak.

"Iya. Sana kalian makan dulu," titah Ana.

"Makasih ya Bund," ucap Hazika dengan tulus.

"Sama-sama sayang," jawab Ana.

Melihat interaksi teman dan bundanya, Akira merasa senang. Dia yang sejak lahir menjadi anak tunggal tak merasa cemburu apalagi kesal melihat interaksi tersebut. Dia malah berharap, dia bisa memiliki saudara seperti Hazika.

Walaupun baru mengenal belum lama,  tapi Akira sudah menganggap Hazika seperti saudara. Terbukti dengan Hazika yang juga memanggil bundanya dengan panggilan yang sama.

Embun Hazika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang