Jangan Jadi Murahan

46 19 5
                                    

BAB V
Jangan Jadi Murahan

Dinginnya air yang membasuh wajah Hazika segera mengusir kantuk yang sebelumnya membuat matanya terasa berat. Suara adzan subuh yang berkumandang mengingatkan Hazika untuk bangun dan melaksanakan sholat. Meski belum sempurna dalam menutup aurat, sholat subuh tak pernah Hazika tinggalkan.

Sebelum sholat, dia keluar kamar menuju kamar Dewa. "Mas!" Hazika mengetuk pintu sambil memanggil.

"Sudah bangun kan?"

"Sudah!" Sahutan dari dalam membuat Hazika lega.

Dia berniat kembali ke kamar untuk menunaikan sholat. Namun, pintu kamar Dewa terbuka. "Belum sholat kan? Ayo jamaah."

"Mas, nggak ke masjid?" tanya Hazika heran.

"Nggak. Habis ini Mas harus langsung berangkat, ada acara di kantor."

"Oke."

Karena rumah mereka tidak memiliki ruang khusus untuk sholat. Mereka terbiasa sholat berjamaah di ruang keluarga.

Sementara Dewa bersiap, Hazika menyiapkan sajadah. Tak lama, Dewa datang, dan mereka melaksanakan sholat subuh berjamaah dengan khusyuk.

Selesai sholat, Dewa segera bersiap untuk berangkat kerja. Hazika sempat merasa heran melihat kakaknya yang terburu-buru.

"Mas nggak sarapan dulu?"

"Ntar ... Mas duku mangkat saiki.
Berangkat sekolah hati-hati," pesan Dewa yang selalu penuh perhatian.

"Njih, Mas. Mas juga hati-hati, jangan lupa mampir beli sarapan," balas Hazika mengingatkan.

"Iya, iya. Mas berangkat ya. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Karena masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah, Hazika memutuskan membuat telur goreng sebagai menu sarapan dan bekal. Entah kenapa, hari ini dia ingin membawa bekal ke sekolah.

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

"Hem!" Pradipta sengaja berdehem agar orang tuanya sadar kalau dia sudah duduk di meja makan.

Tama, yang tadinya memeluk istrinya, terpaksa melepaskannya. "Sana! Temenin Aa'," kata Maryam.

Pradipta tersenyum senang mendengar itu. Setelah Tama duduk, dia langsung meledek, "Baba sih nempelin Umma terus, jadi diusir deh."

Tama tertawa, "Kamu ini, masih marah soal kemarin?"

"Enggak," jawab Pradipta singkat.

"Aa' itu anak Baba juga, jadi Baba paham. Maafin Baba ya. Janji nggak ngulangin lagi," ucap Tama dengan nada serius, tapi tetap menggoda.

"Kenapa Aa' marah sama Baba?" tanya Maryam yang ikut duduk bersama mereka.

Tama langsung menatap Pradipta, ingin menggoda lagi. "Sok cerita ke istri Baba," ucapnya sambil tertawa kecil.

"Enggak ada apa-apa, Umma. Aa' mau langsung berangkat ya," pamit Pradipta, mencoba menghindari pembicaraan lebih lanjut.

"Bawa bekal ya?" tawar Maryam, dia khawatir putranya akan kelaparan di sekolah saat jam pembelajaran.

"Iya."

Tama tertawa puas. Pradipta hanya bisa menghela napas, merasa kesal.

Maryam menatap keduanya. Seperti biasa, mereka selalu seperti kucing dan tikus—saling bertengkar saat bertemu, tapi tak bisa jauh satu sama lain. Itulah hubungan antara ayah dan anak, pikirnya.

Dengan cekatan, Maryam menyiapkan bekal untuk putranya. "Ini, buat Aa'."

"Terima kasih, Umma."

"Sama-sama."

Pradipta memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya, lalu berpamitan. "Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

"Hati-hati, Aa'."

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Halaman belakang sekolah tampak sepi. Kebanyakan siswa lebih memilih menghabiskan waktu istirahat mereka di kantin atau di kelas. Pradipta memanfaatkan kesunyian ini untuk menyendiri, bahkan Arkan tidak diajaknya karena dia sedang malas mendengar celoteh sahabatnya itu.

Pradipta juga berusaha menghindari Hazika. Entah kenapa, dia merasa malas jika harus bertemu lagi dengan gadis itu. Dia berharap pertemuan sebelumnya hanyalah kebetulan. Pradipta ingin kehidupan damainya kembali.

Baru beberapa suap bekal yang diberikan Umma dia santap, tiba-tiba terdengar suara yang sudah sangat dia kenal.

"Aha! Ketemu di sini. Tadi aku cari di kantin nggak ada."

Pradipta tetap diam, berharap Hazika akan bosan jika terus diabaikan.

"Halo, Kak!" sapa Akira, yang ternyata ikut bersama Hazika.

Pradipta hanya mengangguk sebagai respon, hal ini langsung menarik perhatian Hazika. "Ih! Sama Akira aja ditanggapi, giliran aku dicuekin."

Hazika jelas merasa kesal.

"Lo siapa?" tanya Pradipta dingin. "Istri gue? Nggak, kan? Jadi jangan jadi murahan. Minimal tutup aurat yang benar."

Tanpa menunggu tanggapan Hazika, Pradipta langsung pergi.

"Kamu nggak apa-apa, Ka?" tanya Akira khawatir.

Hazika menggeleng, berusaha tersenyum meski terasa pahit. "Padahal nggak ada niat bikin dia bad mood."

"Lihat tuh," Hazika menunjuk kotak bekal Pradipta yang masih utuh. "Baru beberapa suap aja udah ditinggal."

"Mungkin udah kenyang," kata Akira, mencoba membuat Hazika merasa lebih baik. "Udah, habisin bekelmu."

"Iya."

Keduanya duduk di tempat Pradipta tadi dan makan dengan tenang. Setelah selesai, mereka masih duduk di sana, menikmati suasana.

"Assalamualaikum! Pradip mana?" terdengar suara Arkan mendekat.

"Pergi tadi," jawab Akira.

"Lo siapa?" tanya Arkan, yang baru pertama kali melihat Akira.

"Dia temen aku, namanya Akira," jelas Hazika.

Arkan mengangguk. "Itu kotak bekal?" tanyanya sambil menunjuk.

"Punya Pradipta," jawab Hazika.

"Ya udah, gue bawa aja."

"Iya, bawa aja. Salam buat Pradip ya," titip Hazika.

Arkan mendengus, tapi tetap mengangguk. "Bilang ke temen lo, jangan berharap banyak sama Pradipta. Kasian gue," pesan Arkan kepada Akira, yang hanya mengangguk polos membuat Arkan tertawa.

"Gue duluan! Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Akira dan Hazika saling berpandangan. Dalam hati, keduanya merasa Arkan agak aneh. Namun, ucapan Arkan membuat Akira berpikir.

"Ka, yang dibilang Kak Arkan ada benarnya. Jangan terlalu berharap sama Kak Pradip ya. Aku nggak mau kamu sakit hati."

Hazika tersenyum pahit. "Gimana ya, Ra? Udah terlanjur."

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Note :

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh guys!

Gimana sama hari ini?
Tulis aja di komen, boleh loh ...

IG: @blueskynya_
TikTok: @blueskynya

Embun Hazika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang