Bab 17: Setelah Insiden

2 1 0
                                    

Bab 17: Setelah Insiden

“Kekuatan prajurit tidak hanya terletak pada kemampuan untuk bertarung, tetapi pada tekadnya untuk tidak menyerah.” — Anonim

Perilaku Zurislav yang berkhianat benar-benar meninggalkan keresahan di antara tim. Semuanya masih tidak habis pikir. Apa alasannya melakukan pengkhianatan? Mengapa begitu? Pertanyaan-pertanyaan terus-menerus muncul di benak mereka. Dilihat dari ekspresi mereka, Romanov tahu itu pengalaman yang traumatis.

“Sersan, bertahanlah, kita akan sampai sebentar lagi,” ucap tamtama yang merawat luka Boris.

Di belakang, para tamtama semakin khawatir. Napas Volkova semakin lemah, sedangkan Boris tetap berusaha bertahan meskipun tubuhnya mulai gemetar karena kehilangan darah.

Boris mendesah. “Jangan biarkan ada yang mati di sini ..., aku masih bertanggung jawab atas kalian semua ....”

“Kita tidak akan membiarkan itu terjadi, Sersan,” balas salah satu prajurit dengan suara yang mencerminkan traumanya.

“Bagaimana kondisinya?” tanya Romanov kepada medis yang ada di belakang.

“Masih bernapas, kondisi kritis, peluru menembus arteri, selama kita cepat, dia masih memiliki kesempatan.”

Helikopter terus melaju, Romanov tampak tenang meskipun pikirannya sedang sangat rumit. Dia terlihat cuek, memang, tetapi melihat bawahannya yang kehilangan harapan, Volkova dan Boris terluka, serta hilangnya Fyodor ... membuatnya ingin membunuh Zurislav secara langsung.

“Aku tidak percaya letnan bisa melakukan itu,” kata salah satu tamtama dengan nada yang sedih. “Kita sudah berjuang bersama, dan dia berkhianat begitu saja ....”

“Aku rasa kita tidak bisa percaya siapa pun sekarang,” sahut Liev, menggenggam senjatanya erat.

“Harusnya kita bisa mengantisipasi lebih awal,” Boris yang terluka berbisik, meski suaranya lemah. “Kita seharusnya lebih waspada terhadap setiap gerakan.”

Romanov ikut menyela. “Ini bukan saatnya menyalahkan satu sama lain. Yang terpenting, kita selamat dan bisa kembali ke markas dengan informasi yang kita miliki.”

“Informasi?” tanya salah satu tamtama, bingung. “Apa yang akan kita lakukan dengan semua ini? Kita tidak bisa membiarkan dia bebas begitu saja.”

“Pertama, kita harus melaporkan semua ini ke markas besar,” jawab Romanov. “Kita harus memastikan mereka memahami situasi ini dan siap menghadapi konsekuensinya.”

Boris mengangguk pelan, menahan rasa sakitnya. “Aku harap tim lain aman. Kita harus menjaga komunikasi yang lebih baik di masa depan.”

“Setuju,” kata tamtama lainnya. “Kita harus lebih hati-hati dan waspada. Tidak ada lagi yang bisa kita percayai.”

Romanov mendengarkan obrolan para tamtama dengan rahang yang terkatup rapat, rasa dingin mulai merayap di dadanya. Kata-kata putus asa yang terlontar dari mulut anak buahnya seperti bensin yang semakin menyulut api dalam dirinya. Dendamnya membuncah, bukan hanya kepada Zurislav yang berkhianat, tetapi juga pada dirinya sendiri— untuk tidak bisa membaca niat jahat yang sudah jelas. Genggaman tangannya mengepal erat, masih menahan emosi dari pengkhianatan tersebut. Di benaknya, satu hal menjadi jelas: dia akan mengejar Zurislav, apa pun caranya.

***


Tim berhasil dievakuasi ke pos yang aman, suasana di pos penuh dengan kekhawatiran sekaligus kelegaan. Boris dan Volkova yang terluka segera dibawa oleh tim medis menuju ruangan darurat untuk penanganan. Prajurit-prajurit lain, yang terlepas dari ancaman fisik, tampak lelah, tetapi fokus mereka tidak terlepas dari hilangnya salah satu rekan mereka.

Setelah memastikan timnya aman,  Romanov terburu-buru mencari alat komunikasi yang bisa digunakan untuk menghubungi markas besar untuk melapor. Setelah situasi seperti ini, banyak tugas yang harus dia lakukan, menandakan hari-hari sibuk akan segera datang, tanggung jawab untuk mengurus perbatasan, pasti diserahkan pada orang berwenang lainnya, karena dirinya sangat dibutuhkan setelah pengkhianatan Zurislav. Dengan langkah tegas, ia menuju ruangan komunikasi untuk melapor kepada atasan.

Romanov mengambil radio, dia harus segera menyampaikan laporan lisan yang singkat. Laporan lisan melalui radio biasanya dilakukan segera setelah insiden terjadi, karena ini adalah cara cepat untuk memberi tahu atasan tentang situasi darurat, seperti pengkhianatan letnan atau evakuasi darurat. Frekuensi langsung terhubung ke komando pusat. Sambil berdiri tegap, ia menarik napas dalam-dalam sebelum memulai laporan.

“Komando pusat, di sini Kapten Romanov. Saya melaporkan operasi pengintaian kami telah mengalami kendala serius. Letnan melakukan pengkhianatan dan bekerja sama dengan musuh. Kami mengalami serangan dari helikopter musuh saat evakuasi. Sersan terluka, satu tamtama tidak sadarkan diri, dan ada satu tamtama lagi yang hilang di medan.”

Suaranya tetap tenang meski situasinya mendesak. Ia terus memberikan informasi mendetail tentang posisi terakhir, taktik yang dihadapi, dan evakuasi yang dilakukan. Komando pusat, yang diwakili oleh seorang Mayor, menanggapi dengan cepat. “Saya menerima laporan Anda, Kapten. Bagaimana status tim sekarang?”

“Tim dalam kondisi aman di salah satu pos, tapi kami masih mencari salah satu anggota yang hilang. Kami membutuhkan instruksi lebih lanjut untuk tindakan berikutnya.”
Mayor di komando pusat terdiam sejenak, menganalisis informasi yang diterima sebelum memberikan arahan.

“Segera kirimkan laporan tertulis setelah kondisi di pos stabil. Kami akan mengirim tim pencari untuk anggota yang hilang dan menyelidiki pengkhianatan letnan. Lanjutkan pemantauan situasi, dan pastikan tim tetap dalam kondisi siap.”

Setelah laporan lisan selesai, Kapten mengangguk meski tahu Mayor tak bisa melihatnya. “Dimengerti, akan segera kami lakukan.”

Kapten menutup komunikasi, lalu berbalik untuk memastikan timnya dirawat dengan baik. Meski situasi di pos sedikit lebih tenang, ia tahu tanggung jawab besarnya belum selesai. Laporan tertulis harus disusun, dan yang lebih penting, anggota yang hilang masih di luar sana.

Laporan resmi tertulis akan dibuat setelah kondisi dinilai stabil. Jika kondisi masih tegang atau pasukan masih dalam situasi darurat, laporan tertulis dapat ditunda hingga semua tindakan kritis selesai. Jangka waktu antara laporan lisan dan laporan dapat membutuhkan waktu 6 jam hingga lebih dari sehari, tergantung pada faktor-faktor seperti, memastikan keselamatan semua anggota yang tersisa, penanganan medis untuk yang terluka, pencarian anggota yang hilang, dan keamanan area, untuk memastikan bahwa ancaman lebih lanjut dari musuh sudah tidak ada.

Romanov segera menuju tenda medis yang terletak di bagian belakang pos. Dia melangkah cepat, menyusuri lorong-lorong sempit di antara barikade dan perlengkapan militer. Begitu tiba di tenda medis, dia mendorong pintu kainnya dan disambut oleh aroma antiseptik yang kuat. Di dalam, beberapa prajurit yang terluka sedang terbaring di ranjang lipat, sementara tim medis dengan sigap bergerak dari satu pasien ke pasien lainnya. Mata Romanov mencari sosok Sersan yang terluka, yang terlihat sedang diperiksa oleh salah satu dokter.

Romanov berjalan mendekat dan menyapa petugas medis dengan nada rendah tetapi tegas. “Bagaimana kondisi mereka?”

Seorang petugas medis berpaling. “Sersan terluka cukup parah, tapi masih sadar. Dia sudah menerima perawatan untuk menghentikan pendarahan.”

Romanov mengangguk, matanya beralih ke Volkova. “Dan tamtama yang tak sadarkan diri?”

“Dia ....” Medis tersebut berpikir sejenak.

“Dalam kondisi syok, kami sudah melakukan yang terbaik. Kami akan terus memantau dalam beberapa jam ke depan,” lanjutnya.

Romanov berdiri beberapa saat, memastikan setiap informasi terserap dengan baik, sebelum memberikan instruksi singkat. “Terus beri saya kabar terbaru. Kondisi mereka adalah prioritas. Jika ada perubahan, laporkan langsung kepada saya.”

The Thin Line of Duty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang